Di ruang makan yang megah, Daffi duduk sambil menyuapkan makanan dengan santai. Sera dan Galen, orang tuanya, duduk di seberang meja, sesekali melontarkan obrolan ringan. Di sisi Daffi, Aira, adik perempuannya, sedang sibuk dengan ponsel sambil tersenyum sesekali. "Daffi, bagaimana kuliahmu?" tanya Galen, menyela keheningan. Daffi mengangkat bahu. "Lancar-lancar aja, Pa. Cuma, kemarin ada tugas besar yang bikin pusing." Sera tersenyum tipis, tatapannya lembut. "Kamu pasti bisa, Nak. Lagipula, kamu sudah terbiasa mengerjakan hal-hal sulit." Aira mengangkat pandangannya dari ponsel, ikut menimpali. "Iya, Kak Daffi kan paling pintar di rumah ini!" Daffi terkekeh, melirik adiknya. "Ah, kamu lebay, Ra. Gimana kuliah kamu sendiri? Masih sibuk ngumpul sama teman-teman, kan?"
Pagi itu, Daffi sedang duduk di kafe kecil dekat kampus bersama Giska, pacarnya. Suasana tampak ceria, keduanya sedang membahas rencana liburan. Giska, yang selalu penuh energi, tertawa saat menceritakan rencana perjalanan ke pantai. “Daffi, kamu harus coba surfing! Seru banget!” Giska menepuk pundak Daffi dengan semangat. Daffi tersenyum hangat, menggenggam tangan Giska. “Aku nggak janji bisa belajar cepat, tapi kalau kamu yang ngajarin, mungkin aku bisa.” Tawa Giska semakin lepas, tapi sekejap kemudian tawa itu terhenti saat mereka melihat seseorang yang mendekat. Lily, dengan langkah percaya diri dan senyum tipis di bibirnya, datang menghampiri meja mereka. Dia mengenakan pakaian yang modis, jelas berusaha menarik perhatian. “Hai, Daffi. Lama nggak ketemu,” sapa Lily dengan nada yang manis, seakan tak peduli dengan kehadiran Giska. Daffi mengangkat alis, merasa aneh dengan kehadiran Lily tiba-tiba. “Lily? Ngapain kamu di sini?” “Oh, aku cuma lewat... ngeliat kamu, ya, a
Beberapa hari setelah percakapan mereka di kafe, Daffi mulai merencanakan lamaran. Dia sudah memikirkan segalanya dengan matang. Meskipun keluarganya mungkin akan bertanya-tanya atau bahkan merasa skeptis, Daffi tahu bahwa cintanya pada Giska lebih kuat daripada kekhawatiran apa pun. Sementara itu, Giska juga mulai meresapi kata-kata Daffi, meski rasa minder itu tetap mengganjal di hatinya. Pada malam yang ditentukan, Daffi membawa Giska ke sebuah restoran mewah di tepi pantai. Udara malam terasa hangat, dan lampu-lampu temaram dari restoran membuat suasana semakin romantis. Giska mengenakan gaun sederhana namun anggun, sementara Daffi tampak gagah dengan setelan jas yang dipilihnya khusus untuk malam itu. Giska, yang semula merasa gugup, sedikit demi sedikit merasa lebih tenang melihat perhatian dan kasih sayang Daffi yang tak henti-hentinya. Mereka berbincang ringan sepanjang makan malam, tertawa dan menikmati suasana. Namun, di tengah obrolan mereka, Giska menyadari bahwa Daffi t
Keesokan harinya, Daffi mulai memikirkan cara terbaik untuk melamar Giska. Dia ingin momen itu menjadi sesuatu yang spesial, sesuatu yang akan selalu diingat Giska. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman dekatnya, dia memutuskan untuk membuat kejutan di restoran favorit mereka, tempat pertama kali mereka bertemu. Daffi mengatur semua dengan cermat. Ia memilih restoran kecil yang terletak di pinggir danau dengan pemandangan yang indah. Sinar matahari senja yang memantul di atas air akan menjadi latar sempurna untuk melamar Giska. Dia bahkan sudah meminta izin kepada pemilik restoran untuk menyiapkan meja di luar, tepat di dekat danau. Sore harinya, Daffi menjemput Giska. Gadis itu tampak cantik dengan gaun sederhana berwarna pastel. "Kita mau ke mana?" tanya Giska, sedikit curiga melihat Daffi yang terlihat lebih rapi dari biasanya. Daffi tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Rahasia. Kamu akan tahu nanti."
