Setelah beberapa hari berlalu, Sera mulai merasa lebih tenang meski bayang-bayang kejadian sebelumnya masih menghantui pikirannya. Namun, kehadiran Galen dan Daffi membuatnya lebih kuat. Hari itu, Sera tengah duduk di ruang tamu ketika Galen masuk dengan senyum lebar di wajahnya, membawa secangkir kopi yang masih hangat. "Hey, aku bawain kopi kesukaan kamu," ujar Galen sambil menaruh cangkir di meja di depan Sera. "Aku tahu kamu butuh sesuatu yang bisa bikin suasana hati kamu jadi lebih baik." Sera menghela napas pelan, menatap cangkir kopi itu sejenak sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Thanks, Galen. Kamu selalu tahu gimana cara bikin aku merasa sedikit lebih tenang." Galen duduk di sampingnya, menggeser posisi tubuhnya agar lebih dekat. "Karena aku ngerti kamu, Sera. Aku tahu kamu masih kepikiran tentang semuanya, tapi aku harap kamu nggak terus-terusan menyalahkan diri sendiri." Sera menggenggam tangan suaminya, lalu men
Keesokan harinya, Maya semakin memperkuat pengaruhnya pada Lily. Saat Lily bangun pagi, Maya sudah menunggunya di ruang makan dengan sarapan terhidang di meja. Namun, suasana yang hangat itu terasa dingin karena kata-kata Maya sebelumnya masih menggantung di pikiran Lily.“Kamu siap buat hari ini, Lily?” tanya Maya sambil menyuapkan sarapan ke mulutnya. “Ingat apa yang Tante bilang, ya. Nggak ada lagi main sama Daffi.”Lily hanya mengangguk pelan, perasaan ragu masih memenuhi hatinya. Dia merasa ada yang salah, tapi tak tahu harus berbuat apa. Saat jam sekolah hampir tiba, dia diantar oleh Maya, yang dengan tegas berpesan sekali lagi sebelum turun dari mobil.“Jangan biarkan Daffi mendekat, Lily. Kamu sekarang bukan teman dia lagi.”Lily mengangguk meski masih bingung, lalu turun dari mobil dan masuk ke sekolah. Selama hari itu, dia berusaha menghindari Daffi, meskipun Daffi berkali-kali mencoba mendekat.“Lily, kenapa kamu nggak main sama aku?” tanya Daffi saat jam istirahat. “Kamu m
Sore itu, setelah bermain di taman, Sera dan Galen duduk di ruang tamu, menatap Daffi dan Lily yang masih asyik bermain. Meski senyuman tipis menghiasi wajah mereka, Sera tahu masalah yang lebih besar masih mengintai. Kebencian yang Maya tanamkan di hati Lily tidak akan hilang begitu saja. Ini hanya permulaan.Galen memecah keheningan, “Kayaknya Lily mulai melunak, tapi kita harus hati-hati, Sayang. Maya nggak akan berhenti semudah itu.”Sera menatap suaminya sambil menghela napas panjang. “Iya, aku tahu. Aku ngerasa kayak kita ini diintai dari jauh, Galen. Maya mungkin sudah ditahan, tapi aku yakin dia masih punya cara untuk bikin masalah.”Galen mengangguk. “Aku bakal pastiin polisi jaga jarak aman dari kita, dan aku juga bakal pastiin pengacara kita siap buat ngadepin apa pun.”Sera menatap anak-anak yang tertawa kecil di depan mereka. “Aku nggak mau Lily terjebak lebih jauh dalam kebencian itu, Galen. Dia masih terlalu kecil buat ngerti semua intrik ini. Kita harus jagain dia juga
Malam itu, setelah Daffi tertidur lelap di kamarnya, Sera dan Galen duduk di teras belakang mansion mereka. Angin malam yang sejuk berhembus pelan, membawa suasana tenang. Namun, pikiran Sera masih berkecamuk.Galen melihat istrinya yang termenung, lalu dia memecah keheningan. “Sera, kamu udah mikirin apa yang kita harus lakukan selanjutnya?”Sera menghela napas panjang. “Aku udah tahu apa yang harus kita lakukan, Galen. Kita harus lawan Maya dan siapapun yang ada di belakangnya. Tapi aku nggak mau semuanya berakhir buruk buat Daffi.”Galen mengangguk pelan, memahami kekhawatiran istrinya. “Aku setuju. Kita harus hati-hati, terutama buat Daffi. Tapi kita nggak boleh diam aja, karena makin lama kita diem, makin parah tindakan mereka.”Sera menatap suaminya dalam-dalam. “Iya, aku tahu. Tapi Galen, aku beneran nggak ngerti. Kenapa mereka nggak bisa biarin kita hidup damai? Padahal kita nggak pernah ganggu mereka.”Galen tersenyum tipis, lalu meraih tangan Sera, menggenggamnya erat. “Oran
