Setelah memastikan Alana dan Alina tertidur, Sera menuju ke ruang tamu. Dia duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangan, menyalakan lampu baca, dan membuka salah satu buku baru yang dibelinya tadi. Halaman demi halaman ia nikmati dengan tenang, merasa rileks setelah hari yang panjang.
Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Ternyata ada pesan dari Rina. "Hai, Sera. Bagaimana pertemuan tadi pagi? Apa kabar proyek kita?" tanya Rina. "Hai, Rina. Pertemuan berjalan lancar. Aku merasa sangat optimis dengan proyek ini. Terima kasih banyak atas bantuanmu!" balas Sera. "Sama-sama, Sera. Aku juga senang bisa membantu. Kita akan membuat proyek ini sukses!" ungkap Rina. Sera tersenyum puas, membalas pesan Rina dengan semangat yang sama. Setelah menutup percakapan, dia melanjutkan membaca bukunya. Malam itu, di tengah ketenangan rumah dan dengan perasaan bahagia di hatinya, Sera tahu bahwa masa depannya dan anak-anaknya akan cerah. Dengan semangat baru dan dukungan dari orang-orang terdekat, dia siap menghadapi hari-hari yang akan datang. Setelah selesai membaca beberapa bab, Sera merasa kantuk mulai menguasai dirinya. Dia meletakkan buku di meja samping sofa, mematikan lampu baca, dan membawa cangkir teh yang kosong ke dapur. Sambil merapikan dapur dan memastikan semuanya bersih, pikirannya melayang ke rencana-rencana masa depannya dan proyek yang akan segera dimulai. Ketika dia masuk ke kamarnya, dia melihat foto keluarga kecilnya di meja samping tempat tidur. Foto itu menunjukkan Sera bersama Alana dan Alina, senyum mereka merekah di wajah masing-masing. Sera mengambil foto itu dan memandangnya sejenak, merasa bangga atas apa yang telah mereka lalui dan capai. Sera: "Kami akan baik-baik saja. Aku akan memastikan itu," bisiknya pada dirinya sendiri. Setelah itu, Sera berbaring di tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, dan memejamkan mata. Pikiran tentang proyek barunya, kebahagiaan anak-anaknya, dan masa depan yang cerah membuatnya merasa tenang. Tak lama kemudian, dia tertidur dengan senyum tipis di wajahnya, siap menyambut hari esok dengan semangat dan optimisme baru. Malam itu, rumah kecil mereka dipenuhi dengan kedamaian dan harapan, menyongsong masa depan yang penuh janji dan kebahagiaan yang layak mereka dapatkan. Pagi itu, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Sera melanjutkan perjalanan menuju sebuah perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Rasa gugup bercampur semangat terpancar dari raut wajahnya. Jalanan kota yang mulai ramai dengan kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas pagi membuat Sera semakin bersemangat untuk menghadapi tantangan hari ini. Setibanya di gedung perkantoran yang menjulang tinggi, Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Ia merapikan pakaian dan memastikan semua dokumen sudah rapi dalam tasnya. Dengan langkah mantap, ia memasuki lobi gedung yang megah, disambut oleh udara sejuk dari pendingin ruangan dan suara dering telepon yang sesekali terdengar. Petugas keamanan yang ramah mengarahkan Sera menuju resepsionis. "Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyuman hangat. "Pagi, saya Sera. Saya ada janji untuk wawancara kerja dengan HRD pada pukul sembilan," jawab Sera, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berdegup kencang. "Oh, baik, Bu Sera. Silakan duduk sebentar, nanti akan saya panggilkan," kata resepsionis sambil mempersilakannya duduk di ruang tunggu yang nyaman. Sera duduk dan membuka tasnya, memastikan kembali bahwa semua persiapan sudah maksimal. CV, surat lamaran, portofolio, semuanya sudah siap. Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpenampilan rapi menghampirinya. "Bu Sera, saya Rani dari bagian HRD. Silakan ikut saya, ruang wawancaranya di lantai lima," kata wanita tersebut dengan ramah. Dengan perasaan campur aduk antara gugup dan antusias, Sera mengikuti Rani ke lift. Suasana di dalam lift terasa begitu sunyi, hanya suara alunan musik lembut yang menemani perjalanan singkat itu. Setibanya di lantai lima, Sera dibawa ke sebuah ruangan dengan dekorasi modern dan pencahayaan yang terang. "Silakan duduk, Bu Sera. Sebentar lagi manajer HRD akan datang," ujar Rani sambil mempersilakannya duduk di kursi yang nyaman. Sera duduk dan mencoba menenangkan diri dengan mengatur napas. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang pria paruh baya dengan wajah ramah. "Selamat pagi, Bu Sera. Saya Pak Budi, manajer HRD di sini. Apa kabar?" sapanya sambil mengulurkan tangan. "Pagi, Pak Budi. Saya baik, terima kasih," jawab Sera sambil tersenyum dan menjabat tangan Pak Budi. Wawancara pun dimulai dengan suasana yang cukup santai namun tetap profesional. Pak Budi menanyakan berbagai hal tentang pengalaman kerja Sera, motivasinya melamar di perusahaan tersebut, serta keterampilan yang dimiliki. Sera menjawab dengan percaya diri, menjelaskan dengan detail setiap pertanyaan yang diajukan. Waktu berlalu tanpa terasa, dan wawancara pun berakhir. Pak Budi tersenyum dan berkata, "Terima kasih banyak atas waktunya, Bu Sera. Kami akan menghubungi Anda dalam beberapa hari ke depan untuk informasi selanjutnya." Sera mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Pak Budi. Saya berharap mendapatkan kabar baik." Setelah berpamitan, Sera keluar dari gedung perkantoran dengan perasaan lega. Langkahnya terasa lebih ringan, dan hatinya dipenuhi harapan akan masa depan yang lebih cerah. Ia tahu, apa pun hasilnya nanti, ia telah memberikan yang terbaik. Sambil berjalan menuju halte bus, Sera tak bisa menahan senyum yang terus mengembang di wajahnya. Di sisi lain, Rani bergegas menuju ruang kantor di lantai tertinggi gedung itu, tempat sang CEO, Galendra Romanov, menjalankan operasional sehari-hari Romanov Corp. Galendra, seorang pria tampan dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, sudah menunggu di balik meja kerjanya yang besar dan berkilau. Sejak mengambil alih perusahaan keluarga, ia dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan berwawasan luas, mampu membawa Romanov Corp. ke puncak kesuksesan dengan berbagai inovasi dan kebijakan strategisnya. Setibanya di depan pintu kantor yang besar dan terbuat dari kayu mahoni yang elegan, Rani mengetuk pintu dengan lembut. "Masuk," terdengar suara Galendra dari dalam, penuh otoritas namun tetap hangat. Rani masuk dengan penuh keyakinan, membawa berkas-berkas lamaran yang telah diseleksi dengan cermat. "Pagi, Pak Galendra. Ini berkas lamaran dari salah satu kandidat yang baru saja saya wawancarai. Namanya Sera, dan menurut saya, dia memiliki potensi yang sangat baik untuk posisi yang kita butuhkan," ujar Rani sambil menyerahkan map berwarna biru yang berisi CV dan portofolio Sera. Galendra menerima berkas tersebut, membuka map, dan mulai membaca CV Sera dengan seksama. Ia mengerutkan alis, tanda bahwa ia tengah memeriksa setiap detail dengan penuh konsentrasi. Di balik penampilan dingin dan tegasnya, Galendra dikenal sangat teliti dan tidak pernah melewatkan satu pun informasi penting dalam setiap berkas yang ditinjau. Rani, yang sudah terbiasa dengan cara kerja Galendra, menunggu dengan sabar sambil tetap berdiri di depan mejanya. Suasana di ruangan itu sangat tenang, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibalik dan sesekali detik jam dinding. "Pengalaman kerjanya cukup mengesankan," ujar Galendra akhirnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya. "Dia pernah bekerja di beberapa perusahaan besar dan memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan kita." Rani mengangguk, menambahkan, "Betul, Pak. Selain itu, dari wawancara tadi, saya bisa merasakan bahwa dia memiliki motivasi yang tinggi dan sangat antusias untuk bergabung dengan tim kita. Dia juga tampak sangat cerdas dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik." Galendra mengangguk pelan, tampak puas dengan penjelasan Rani. "Baiklah, jadwalkan dia untuk wawancara lanjutan dengan saya. Saya ingin melihat langsung bagaimana dia bisa berkontribusi untuk perusahaan ini," kata Galendra sambil menutup map berkas Sera dan meletakkannya di atas meja. "Tentu, Pak. Akan segera saya atur," jawab Rani dengan senyum profesional. "Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan untuk pertemuan tersebut?" "Pastikan dia mendapatkan gambaran yang jelas tentang visi dan misi perusahaan kita. Saya ingin melihat sejauh mana pemahamannya tentang apa yang kita lakukan di sini dan bagaimana dia bisa menjadi bagian dari itu," jelas Galendra. "Baik, Pak. Akan saya sampaikan," ujar Rani sebelum berpamitan dan