Beberapa hari kemudian, Daffi dan Giska memutuskan untuk mengunjungi mansion keluarga Daffi. Mereka sudah berjanji untuk makan malam bersama Sera dan Galen, sebuah kesempatan besar bagi Giska karena ini pertama kalinya ia akan bertemu keluarga Daffi secara resmi. Di sepanjang perjalanan menuju mansion, Giska terlihat gelisah, tak bisa menyembunyikan kegugupannya. “Daffi, aku takut,” kata Giska dengan nada cemas, menggigit bibirnya. “Bagaimana kalau aku nggak bisa membuat kesan yang baik di depan orang tuamu?” Daffi meraih tangannya dan menenangkannya. "Tenang aja, Gis. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Orang tuaku sangat terbuka dan mereka pasti akan suka sama kamu. Lagipula, kamu adalah orang yang paling penting buat aku, itu aja udah cukup." Mereka tiba di mansion, sebuah bangunan megah dengan taman yang terawat rapi di sekelilingnya. Giska menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, mencoba mengumpulkan keberanian. Daffi menggandeng tangannya dengan lembut, memberi dukun
Di sisi lain, Lily berdiri di balik jendela apartemennya, memandang ke arah mansion keluarga Daffi. Tatapannya penuh dengan rasa sakit dan kecemburuan yang tak tertahankan. Di kejauhan, ia bisa melihat Daffi dan Giska sedang berjalan bersama di taman, tertawa lepas, seolah-olah dunia hanya milik mereka berdua. Lily mengepalkan tangannya, bibirnya bergetar penuh amarah. "Kenapa harus dia?" gumamnya pelan, nadanya penuh dendam. "Kenapa Daffi lebih memilih dia daripada aku? Aku yang seharusnya ada di sampingnya. Bukan Giska!" Pikiran Lily mulai dipenuhi oleh bayangan masa lalu, saat dia dan Daffi masih dekat. Semua tawa dan kebersamaan itu, yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau. Dia merasa Giska telah merampas semuanya darinya—kehidupan yang seharusnya menjadi miliknya, kebahagiaan yang seharusnya dia rasakan bersama Daffi. Dia berbalik dari jendela, menatap cermin di hadapannya. Wajahnya penuh kebencian, matanya
Beberapa bulan setelah kelulusan kuliahnya, Daffi kini mulai sibuk bekerja di perusahaan milik ayahnya, Galen. Hari-harinya dipenuhi dengan rapat dan proyek-proyek penting, tetapi di sela-sela kesibukannya, dia selalu meluangkan waktu untuk memikirkan satu hal yang menjadi fokus utamanya: pernikahannya dengan Giska. Di meja kerjanya, Daffi memandang undangan pernikahan yang baru saja disetujui oleh Giska. Dia tersenyum puas membayangkan hari bahagianya yang semakin dekat. Namun, bayangan Lily tiba-tiba menyeruak di pikirannya. Selama ini, Lily tak pernah berhenti mencari cara untuk mengusik hubungannya dengan Giska. Sejak Daffi lulus kuliah dan bekerja di perusahaan ayahnya, Lily seolah semakin gencar mendekatinya. Di setiap kesempatan, dia selalu mencari cara untuk muncul di hadapan Daffi, berharap bisa memecah hubungan antara Daffi dan Giska. “Daffi, ini dokumen yang harus kamu tanda tangani,” suara sekretarisnya memecah lamunannya. “Oh, terima kasih,” Daffi tersadar, lalu denga
Hari itu adalah hari yang seharusnya menyenangkan bagi Daffi dan Giska. Mereka sedang dalam perjalanan pulang setelah memeriksa beberapa rincian pernikahan terakhir ketika tragedi terjadi. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi dan menghantam mobil mereka di tikungan tajam. Daffi berhasil mengendalikan kemudi dengan panik, tapi tidak sempat menghindari benturan keras itu. Giska yang duduk di kursi penumpang terluka parah. Beberapa jam kemudian, di rumah sakit, suasana tegang menguasai ruang tunggu. Daffi duduk di kursi, wajahnya penuh kecemasan dan kesedihan. Dia menggenggam tangan Sera yang duduk di sebelahnya, sementara Galen berdiri di belakang mereka dengan raut serius. “Bagaimana bisa ini terjadi, Pa?” Suara Daffi bergetar, hampir tak terdengar. “Giska... dia bahkan belum sempat mengenakan gaun pengantinnya...” Sera memeluk putranya, mencoba menenangkan, meski air mata terus mengalir di pipinya. “Kita harus percaya pada dokter, Daffi. Giska kuat, dia pasti akan bertahan.”