Pada keesokan harinya, Arga sudah memutuskan untuk menemui Alana dan Alina, mengumpulkan keberanian yang telah lama hilang. Dia merasa ini adalah waktu yang tepat untuk memperbaiki kesalahan dan menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa dia masih peduli. Namun, ketika dia bersiap-siap untuk pergi, ibunya, Ny. Martha, datang menghampirinya dengan ekspresi marah di wajahnya."Arga, kamu mau pergi ke mana?" tanya Ny. Martha dengan suara tajam, menatapnya dengan mata menyala-nyala.Arga menghela napas, berusaha tetap tenang. "Aku mau menemui Alana dan Alina, Ma. Mereka perlu mendengar penjelasan dariku."Ny. Martha menggelengkan kepala dengan keras, nadanya semakin tinggi. "Tidak, Arga. Kamu tidak boleh menemui mereka. Mereka sudah cukup bahagia dengan Sera dan pria barunya itu. Kamu tidak perlu mengganggu kehidupan mereka lagi."Arga merasakan amarah dan frustrasi meluap. "Ma, ini bukan tentang mengganggu. Ini tentang tanggung jawabku sebagai ayah. Anak-anak perlu tahu bahwa aku masih peduli
Di suatu sore, Annisa duduk di ruang tamunya yang mewah dengan ekspresi marah yang tidak bisa dia sembunyikan. Sejak Arga mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Alana dan Alina, Annisa merasa cemburu dan terancam. Dia merasa terabaikan dan tidak senang melihat suaminya lebih memprioritaskan anak-anak tirinya. Keberadaan mereka semakin membuatnya merasa tidak nyaman."Sekarang apa? Kenapa Arga malah makin sering pulang ke rumah Galen?" gerutunya pada Rani, sahabatnya yang setia mendengarkan.Rani, yang duduk di seberang Annisa dengan wajah penuh perhatian, menjawab dengan nada hati-hati. "Annisa, aku paham perasaanmu. Tapi kamu tahu kan, Arga memang ayah biologis mereka. Dia berhak untuk terlibat dalam kehidupan anak-anaknya."Annisa menggigit bibirnya, tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Aku tidak peduli tentang hak-hak biologisnya. Yang aku lihat adalah dia semakin mengabaikanku demi anak-anak itu. Mereka sudah memiliki ibu mereka sendiri, dan aku tidak mau dia terus-terusan
Hari itu, langit mendung seakan merasakan kesedihan yang akan segera melanda keluarga Sera. Di rumah sakit, Sera dan Galen menunggu dengan cemas di luar ruang gawat darurat. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik berlalu seperti sebuah beban yang menghimpit hati mereka. Dokter akhirnya keluar dengan wajah muram, membuat jantung Sera berhenti berdetak sejenak."Dokter, bagaimana keadaan anak-anak saya?" tanya Sera dengan suara bergetar, matanya penuh harapan namun ketakutan tak bisa disembunyikan.Dokter menghela napas panjang, menatap mereka dengan penuh simpati. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi luka mereka terlalu parah. Kami tidak bisa menyelamatkan mereka. Saya sangat menyesal."Sera langsung merasakan dunianya runtuh. Dia menjerit histeris, jatuh berlutut di lantai. "Tidak mungkin! Tolong selamatkan anak-anak saya! Tolong, lakukan sesuatu!" isaknya, air mata mengalir deras tanpa henti.Galen berusaha memeluknya, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri hancu
Setelah pemakaman yang begitu melelahkan secara emosional, siang itu Sera dan Galen akhirnya kembali ke mansion. Begitu mereka sampai, Sera langsung berjalan cepat menuju kamar mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Galen mengikutinya dengan cemas, melihat betapa hancurnya wanita yang sangat dicintainya."Sera, sayang, kamu nggak apa-apa?" tanya Galen dengan lembut, masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.Sera tidak menjawab, dia hanya berjalan ke arah tempat tidur dan duduk di tepi, menundukkan kepala. Air mata mulai mengalir lagi, dan bahunya terguncang oleh isakan yang tak bisa dia tahan.Galen mendekat, duduk di sampingnya, dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang. "Aku tahu ini berat, Sera. Aku juga merasakan kehilangan yang sama. Tapi kita harus kuat, sayang. Kita harus bersama-sama melalui ini."Sera menggelengkan kepala, menolak untuk menatap Galen. "Galen, aku nggak tahu lagi harus bagaimana. Rasanya semua ini terlalu berat. Alana dan Alina... mereka suda
