Beberapa hari setelah percakapan mereka di kafe, Daffi mulai merencanakan lamaran. Dia sudah memikirkan segalanya dengan matang. Meskipun keluarganya mungkin akan bertanya-tanya atau bahkan merasa skeptis, Daffi tahu bahwa cintanya pada Giska lebih kuat daripada kekhawatiran apa pun. Sementara itu, Giska juga mulai meresapi kata-kata Daffi, meski rasa minder itu tetap mengganjal di hatinya. Pada malam yang ditentukan, Daffi membawa Giska ke sebuah restoran mewah di tepi pantai. Udara malam terasa hangat, dan lampu-lampu temaram dari restoran membuat suasana semakin romantis. Giska mengenakan gaun sederhana namun anggun, sementara Daffi tampak gagah dengan setelan jas yang dipilihnya khusus untuk malam itu. Giska, yang semula merasa gugup, sedikit demi sedikit merasa lebih tenang melihat perhatian dan kasih sayang Daffi yang tak henti-hentinya. Mereka berbincang ringan sepanjang makan malam, tertawa dan menikmati suasana. Namun, di tengah obrolan mereka, Giska menyadari bahwa Daffi t
Keesokan harinya, Daffi mulai memikirkan cara terbaik untuk melamar Giska. Dia ingin momen itu menjadi sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan selalu diingat Giska. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dekatnya, dia memutuskan untuk membuat kejutan di restoran favorit mereka, tempat pertama kali mereka bertemu. Daffi mengatur semua dengan cermat. Ia memilih restoran kecil yang terletak di pinggir danau dengan pemandangan yang indah. Sinar matahari senja yang memantul di atas air akan menjadi latar sempurna untuk melamar Giska. Dia bahkan sudah meminta izin kepada pemilik restoran untuk menyiapkan meja di luar, tepat di dekat danau. Sore harinya, Daffi menjemput Giska. Gadis itu tampak cantik dengan gaun sederhana berwarna pastel. "Kita mau ke mana?" tanya Giska, sedikit curiga melihat Daffi yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Daffi tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Rahasia. Kamu akan tahu nanti."
Beberapa hari kemudian, Daffi dan Giska memutuskan untuk mengunjungi mansion keluarga Daffi. Mereka sudah berjanji untuk makan malam bersama Sera dan Galen, sebuah kesempatan besar bagi Giska karena ini pertama kalinya ia akan bertemu keluarga Daffi secara resmi. Di sepanjang perjalanan menuju mansion, Giska terlihat gelisah, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Daffi, aku takut,” kata Giska dengan nada cemas, menggigit bibirnya. “Bagaimana kalau aku nggak bisa membuat kesan yang baik di depan orang tuamu?” Daffi meraih tangannya dan menenangkannya. "Tenang aja, Gis. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Orang tuaku sangat terbuka dan mereka pasti akan suka sama kamu. Lagipula, kamu adalah orang yang paling penting buat aku, itu aja udah cukup." Mereka tiba di mansion, sebuah bangunan megah dengan taman yang terawat rapi di sekelilingnya. Giska menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, mencoba mengumpulkan keberanian. Daffi menggandeng tangannya dengan lembut, memberi dukun
Di sisi lain, Lily berdiri di balik jendela apartemennya, memandang ke arah mansion keluarga Daffi. Tatapannya penuh dengan rasa sakit dan kecemburuan yang tak tertahankan. Di kejauhan, ia bisa melihat Daffi dan Giska sedang berjalan bersama di taman, tertawa lepas, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Lily mengepalkan tangannya, bibirnya bergetar penuh amarah. "Kenapa harus dia?" gumamnya pelan, nadanya penuh dendam. "Kenapa Daffi lebih memilih dia daripada aku? Aku yang seharusnya ada di sampingnya. Bukan Giska!" Pikiran Lily mulai dipenuhi oleh bayangan masa lalu, saat dia dan Daffi masih dekat. Semua tawa dan kebersamaan itu, yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dia merasa Giska telah merampas semuanya darinya—kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya, kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan bersama Daffi. Dia berbalik dari jendela, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya penuh kebencian, matanya
