Setelah pertemuan di kafe itu, Galendra merasa semakin penasaran dengan Sera. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya ingin tahu lebih dalam, tidak hanya tentang kualifikasinya untuk pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupannya dan tujuan yang ingin dicapai. Di malam yang tenang, saat duduk di ruang kerjanya yang luas, Galendra memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Sera.
Ia mulai dengan membuka laptopnya dan mencari informasi tentang Sera di media sosial. Di profil LinkedIn Sera, Galendra melihat berbagai pencapaian profesional yang mengesankan, proyek-proyek yang pernah dia tangani, dan berbagai rekomendasi dari rekan-rekan kerjanya. Semua ini membuat Galendra semakin yakin bahwa Sera adalah kandidat yang sangat cocok untuk perusahaan. Namun, yang membuatnya lebih tertarik adalah sisi pribadi Sera yang terlihat dari beberapa unggahan di media sosial lainnya. Melalui I*******m, Galendra melihat foto-foto Sera bersama anak-anaknya, momen-momen bahagia yang penuh cinta dan tawa. Ada juga foto-foto perjalanan, menunjukkan bahwa Sera adalah seseorang yang mencintai petualangan dan menghargai pengalaman hidup. Di beberapa caption, Sera berbicara tentang pentingnya keseimbangan antara karier dan keluarga, serta bagaimana ia berusaha memberikan yang terbaik dalam kedua aspek tersebut. Penasaran, Galendra menghubungi Rani keesokan harinya di kantor. "Rani, bisa kita bicara sebentar?" panggilnya melalui interkom. Tak lama kemudian, Rani masuk ke ruangan. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Galendra?" "Saya ingin tahu lebih banyak tentang Sera, bukan hanya dari sisi profesional, tapi juga kehidupan pribadinya. Apa kamu tahu sesuatu yang bisa membantu?" tanya Galendra, berusaha terdengar santai meskipun rasa penasarannya jelas terpancar. Rani tersenyum, sepertinya sudah menduga pertanyaan ini akan muncul. "Sera itu orang yang sangat berdedikasi, Pak. Saya tahu dia adalah ibu dari dua anak dan dia sangat sayang sama mereka. Dia sering bercerita tentang bagaimana dia berusaha menyeimbangkan waktu antara pekerjaan dan keluarga. Sera juga aktif di beberapa komunitas sosial, sering terlibat dalam kegiatan sukarela." Galendra mendengarkan dengan seksama, semakin terpesona dengan cerita Rani. "Apa kamu tahu apa tujuan hidupnya? Apa yang sebenarnya dia cari dengan melamar di perusahaan ini?" "Saya rasa Sera ingin memberikan contoh yang baik buat anak-anaknya, Pak. Dia ingin menunjukkan bahwa dengan kerja keras dan tekad, kita bisa mencapai apa yang kita impikan. Dia juga sepertinya ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa mencapai lebih banyak lagi di bidang profesional," jawab Rani dengan tulus. Setelah Rani keluar dari ruangan, Galendra duduk termenung. Sera bukan hanya sosok profesional yang berbakat, tapi juga seorang ibu yang kuat dan inspiratif. Dia merasa ada sesuatu yang sangat menarik dari kombinasi kekuatan dan kelembutan yang dimiliki Sera. Hari-hari berikutnya, Galendra semakin sering memikirkan Sera. Ia merasa ada koneksi yang kuat dan tidak bisa diabaikan begitu saja. Dalam rapat-rapat dan pertemuan dengan tim eksekutif, pikirannya sering melayang ke arah Sera, membayangkan bagaimana wanita itu bisa membawa perubahan positif tidak hanya di perusahaan, tetapi mungkin juga dalam hidupnya. Akhirnya, Galendra memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Ia mengundang Sera untuk makan malam, kali ini di sebuah restoran kecil yang tenang dengan suasana yang intim. Saat mereka duduk di meja yang dikelilingi oleh lilin dan musik jazz yang lembut, Galendra merasa ini adalah saat yang tepat untuk mengenal Sera lebih dalam. "Terima kasih sudah datang, Sera. Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu, tidak hanya sebagai calon karyawan, tapi sebagai pribadi," kata Galendra sambil tersenyum hangat. Sera tersenyum, merasa sedikit terkejut tapi juga senang dengan perhatian Galendra. "Terima kasih sudah mengundang saya, Galendra. Apa yang ingin kamu tahu?" "Segalanya. Mulai dari apa yang membuatmu bersemangat setiap hari, sampai tujuan hidupmu yang paling dalam. Aku ingin tahu apa yang membuatmu menjadi dirimu yang sekarang," jawab Galendra dengan jujur. Percakapan pun mengalir dengan alami. Sera bercerita tentang masa kecilnya, perjuangannya sebagai ibu tunggal, dan impian-impian yang ingin ia wujudkan. Galendra mendengarkan dengan penuh perhatian, semakin terpesona dengan setiap cerita yang dibagikan Sera. Malam itu, di bawah cahaya lilin dan suasana yang hangat, Galendra merasa semakin yakin bahwa Sera adalah seseorang yang istimewa. Tidak hanya untuk Romanov Corp., tapi juga mungkin untuk dirinya. Ia merasakan sebuah koneksi yang kuat, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya. Saat mereka berpisah malam itu, Galendra berkata, "Aku sangat menghargai waktu dan ceritamu, Sera. Aku berharap kita bisa melanjutkan percakapan ini lagi. Ada banyak hal yang ingin aku tahu lebih dalam tentang dirimu." Sera tersenyum, merasa ada harapan baru yang menyala dalam dirinya. "Aku juga, Galendra. Terima kasih untuk malam yang luar biasa." Mereka berdua berpisah dengan perasaan yang hangat dan penuh harapan, menyadari bahwa pertemuan ini bukan hanya tentang pekerjaan, tapi mungkin awal dari sesuatu yang lebih besar dan bermakna dalam hidup mereka. Malam itu, di ruang kerja Galendra yang megah namun terasa nyaman, dia duduk memikirkan langkah berikutnya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya sejak pertemuannya dengan Sera. Galendra merasa bahwa ada peluang untuk membantu Sera sekaligus mencapai tujuannya sendiri. Pikirannya kembali ke cerita Sera tentang mantan suaminya, Arga, yang telah meninggalkan luka mendalam dalam hidupnya. Ide yang tidak biasa terlintas di benaknya. Keesokan harinya, Galendra memutuskan untuk bertemu lagi dengan Sera. Dia menghubungi Rani untuk mengatur pertemuan pribadi di ruangannya. Sera datang dengan sedikit penasaran, tidak menyangka akan dipanggil secepat ini setelah pertemuan mereka yang terakhir. "Selamat pagi, Galendra. Ada yang bisa saya bantu?" sapa Sera dengan senyum ramah, meski hatinya sedikit gugup. "Pagi, Sera. Silakan duduk. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu," kata Galendra sambil mempersilakan Sera duduk di kursi di depan mejanya. Sera duduk dan memperhatikan Galendra yang tampak serius. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Galendra?" tanyanya, penasaran. Galendra mengambil napas dalam-dalam, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Sera, aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi aku punya ide yang bisa menguntungkan kita berdua. Aku ingin menawarkan sebuah kerjasama... sebuah kontrak." Sera mengerutkan kening, bingung. "Kontrak? Maksudmu apa?" "Begini, aku tahu tentang mantan suamimu, Arga, dan bagaimana dia telah menyakiti kamu. Aku juga tahu bahwa kamu punya keinginan untuk membalas dendam, meskipun kamu mungkin tidak