Di sisi lain, suasana di pemakaman terasa muram. Angin sepoi-sepoi menggerakkan dedaunan pohon di sekitar makam Nadine, membuat suasana semakin hening. Maya berdiri di samping pusara yang masih basah dengan tanah yang baru saja dipadatkan. Di sebelahnya, keponakan kecilnya, Lily, menggenggam erat tangan bibinya, matanya merah dan bengkak karena menangis.Lily menatap nisan di depannya, tak bisa menahan tangis yang kembali pecah. “Bibi Maya... kenapa Mama harus pergi? Aku pengen Mama balik...”Maya memandang ke arah pusara dengan sorot mata dingin, berbeda dengan keponakannya yang penuh kesedihan. Meski tangannya memegang tangan Lily dengan lembut, pikirannya melayang jauh. "Ini bukan tentang Mamamu aja, Lily," gumam Maya pelan. "Ini tentang mereka semua yang bikin hidup Mamamu sengsara."Lily mengangkat wajahnya, menatap bibinya dengan bingung. “Maksud Bibi siapa?”Maya menarik napas panjang, berusaha menenangkan keponakannya meskipun di hatinya ada rasa dendam yang tak bisa dipadamka
Beberapa tahun berlalu, Lily kini menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun. Dia sedang menjalani kehidupan yang penuh kesibukan di bangku kuliah. Meski dia mencoba untuk fokus pada studinya, hatinya yang dipenuhi rasa dendam terhadap keluarga Daffi dan orang tua Daffi masih menggerogoti pikirannya. Setiap kali melihat foto-foto Daffi di media sosial atau mendengar kabar tentang keberhasilan mereka, amarahnya kembali memuncak.Suatu sore, setelah kelasnya selesai, Lily duduk di sebuah kafe dekat kampus, menatap layar ponselnya. Dia melihat unggahan Daffi yang merayakan ulang tahunnya dengan keluarga, tampak bahagia dikelilingi teman-teman dan orang-orang tercintanya. Dia menggigit bibirnya, merasa hatinya dipenuhi rasa tidak adil. “Bagaimana bisa mereka terus bahagia sementara aku harus hidup dalam bayang-bayang masa lalu?” gerutunya dalam hati.Seseorang menepuk bahunya dari belakang, membuatnya terlonjak kaget. “Lily! Kenapa kamu terlihat murung? Apakah ada yang mengg
Di ruang makan yang megah, Daffi duduk sambil menyuapkan makanan dengan santai. Sera dan Galen, orang tuanya, duduk di seberang meja, sesekali melontarkan obrolan ringan. Di sisi Daffi, Aira, adik perempuannya, sedang sibuk dengan ponsel sambil tersenyum sesekali. "Daffi, bagaimana kuliahmu?" tanya Galen, menyela keheningan. Daffi mengangkat bahu. "Lancar-lancar aja, Pa. Cuma, kemarin ada tugas besar yang bikin pusing." Sera tersenyum tipis, tatapannya lembut. "Kamu pasti bisa, Nak. Lagipula, kamu sudah terbiasa mengerjakan hal-hal sulit." Aira mengangkat pandangannya dari ponsel, ikut menimpali. "Iya, Kak Daffi kan paling pintar di rumah ini!" Daffi terkekeh, melirik adiknya. "Ah, kamu lebay, Ra. Gimana kuliah kamu sendiri? Masih sibuk ngumpul sama teman-teman, kan?"
Pagi itu, Daffi sedang duduk di kafe kecil dekat kampus bersama Giska, pacarnya. Suasana tampak ceria, keduanya sedang membahas rencana liburan. Giska, yang selalu penuh energi, tertawa saat menceritakan rencana perjalanan ke pantai. “Daffi, kamu harus coba surfing! Seru banget!” Giska menepuk pundak Daffi dengan semangat. Daffi tersenyum hangat, menggenggam tangan Giska. “Aku nggak janji bisa belajar cepat, tapi kalau kamu yang ngajarin, mungkin aku bisa.” Tawa Giska semakin lepas, tapi sekejap kemudian tawa itu terhenti saat mereka melihat seseorang yang mendekat. Lily, dengan langkah percaya diri dan senyum tipis di bibirnya, datang menghampiri meja mereka. Dia mengenakan pakaian yang modis, jelas berusaha menarik perhatian. “Hai, Daffi. Lama nggak ketemu,” sapa Lily dengan nada yang manis, seakan tak peduli dengan kehadiran Giska. Daffi mengangkat alis, merasa aneh dengan kehadiran Lily tiba-tiba. “Lily? Ngapain kamu di sini?” “Oh, aku cuma lewat... ngeliat kamu, ya, a