Sera menghabiskan hari-harinya dalam kesendirian, mengurung diri di dalam kamar yang sunyi. Cahaya matahari yang masuk melalui jendela terasa begitu menyilaukan, tapi ia tetap duduk di tepi tempat tidur, memeluk bantal yang masih berbau harum anak-anaknya. Isaknya perlahan mereda, digantikan oleh keheningan yang menyesakkan dada.Di luar kamar, Galen merasa semakin cemas dengan kondisi Sera. Ia sering kali berdiri di depan pintu, mendengarkan, berharap mendengar suara istrinya yang memberinya tanda bahwa ia butuh sesuatu. Namun, yang didengarnya hanya keheningan.Galen memutuskan untuk memberikan ruang yang Sera minta, tapi hatinya penuh dengan kekhawatiran. Dia berjalan keluar rumah, memutuskan untuk mengambil udara segar di taman belakang mansion mereka. Dia duduk di bangku taman, menatap kosong ke arah bunga-bunga yang mekar. Pikirannya dipenuhi dengan bayangan Sera dan rasa sakit yang ia rasakan.Di dalam kamar, Sera mencoba menenangkan pikirannya. Dia merenung, memikirkan setiap
Beberapa hari setelah percakapan yang mendalam antara Sera dan Galen, Galen merasa bahwa istrinya membutuhkan waktu jauh dari semua kenangan yang menyakitkan di rumah mereka. Dia memutuskan untuk memberikan kejutan yang mungkin bisa membantu Sera mengalihkan perhatiannya dan mulai menyembuhkan diri dari rasa sakit yang selama ini menyelimuti hatinya.Di suatu pagi yang cerah, Galen masuk ke kamar dengan senyum di wajahnya, membawa sebuah amplop kecil yang disembunyikan di balik punggungnya. Sera sedang duduk di depan cermin, menyisir rambutnya dengan gerakan yang pelan dan lembut, masih dengan ekspresi wajah yang sendu. Galen mendekat dan meletakkan kedua tangannya di bahu Sera, memberikan ciuman singkat di puncak kepalanya."Sera, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan," kata Galen sambil tersenyum.Sera menoleh dengan sedikit keheranan. "Apa itu, Galen?"Galen mengeluarkan amplop dari balik punggungnya dan menyerahkannya kepada Sera. "Buka saja dulu."Sera meraih amplop itu dengan rag
Setelah tiba di pulau eksotis yang dipenuhi dengan pemandangan alam yang menakjubkan, Galen dan Sera merasa seperti memasuki dunia yang berbeda—tempat di mana beban kehidupan seakan lenyap dan hanya ada kedamaian. Angin laut yang sepoi-sepoi, aroma garam yang menyegarkan, dan suara ombak yang lembut menghantam pantai membuat keduanya merasa lebih rileks dari sebelumnya.Mereka berdua diantar ke villa pribadi yang langsung menghadap ke laut, dengan balkon besar yang dilengkapi kolam renang infinity. Pemandangan itu begitu memukau hingga Sera hampir tak percaya mereka benar-benar ada di sana. Setelah mereka meletakkan barang-barang di dalam kamar yang mewah namun tetap terasa hangat, Galen segera menarik Sera ke balkon.“Sera, lihat ini,” katanya dengan nada penuh kegembiraan sambil menunjuk ke arah laut yang biru berkilauan. “Aku tahu kita butuh tempat yang istimewa, tapi ini... ini lebih dari yang aku bayangkan.”Sera tersenyum, lalu menghela napas panjang. “Ini sempurna, Galen. Tempa
Dua minggu telah berlalu sejak peristiwa yang mengguncang kehidupan Sera dan Galen, namun rasa sakit dan kehilangan masih terasa begitu nyata, seolah-olah baru kemarin terjadi. Meskipun mereka telah berusaha untuk melanjutkan hidup dengan berbagai cara—mencoba kembali ke rutinitas sehari-hari dan menikmati kebersamaan mereka—bayangan tentang Alana dan Alina selalu menghantui pikiran Sera. Pagi itu, Sera bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun sinarnya yang lembut sudah mulai merayapi jendela kamar mereka. Sera duduk di tepi tempat tidur, memandangi foto Alana dan Alina yang selalu ia letakkan di meja samping. Wajah-wajah ceria kedua putrinya itu membuat hatinya terasa seperti diiris sembilu. Galen, yang merasakan pergerakan Sera, membuka matanya perlahan. Dia melihat istrinya yang duduk terdiam dan tahu bahwa sesuatu sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Tanpa berkata-kata, dia bangun dan duduk di samping Sera, merangkul bahunya