Hari itu, langit mendung seakan merasakan kesedihan yang akan segera melanda keluarga Sera. Di rumah sakit, Sera dan Galen menunggu dengan cemas di luar ruang gawat darurat. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik berlalu seperti sebuah beban yang menghimpit hati mereka. Dokter akhirnya keluar dengan wajah muram, membuat jantung Sera berhenti berdetak sejenak."Dokter, bagaimana keadaan anak-anak saya?" tanya Sera dengan suara bergetar, matanya penuh harapan namun ketakutan tak bisa disembunyikan.Dokter menghela napas panjang, menatap mereka dengan penuh simpati. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi luka mereka terlalu parah. Kami tidak bisa menyelamatkan mereka. Saya sangat menyesal."Sera langsung merasakan dunianya runtuh. Dia menjerit histeris, jatuh berlutut di lantai. "Tidak mungkin! Tolong selamatkan anak-anak saya! Tolong, lakukan sesuatu!" isaknya, air mata mengalir deras tanpa henti.Galen berusaha memeluknya, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancu
Setelah pemakaman yang begitu melelahkan secara emosional, siang itu Sera dan Galen akhirnya kembali ke mansion. Begitu mereka sampai, Sera langsung berjalan cepat menuju kamar mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Galen mengikutinya dengan cemas, melihat betapa hancurnya wanita yang sangat dicintainya."Sera, sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Galen dengan lembut, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.Sera tidak menjawab, dia hanya berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepi, menundukkan kepala. Air mata mulai mengalir lagi, dan bahunya terguncang oleh isakan yang tak bisa dia tahan.Galen mendekat, duduk di sampingnya, dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu ini berat, Sera. Aku juga merasakan kehilangan yang sama. Tapi kita harus kuat, sayang. Kita harus bersama-sama melalui ini."Sera menggelengkan kepala, menolak untuk menatap Galen. "Galen, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya semua ini terlalu berat. Alana dan Alina... mereka suda
Sera menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, mengurung diri di dalam kamar yang sunyi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela terasa begitu menyilaukan, tapi ia tetap duduk di tepi tempat tidur, memeluk bantal yang masih berbau harum anak-anaknya. Isaknya perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan dada.Di luar kamar, Galen merasa semakin cemas dengan kondisi Sera. Ia sering kali berdiri di depan pintu, mendengarkan, berharap mendengar suara istrinya yang memberinya tanda bahwa ia butuh sesuatu. Namun, yang didengarnya hanya keheningan.Galen memutuskan untuk memberikan ruang yang Sera minta, tapi hatinya penuh dengan kekhawatiran. Dia berjalan keluar rumah, memutuskan untuk mengambil udara segar di taman belakang mansion mereka. Dia duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah bunga-bunga yang mekar. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Sera dan rasa sakit yang ia rasakan.Di dalam kamar, Sera mencoba menenangkan pikirannya. Dia merenung, memikirkan setiap
Beberapa hari setelah percakapan yang mendalam antara Sera dan Galen, Galen merasa bahwa istrinya membutuhkan waktu jauh dari semua kenangan yang menyakitkan di rumah mereka. Dia memutuskan untuk memberikan kejutan yang mungkin bisa membantu Sera mengalihkan perhatiannya dan mulai menyembuhkan diri dari rasa sakit yang selama ini menyelimuti hatinya.Di suatu pagi yang cerah, Galen masuk ke kamar dengan senyum di wajahnya, membawa sebuah amplop kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Sera sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya dengan gerakan yang pelan dan lembut, masih dengan ekspresi wajah yang sendu. Galen mendekat dan meletakkan kedua tangannya di bahu Sera, memberikan ciuman singkat di puncak kepalanya."Sera, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan," kata Galen sambil tersenyum.Sera menoleh dengan sedikit keheranan. "Apa itu, Galen?"Galen mengeluarkan amplop dari balik punggungnya dan menyerahkannya kepada Sera. "Buka saja dulu."Sera meraih amplop itu dengan rag