mengatakannya dengan jelas. "Aku bisa membantumu mencapai tujuan itu," kata Galendra dengan tenang, memperhatikan reaksi Sera. Sera terdiam sejenak, lalu menatap Galendra dengan tatapan penuh tanya. "Maksudmu... kamu ingin membantu aku membalas dendam pada Arga?Tapi bagaimana caranya?" Galendra tersenyum tipis. "Aku punya sumber daya dan pengaruh yang bisa membuat hidup Arga tidak nyaman. Tapi aku butuh bantuanmu juga. Aku ingin kamu menjadi kekasih kontrakku. Kita akan berpura-pura sebagai pasangan, dan aku akan membantumu dalam segala hal yang kamu butuhkan untuk membalas dendam pada Arga." Sera terkejut, tidak menyangka akan mendengar tawaran seperti itu. "Menjadi kekasih kontrak? Kenapa kamu ingin melakukan ini?" "Ada beberapa alasan pribadi yang membuatku ingin melakukan ini, dan aku yakin kita bisa saling menguntungkan. Kamu akan mendapatkan kesempatan untuk membalas dendam, dan aku akan mendapatkan keuntungan dari situasi ini juga. Kita bisa bekerja sama untuk mencapai tujuan masing-masing," jelas Galendra dengan serius. Sera berpikir keras, mencerna semua yang baru saja dikatakan Galendra. Tawaran itu terdengar menggiurkan, namun juga penuh risiko. "Bagaimana kalau aku setuju? Apa yang akan terjadi?" "Kita akan menjalani kontrak ini dengan kesepakatan yang jelas. Aku akan memastikan Arga merasakan akibat dari perbuatannya, dan kamu akan mendapatkan dukungan penuh dariku. Tapi kita harus tampil meyakinkan sebagai pasangan. Ini bukan hanya soal membalas dendam, tapi juga tentang bagaimana kita bisa bekerja sama dengan baik," kata Galendra dengan mantap. Sera menghela napas, hatinya berdebar-debar. Tawaran ini bisa menjadi jalan untuk menyelesaikan dendam yang selama ini dia pendam. "Baiklah, Galendra. Aku setuju dengan tawaranmu. Tapi aku ingin semuanya jelas dalam kontrak. Aku tidak mau ada hal yang merugikan di kemudian hari." "Tentu, Sera. Kita akan menyusun kontrak ini dengan jelas dan transparan. Kamu tidak perlu khawatir," jawab Galendra sambil tersenyum lega. "Ini akan menjadi awal dari kerjasama yang menarik." Dengan perasaan campur aduk antara antusiasme dan ketidakpastian, Sera setuju untuk menjalin kerjasama dengan Galendra. Mereka berdua tahu bahwa ini bukan jalan yang mudah, tetapi jika dijalani dengan benar, bisa membawa mereka ke tempat yang lebih baik dan membalas dendam yang selama ini Sera impikan. Dalam beberapa hari ke depan, mereka akan mulai menjalani peran mereka sebagai pasangan kontrak, dengan tujuan yang jelas dan tekad yang kuat. Galendra yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa mengatasi segala rintangan dan mencapai tujuan yang diinginkan. Sementara itu, Sera merasa ada harapan baru dan kekuatan yang lahir dari kerjasama ini, siap untuk menghadapi masa depan dengan segala tantangannya.Beberapa minggu setelah mereka setuju untuk menjalani peran sebagai pasangan kontrak, Galendra dan Sera menghadiri sebuah pesta malam gala yang bergengsi di kota. Acara ini dihadiri oleh para elit bisnis dan tokoh masyarakat, menyediakan platform yang sempurna bagi mereka untuk memperkuat citra mereka sebagai pasangan yang solid.Di atas tangga masuk, Galendra memberikan tangannya kepada Sera dengan penuh keanggunan, seperti pasangan yang benar-benar terbiasa dengan sorotan publik. Sera mengenakan gaun hitam yang elegan, sementara Galendra memakai setelan jas hitam yang memancarkan kepercayaan diri dan kekuasaan.Mereka berdua berjalan masuk ke dalam ruang pesta yang gemerlap, di mana lampu-lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Tamu-tamu lain memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu, sebagian besar penasaran tentang pasangan baru ini yang terlihat begitu cocok bersama.Saat mereka berdiri di tengah-tengah ruangan, Galendra memegang gelas sampanye dengan elega
