Beberapa hari berlalu, Galen dan Sera menerima undangan dari seorang teman lama yang akan mengadakan pesta di rumahnya. Pesta ini bukan hanya reuni, tapi juga sebuah perayaan sederhana untuk mempertemukan kembali teman-teman lama yang sudah lama tak bersua. Sera dan Galen memutuskan untuk mengajak Daffi, yang terlihat begitu bersemangat setiap kali diajak pergi keluar.Ketika mereka tiba di rumah temannya, suara musik lembut terdengar dari dalam, sementara aroma makanan yang lezat menguar dari dapur. Daffi, yang berpegangan pada tangan Galen, tampak kagum melihat rumah besar dengan taman yang luas dan banyak orang di dalamnya."Wah, rumahnya besar sekali, Papa! Apa di sini ada mainan juga?" tanya Daffi dengan mata berbinar.Galen tersenyum dan mengusap rambut Daffi. "Mungkin ada, sayang. Nanti kita lihat, ya?"Mereka bertiga melangkah masuk, dan seketika disambut dengan hangat oleh tuan rumah, seorang pria berwajah ramah yang langsung mengenali Galen dan Sera."Galen! Sera! Lama tak b
Malam itu, setelah mereka sampai di rumah, Sera dengan hati-hati mengangkat Daffi yang masih terlelap dari dalam mobil. Galen membantunya dengan lembut, menyingkirkan beberapa helai rambut dari wajah Daffi yang menutupi matanya. "Biarkan aku yang bawa dia ke kamar," ujar Galen dengan suara lembut, matanya penuh perhatian. Sera mengangguk setuju, menyerahkan putra mereka kepada Galen, dan mengikuti dari belakang saat Galen membawa Daffi menuju kamar tidurnya.Sesampainya di kamar, Galen menidurkan Daffi di ranjang kecilnya, menyelimutinya dengan lembut. Sera berdiri di sisi ranjang, menatap wajah Daffi yang terlihat sangat damai dalam tidurnya. Wajah polos putranya itu seakan menghapus semua lelah yang mereka rasakan setelah seharian beraktivitas."Dia sangat mirip denganmu," bisik Galen sambil tersenyum kecil, menatap Sera dengan penuh cinta.Sera tersenyum, lalu mengelus pipi Daffi dengan lembut. "Kamu yang selalu bilang begitu," jawabnya dengan nada main-main, namun matanya tetap t
Siang itu, setelah menjemput Daffi dari sekolah, Sera dan Galen memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di taman dekat rumah. Sinar matahari yang hangat menyinari mereka saat mereka duduk di bangku taman, memandangi Daffi yang bermain ceria di area bermain."Daffi senang sekali main di sini," kata Sera, matanya tak lepas dari putra kecilnya yang sedang berlari-lari mengejar bola.Galen mengangguk, "Dia butuh waktu untuk bersenang-senang setelah sekolah. Aku senang melihat dia begitu bahagia."Sera tersenyum tipis, "Aku juga. Kehadirannya membuat semua luka itu terasa lebih ringan."Galen memandang Sera dengan lembut, "Kamu sudah menjadi ibu yang luar biasa, Sera. Aku bangga padamu."Sera menoleh ke arah suaminya, merasa hatinya hangat oleh kata-kata itu. "Terima kasih, Galen. Tapi aku nggak bisa melakukannya tanpa kamu."Galen meraih tangan Sera dan menggenggamnya erat. "Kita tim, kan? Selalu bersama-sama."Mereka terdiam sejenak, menikmati momen tenang itu. Suara tawa Daffi yang
Malam itu, setelah Nara tertidur lelap, Nadine duduk sendirian di ruang tamu rumah barunya. Rumah itu sunyi, hanya terdengar suara angin yang sesekali menggesek daun di luar jendela. Matanya menatap kosong ke arah lampu gantung di langit-langit, pikirannya melayang-layang. Tadi siang, ketika dia berbincang dengan Sera dan Galen, ada sesuatu yang tak bisa diabaikannya—rasa iri yang tiba-tiba mengusik hati.Nadine menyesap teh hangatnya, tapi kehangatan itu tak mampu menenangkan kegundahan yang mulai tumbuh. Dia menghela napas panjang, membayangkan bagaimana hidupnya jika masih memiliki seorang suami yang mencintainya, seperti Galen yang terlihat begitu perhatian pada Sera. Tatapannya tertuju ke arah rumah Sera yang bisa terlihat samar dari jendela, rasa iri itu semakin menyesakkan."Kok bisa ya hidup Sera kelihatan begitu sempurna?" gumam Nadine pelan, berbicara pada dirinya sendiri.Galen adalah sosok suami yang penuh perhatian. Nadine mengingat cara Galen memegang tangan Sera, bagaim