Beberapa bulan setelah kelulusan kuliahnya, Daffi kini mulai sibuk bekerja di perusahaan milik ayahnya, Galen. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan proyek-proyek penting, tetapi di sela-sela kesibukannya, dia selalu meluangkan waktu untuk memikirkan satu hal yang menjadi fokus utamanya: pernikahannya dengan Giska. Di meja kerjanya, Daffi memandang undangan pernikahan yang baru saja disetujui oleh Giska. Dia tersenyum puas membayangkan hari bahagianya yang semakin dekat. Namun, bayangan Lily tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Selama ini, Lily tak pernah berhenti mencari cara untuk mengusik hubungannya dengan Giska. Sejak Daffi lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ayahnya, Lily seolah semakin gencar mendekatinya. Di setiap kesempatan, dia selalu mencari cara untuk muncul di hadapan Daffi, berharap bisa memecah hubungan antara Daffi dan Giska. “Daffi, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani,” suara sekretarisnya memecah lamunannya. “Oh, terima kasih,” Daffi tersadar, lalu denga
Hari itu adalah hari yang seharusnya menyenangkan bagi Daffi dan Giska. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah memeriksa beberapa rincian pernikahan terakhir ketika tragedi terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobil mereka di tikungan tajam. Daffi berhasil mengendalikan kemudi dengan panik, tapi tidak sempat menghindari benturan keras itu. Giska yang duduk di kursi penumpang terluka parah. Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, suasana tegang menguasai ruang tunggu. Daffi duduk di kursi, wajahnya penuh kecemasan dan kesedihan. Dia menggenggam tangan Sera yang duduk di sebelahnya, sementara Galen berdiri di belakang mereka dengan raut serius. “Bagaimana bisa ini terjadi, Pa?” Suara Daffi bergetar, hampir tak terdengar. “Giska... dia bahkan belum sempat mengenakan gaun pengantinnya...” Sera memeluk putranya, mencoba menenangkan, meski air mata terus mengalir di pipinya. “Kita harus percaya pada dokter, Daffi. Giska kuat, dia pasti akan bertahan.”
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa lebih mencekam dari biasanya. Hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar di lorong panjang yang kosong. Daffi masih duduk di samping Giska, matanya tak lepas dari wajah wanita yang sangat ia cintai itu. Mesin-mesin di sekitar ranjang terus berbunyi, menandakan fungsi vital tubuh Giska yang masih bertahan meskipun kondisinya kritis. Sera dan Galen telah pulang beberapa jam sebelumnya setelah membujuk Daffi untuk beristirahat sebentar. Namun, pria itu tak pernah benar-benar bisa tenang. Ada perasaan was-was yang terus menggerogoti hatinya sejak pertemuannya dengan Lily di lorong rumah sakit. Sesuatu tentang cara bicara Lily membuatnya merasa ada yang tidak beres. Di luar ruang ICU, tak ada yang memperhatikan sosok Lily yang berjalan dengan langkah hati-hati. Malam itu, dia memakai hoodie hitam yang menutupi sebagian besar wajahnya. Matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Dia tahu bahwa rencananya malam ini harus
Di sisi lain, di dalam sel penjara yang dingin dan suram, Lily terduduk di pojok, wajahnya penuh amarah dan keputusasaan. Dia tak bisa menerima kenyataan bahwa rencananya untuk menghancurkan kehidupan Daffi dan keluarganya gagal total. Giska masih hidup, dan sekarang dia yang terjebak dalam jeruji besi ini. "Ini nggak adil! Nggak mungkin kayak gini!" teriak Lily, tinjunya menghantam dinding sel dengan keras. Dia menahan tangis yang bercampur dengan kemarahan. Tak ada yang mendengar atau peduli dengan teriakannya, tapi itu tak menghentikan Lily untuk melampiaskan kekecewaannya. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: dia harus keluar dari tempat ini. Tak peduli bagaimana caranya, dia butuh bantuan. Tanpa menunggu lebih lama, Lily segera merogoh sakunya dan mengambil ponsel yang berhasil ia sembunyikan sebelum ditahan. Dengan jari-jari yang gemetar, dia menekan nomor bibinya, Maya. Telepon berdering beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara di ujung sana. "Lily? Kamu di mana? Apa y
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.