Malam itu, setelah pertemuan di restoran dengan Arga, Galendra merasa bahwa Sera membutuhkan sedikit waktu untuk bersantai dan melupakan ketegangan yang baru saja mereka alami. Dia memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan di sekitar kota, menikmati suasana malam yang sejuk dan tenang."Sera, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Udara malam ini cukup sejuk, dan mungkin bisa membantu kita untuk sedikit bersantai," usul Galendra dengan senyuman hangat.Sera, yang merasa sedikit tegang setelah pertemuan dengan Arga, mengangguk setuju. "Ide bagus, Galendra. Aku butuh sedikit udara segar."Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar yang diterangi lampu-lampu jalan yang hangat, menghindari keramaian pusat kota dan menuju ke taman kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi. Taman itu tampak tenang, dengan bangku-bangku kayu dan pepohonan yang meneduhkan.Galendra dan Sera duduk di salah satu bangku, menikmati keheningan malam. Sera menghela napas panjang, merasa sedikit lebih r
Di sisi lain kota, Arga duduk di ruang kerjanya yang luas, namun kali ini suasananya tidak terasa nyaman baginya. Dia merasa gelisah sejak pertemuan tadi malam. Pikirannya terus kembali ke momen saat dia melihat Sera bersama Galendra, pria yang tampaknya begitu perhatian dan mendukung Sera. Hal itu membuatnya merasa kesal dan tidak nyaman. Arga berjalan mondar-mandir di ruangan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi wajah Sera yang tersenyum bahagia terus muncul di benaknya. "Kenapa Sera harus bersama pria itu?" gumamnya dengan nada penuh frustrasi.Anissa, yang sedang berada di ruangan lain, merasakan ketegangan di udara. Dia mencoba untuk tetap tenang, namun tidak bisa menahan rasa penasaran. "Ada apa, Arga? Kamu kelihatan tidak tenang sejak tadi malam."Arga berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tidak ada apa-apa, Anissa. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya singkat, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganggunya.Anissa menghela napas, merasa
Anissa duduk di ruang tamunya yang mewah, berpikir keras tentang langkah berikutnya. Meskipun rencana untuk merusak reputasi Sera di tempat kerja berjalan dengan baik, Anissa merasa itu belum cukup. Dia ingin memastikan Sera benar-benar keluar dari hidupnya dan Arga, tanpa ada kesempatan untuk kembali. Pikirannya terfokus pada satu ide yang lebih ekstrem dan berbahaya. Dengan hati-hati, dia memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh.Malam itu, saat Arga sedang sibuk dengan urusan bisnisnya di luar kota, Anissa mengambil ponselnya dan menghubungi seorang kenalan lama, seorang pria bernama Reza yang dikenal sebagai "fixer" untuk masalah yang sangat serius. Reza bukan orang biasa; dia adalah seseorang yang berurusan dengan hal-hal gelap dan ilegal, yang mampu melakukan apa saja asalkan bayarannya cukup tinggi.Mereka bertemu di sebuah restoran mewah yang terletak di sudut kota, tempat di mana privasi bisa terjaga dengan baik. Reza datang dengan setelan rapi, tapi matanya yang tajam m