Setelah Nadine pulang, Sera duduk di ruang tamu bersama Galen, masih memikirkan obrolannya dengan tetangga barunya itu. Galen yang duduk di sebelahnya, sibuk dengan laptopnya, mendongak dan menyadari bahwa istrinya tampak agak gelisah."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Galen, suaranya lembut namun penuh perhatian.Sera menghela napas, lalu menoleh ke arah suaminya. "Aku nggak tahu, tapi... aku merasa ada yang aneh sama Nadine."Galen menutup laptopnya, siap mendengarkan. "Aneh gimana maksudmu?"Sera menggigit bibir bawahnya, berpikir sejenak sebelum menjawab. "Dia kelihatan... gimana ya, sepertinya dia merasa hidupnya kurang bahagia. Tadi dia bilang kesepian, tapi ada cara dia ngomong yang bikin aku nggak nyaman."Galen mengernyitkan kening. "Maksudmu dia iri sama kita?"Sera mengangguk pelan. "Mungkin, ya. Aku cuma merasa ada sesuatu yang nggak beres."Galen tertawa kecil, berusaha meredakan ketegangan di wajah istrinya. "Sayang, kamu terlalu baik. Mungkin dia cuma butuh waktu buat menyes
Sejak percakapan aneh dengan Nadine, Sera merasa tak nyaman. Ada sesuatu tentang wanita itu yang terus membekas di pikirannya, membuatnya waspada. Pagi itu, setelah mengantar Daffi ke sekolah, Sera mulai memasang sikap berjaga-jaga. Setiap kali Nadine lewat di depan mansion mereka, Sera memperhatikan dari balik jendela ruang tamu."Dia selalu lewat sini, tapi nggak pernah bilang mau mampir lagi. Rasanya dia cuma mau lihat-lihat keadaan rumah," gumam Sera pada dirinya sendiri, sambil terus memandang keluar.Galen, yang tengah duduk di ruang kerja, mendengar gumaman istrinya. "Kamu masih mikirin soal Nadine?" tanyanya sambil berjalan mendekat.Sera mengangguk. "Iya, aku nggak bisa lepasin perasaan aneh ini. Sejak dia datang ke sini dan bilang hal-hal aneh tentang betapa beruntungnya aku punya kamu, aku jadi curiga. Kayaknya dia pengen lebih dari sekadar tetangga baik."Galen meraih bahu Sera, memberikan rasa tenang. "Kamu nggak usah khawatir. Kalau dia mulai bertingkah, aku yang akan ha
Malam itu, Sera menghadiri pesta glamor di sebuah ballroom mewah di pusat kota. Lampu kristal berkilauan, musik jazz lembut mengalun, dan para tamu sosialita saling berbincang sambil menyesap minuman berkelas. Sera mengenakan gaun elegan berwarna merah marun, rambutnya ditata rapi, membuatnya terlihat anggun dan memukau. Di sampingnya, beberapa wanita sosialita yang merupakan teman-temannya sibuk berbincang."Sera, kamu terlihat luar biasa malam ini!" seru Lisa, salah satu temannya, sambil tersenyum lebar."Terima kasih, Lisa. Kamu juga," balas Sera dengan anggukan kecil, meski pikirannya melayang ke masalah yang masih mengganggunya: Nadine.Tak lama kemudian, Tania, teman lamanya yang terkenal bijak di kalangan sosialita, menghampiri dan bergabung dalam percakapan mereka. "Sera, lama nggak lihat kamu. Gimana kabarmu?" tanyanya dengan nada ramah namun ada sorot perhatian di matanya.Sera tersenyum kecil, tapi matanya memancarkan sedikit kelelahan. "Baik, Tania. Meskipun beberapa hal b
Nadine mulai merancang langkah berikutnya dengan hati-hati. Di tengah keheningan sore itu, ia mulai menelpon beberapa tetangga yang dikenal doyan bergosip. Tujuannya jelas—menciptakan cerita tentang Sera yang akan merusak citra sempurna wanita itu di mata orang-orang sekitar."Eh, kamu tahu nggak, soal Sera?" Nadine berbicara lembut dengan nada penuh keakraban di telepon. "Aku nggak mau ikut campur, tapi belakangan ini aku dengar hal-hal nggak enak tentang dia, lho."Dari ujung telepon, suara seorang wanita yang penuh rasa ingin tahu terdengar, "Serius, Nadine? Emang ada apa?"Nadine pura-pura ragu sejenak sebelum akhirnya melanjutkan. "Ya, katanya... dia nggak sesempurna yang kelihatan. Gosipnya sih, Galen mulai terganggu sama sikap posesif Sera. Kamu tahu kan, Sera tuh terlalu overprotective sama keluarganya, sampai-sampai Galen nggak bisa nafas, gitu.""Astaga, kok bisa? Jadi mereka nggak bahagia dong?" Suara di ujung telepon terdengar semakin penasaran.Nadine tersenyum puas, tahu