Setelah tiba di pulau eksotis yang dipenuhi dengan pemandangan alam yang menakjubkan, Galen dan Sera merasa seperti memasuki dunia yang berbeda—tempat di mana beban kehidupan seakan lenyap dan hanya ada kedamaian. Angin laut yang sepoi-sepoi, aroma garam yang menyegarkan, dan suara ombak yang lembut menghantam pantai membuat keduanya merasa lebih rileks dari sebelumnya.Mereka berdua diantar ke villa pribadi yang langsung menghadap ke laut, dengan balkon besar yang dilengkapi kolam renang infinity. Pemandangan itu begitu memukau hingga Sera hampir tak percaya mereka benar-benar ada di sana. Setelah mereka meletakkan barang-barang di dalam kamar yang mewah namun tetap terasa hangat, Galen segera menarik Sera ke balkon.“Sera, lihat ini,” katanya dengan nada penuh kegembiraan sambil menunjuk ke arah laut yang biru berkilauan. “Aku tahu kita butuh tempat yang istimewa, tapi ini... ini lebih dari yang aku bayangkan.”Sera tersenyum, lalu menghela napas panjang. “Ini sempurna, Galen. Tempa
Dua minggu telah berlalu sejak peristiwa yang mengguncang kehidupan Sera dan Galen, namun rasa sakit dan kehilangan masih terasa begitu nyata, seolah-olah baru kemarin terjadi. Meskipun mereka telah berusaha untuk melanjutkan hidup dengan berbagai cara—mencoba kembali ke rutinitas sehari-hari dan menikmati kebersamaan mereka—bayangan tentang Alana dan Alina selalu menghantui pikiran Sera. Pagi itu, Sera bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun sinarnya yang lembut sudah mulai merayapi jendela kamar mereka. Sera duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto Alana dan Alina yang selalu ia letakkan di meja samping. Wajah-wajah ceria kedua putrinya itu membuat hatinya terasa seperti diiris sembilu. Galen, yang merasakan pergerakan Sera, membuka matanya perlahan. Dia melihat istrinya yang duduk terdiam dan tahu bahwa sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Tanpa berkata-kata, dia bangun dan duduk di samping Sera, merangkul bahunya
Siang itu, Galen tengah berada di ruang kerjanya ketika Jeff, detektif yang ia percayai untuk menyelidiki kasus ini, tiba-tiba muncul dengan ekspresi serius. Jeff langsung mendekati Galen dengan selembar dokumen di tangannya."Galen, aku punya sesuatu," kata Jeff tanpa basa-basi, tatapannya penuh dengan tekad.Galen, yang sudah begitu lelah dan frustrasi dengan seluruh situasi ini, menatap Jeff dengan sorot mata penuh harapan dan ketegangan. "Apa itu, Jeff? Apa yang kamu temukan?"Jeff meletakkan dokumen itu di atas meja Galen dan membukanya. Di dalamnya terdapat bukti-bukti yang sangat menguatkan bahwa Annisa terlibat dalam peristiwa tragis yang merenggut nyawa Alana dan Alina. Ada rekaman transaksi bank, percakapan telepon yang disadap, serta foto-foto yang menunjukkan aktivitas mencurigakan Annisa bersama beberapa orang bayaran."Ini semua mengarah pada Annisa, Galen," kata Jeff dengan suara tegas. "Dia yang merencanakan semua ini. Semua bukti ini cukup kuat untuk melaporkannya ke
Pagi itu, suasana di kediaman keluarga Arga berubah drastis. Matahari yang baru saja terbit terasa tidak membawa kehangatan, melainkan ketegangan yang semakin memuncak. Di tengah keheningan yang mencekam, dering telepon yang keras dan mendadak memecah keheningan di ruang tamu. Arga yang baru saja turun dari lantai dua untuk sarapan, segera meraih telepon itu."Halo?" suaranya terdengar lelah, pertanda kurang tidur beberapa hari terakhir ini."Apa? Anisa ditangkap polisi?!" suara Arga berubah menjadi teriakan terkejut, membuat ibunya, Nyonya Martha, yang sedang duduk di meja makan langsung menoleh dengan pandangan penuh kebingungan."Ada apa, Arga?" tanya Nyonya Martha, cemas melihat reaksi putranya yang tiba-tiba.Arga menutup telepon dengan tangan yang bergetar, wajahnya pucat pasi. "Mami… Anisa… dia… dia ditangkap polisi!""Apa?!" Nyonya Martha bangkit dari kursinya dengan tergesa-gesa. "Apa maksudmu Anisa ditangkap? Apa yang terjadi?!" suaranya naik beberapa oktaf, menunjukkan keti
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.