Beberapa hari berlalu sejak kecelakaan itu. Sera mulai pulih dengan cepat, berkat perawatan intensif dan dukungan dari teman-temannya. Meski masih lemah, semangatnya tetap kuat. Galendra, yang selalu setia mendampingi, merasa lega melihat Sera semakin membaik. Hari itu, Galendra memutuskan untuk mengantar Sera pulang ke rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Sera, Galendra membantu Sera turun dari mobil dengan hati-hati. "Kamu yakin sudah siap pulang?" tanya Galendra dengan nada lembut, khawatir melihat Sera yang masih terlihat lemah.Sera tersenyum lemah namun penuh keyakinan. "Aku baik-baik saja, Galendra. Aku hanya ingin bertemu dengan Alana dan Alina. Aku rindu mereka."Galendra mengangguk, memahami perasaan Sera. Mereka berjalan menuju pintu depan, dan begitu mereka masuk, suara ceria dari dua anak kembar terdengar dari dalam rumah."Mama pulang!" teriak Alana dan Alina serempak, berlari ke arah Sera dengan wajah penuh kegembiraan.Sera membuka tangannya lebar-lebar, menyambut peluk
Setelah Galendra pergi, Sera masih duduk di ruang tamu dengan Alana dan Alina. Mereka duduk bersama di sofa, suasana ruangan dipenuhi dengan kehangatan meskipun terdapat rasa kekosongan di hati Sera. "Ma, kenapa Papa nggak datang lagi?" tanya Alana dengan polosnya. Sera terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi ini pada anak-anaknya. Dia merasakan kekosongan yang mendalam saat menyadari bahwa kehadiran ayah mereka tidak lagi ada dalam kehidupan sehari-hari mereka. Alina memandang ibunya dengan tatapan penuh harapan. "Papa kan baik, Ma. Kenapa dia nggak mau datang lagi?" Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. Dia ingin melindungi anak-anaknya dari kekecewaan dan kesedihan. "Kalian tahu, kadang-kadang orang dewasa punya urusan yang membuat mereka harus pergi jauh, dan tidak bisa datang setiap waktu." "Tapi kenapa Papa nggak bilang dulu ke kita, Ma?" potong Alana dengan nada kecewa. Sera memeluk kedua anaknya erat-erat. "P
Mereka berdua lalu melangkah bersama menuju meja petugas administrasi, di mana seorang pegawai yang ramah menyambut mereka dengan senyuman. Galen menjelaskan maksud kedatangan mereka, dan pegawai tersebut mulai mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Sera merasakan campuran emosi yang intens—bahagia, terharu, dan penuh harapan—saat dia menggenggam tangan Galen erat-erat.Setelah beberapa saat, pegawai tersebut menyerahkan selembar formulir kepada Sera dan Galen. Mereka duduk di kursi yang disediakan, mengisi formulir tersebut dengan penuh perhatian. Setiap goresan pena terasa seperti langkah penting menuju awal yang baru bagi mereka. Sera mencuri pandang ke arah Galen, yang tampak begitu serius namun tenang, dan merasakan kehangatan yang menyelimuti hatinya.Ketika semua berkas telah diisi dan ditandatangani, pegawai administrasi mengambilnya kembali dan mengkonfirmasi bahwa semuanya sudah lengkap. "Selamat, Bapak dan Ibu. Surat pernikahan kontrak Anda akan diproses dan akan sege
Beberapa minggu setelah kebahagiaan mereka di mansion baru, Galen mengajak Sera untuk menghadiri pesta ulang tahun salah satu koleganya. Sera mengenakan gaun elegan berwarna biru tua yang menonjolkan kecantikannya, sementara Galen tampil gagah dengan setelan jas hitam. Mereka berdua berangkat dengan mobil menuju hotel mewah tempat pesta diadakan.Saat tiba, Galen memegang tangan Sera dengan lembut, menuntunnya masuk ke dalam aula yang sudah didekorasi dengan megah. Lampu-lampu kristal bergemerlapan di langit-langit, menciptakan suasana yang mewah dan elegan. Musik klasik lembut mengalun, menyambut para tamu yang hadir dengan senyuman dan sapaan ramah.Di tengah kerumunan, Galen memperkenalkan Sera kepada beberapa koleganya, berbicara dengan santai tentang berbagai topik bisnis dan kehidupan sehari-hari. Sera merasa nyaman di samping suaminya, tersenyum dan ikut terlibat dalam percakapan. Namun, tiba-tiba, tatapan Sera tertuju pada seseorang di seberang ruangan.Arga, mantan suaminya,
Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha
Beberapa minggu berlalu, dan Daffi semakin terjerat dalam kebohongan yang dibangun oleh Lily. Dia mulai menganggap Lily sebagai sosok penting dalam hidupnya, meskipun bayang-bayang Giska terus menghantuinya. Suatu sore, Daffi dan Lily duduk di taman belakang mansion, menikmati cuaca yang cerah. “Daffi, aku ingin membahas sesuatu yang penting,” kata Lily dengan nada serius. “Aku merasa kita harus mengambil langkah selanjutnya dalam hubungan ini.” Daffi menatap Lily dengan bingung. “Langkah selanjutnya? Seperti apa?” “Pernikahan,” jawab Lily, menatap Daffi dalam-dalam. “Aku tahu kamu mengalami banyak hal, dan kita bisa melakukannya dengan cara yang sederhana dulu, tanpa pesta besar-besaran. Hanya kita berdua.” Daffi terdiam sejenak, berusaha memproses kata-kata Lily. “Pernikahan? Tapi, aku tidak yakin. Semua ini terasa begitu cepat. Aku masih berusaha mengingat masa laluku.” Lily mendekat, mengambil tangan Daffi dengan lembut. “Sayang, aku mengerti. Namun, kita harus melanjutk
Beberapa hari berlalu sejak insiden di kafe itu, tetapi amarah dan obsesi Lily pada Daffi tak mereda. Kali ini, dia merencanakan sesuatu yang lebih licik. Dengan hati penuh dendam, Lily berencana menyebarkan gosip palsu yang bisa mengguncang hubungan Daffi dan Giska. Dia merasa, jika tidak bisa memiliki Daffi, setidaknya dia akan memastikan kebahagiaannya hancur. Sementara itu, di rumah, Daffi dan Giska menghabiskan malam bersama. Mereka berbincang hangat di ruang keluarga, mencoba melupakan semua masalah yang telah terjadi. “Aku tidak ingin kau khawatir tentang Lily lagi,” kata Daffi, menatap Giska dengan penuh perhatian. “Dia tidak ada apa-apanya. Yang penting hanya kau dan kebahagiaan kita.” Giska tersenyum, meski kekhawatiran masih membayangi hatinya. “Aku percaya padamu, Daffi. Tapi… Lily tidak akan diam begitu saja. Aku tahu dia pasti punya rencana lain.” Daffi menggenggam tangan Giska erat-erat. “Aku akan selalu ada untukmu. Apapun yang dia lakukan, aku tidak akan perna
Beberapa bulan setelah pernikahan Daffi dan Giska, kehidupan Lily semakin terpuruk dalam bayang-bayang obsesinya. Dengan kegagalan yang menghantuinya, dia menjadi semakin terobsesi untuk merebut Daffi dari Giska. Setiap kali melihat foto kebahagiaan Daffi dan Giska di media sosial, darahnya terasa mendidih. Dalam pikirannya, Daffi seharusnya menjadi miliknya, dan Giska hanyalah penghalang yang harus dihilangkan. Suatu sore, Lily duduk di depan cermin, merias wajahnya dengan cermat. Dia memilih pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya dan menyisir rambutnya hingga mengkilap. “Hari ini, aku akan menunjukkan siapa yang lebih layak untuk Daffi,” gumamnya pada diri sendiri dengan suara serak. Rasa percaya diri mulai mengisi dirinya, dan dia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang terjadi. Lily memutuskan untuk menghadiri pesta yang diadakan oleh salah satu teman Daffi, dengan harapan bisa menemukan kesempatan untuk mendekati Daffi. Dalam perjalanan ke pesta, jantungnya berdebar-debar.