meninggalkan ruangan. Setelah Rani keluar, Galendra duduk sejenak memandangi berkas Sera. Ada sesuatu dalam CV tersebut yang menarik perhatiannya. Mungkin bukan hanya pengalaman kerjanya, tetapi juga cara Sera menyusun dan menjelaskan setiap detail dengan jelas dan meyakinkan. Dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh, Galendra merasa semakin ingin mengenal lebih jauh kandidat yang satu ini. Di luar ruangan, Rani merasa lega karena berhasil menyampaikan berkas Sera dengan baik. Ia tahu bahwa wawancara lanjutan dengan Galendra adalah langkah penting, dan ia berharap Sera bisa menunjukkan potensinya dengan maksimal. Dengan semangat, Rani melanjutkan tugasnya, memastikan semuanya berjalan lancar untuk pertemuan berikutnya.Hari yang dinantikan pun tiba. Sera datang lebih awal ke gedung perkantoran, dengan hati yang berdebar-debar. Pagi itu, suasana di gedung tampak lebih sibuk dari biasanya, namun Sera berusaha tetap tenang. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu, Rani datang menjemputnya. "Hai, Sera. Kamu udah siap?" sapa Rani dengan senyuman ramah. Sera mengangguk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, siap. Terima kasih banyak, Mbak Rani." "Bagus. Yuk, kita ke lantai atas. Pak Galendra sudah menunggu," kata Rani sambil mempersilakannya menuju lift. Di dalam lift, suasana terasa sedikit tegang, tetapi Rani mencoba mencairkan suasana dengan beberapa obrolan ringan tentang cuaca dan aktivitas sehari-hari. Begitu pintu lift terbuka di lantai tertinggi, Rani mengarahkan Sera ke sebuah ruangan besar dengan pemandangan kota yang menakjubkan dari jendela
Setelah pertemuan di kafe itu, Galendra merasa semakin penasaran dengan Sera. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya ingin tahu lebih dalam, tidak hanya tentang kualifikasinya untuk pekerjaan, tetapi juga tentang kehidupannya dan tujuan yang ingin dicapai. Di malam yang tenang, saat duduk di ruang kerjanya yang luas, Galendra memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang Sera.Ia mulai dengan membuka laptopnya dan mencari informasi tentang Sera di media sosial. Di profil LinkedIn Sera, Galendra melihat berbagai pencapaian profesional yang mengesankan, proyek-proyek yang pernah dia tangani, dan berbagai rekomendasi dari rekan-rekan kerjanya. Semua ini membuat Galendra semakin yakin bahwa Sera adalah kandidat yang sangat cocok untuk perusahaan. Namun, yang membuatnya lebih tertarik adalah sisi pribadi Sera yang terlihat dari beberapa unggahan di media sosial lainnya.Melalui Instagram, Galendra melihat foto-foto Sera bersama anak-anaknya, momen-momen bahagia yang penuh c
Beberapa minggu setelah mereka setuju untuk menjalani peran sebagai pasangan kontrak, Galendra dan Sera menghadiri sebuah pesta malam gala yang bergengsi di kota. Acara ini dihadiri oleh para elit bisnis dan tokoh masyarakat, menyediakan platform yang sempurna bagi mereka untuk memperkuat citra mereka sebagai pasangan yang solid.Di atas tangga masuk, Galendra memberikan tangannya kepada Sera dengan penuh keanggunan, seperti pasangan yang benar-benar terbiasa dengan sorotan publik. Sera mengenakan gaun hitam yang elegan, sementara Galendra memakai setelan jas hitam yang memancarkan kepercayaan diri dan kekuasaan.Mereka berdua berjalan masuk ke dalam ruang pesta yang gemerlap, di mana lampu-lampu gantung kristal memantulkan cahaya ke seluruh ruangan. Tamu-tamu lain memperhatikan mereka dengan rasa ingin tahu, sebagian besar penasaran tentang pasangan baru ini yang terlihat begitu cocok bersama.Saat mereka berdiri di tengah-tengah ruangan, Galendra memegang gelas sampanye dengan elega
Malam itu, setelah pertemuan di restoran dengan Arga, Galendra merasa bahwa Sera membutuhkan sedikit waktu untuk bersantai dan melupakan ketegangan yang baru saja mereka alami. Dia memutuskan untuk mengajaknya jalan-jalan di sekitar kota, menikmati suasana malam yang sejuk dan tenang."Sera, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Udara malam ini cukup sejuk, dan mungkin bisa membantu kita untuk sedikit bersantai," usul Galendra dengan senyuman hangat.Sera, yang merasa sedikit tegang setelah pertemuan dengan Arga, mengangguk setuju. "Ide bagus, Galendra. Aku butuh sedikit udara segar."Mereka berdua berjalan menyusuri trotoar yang diterangi lampu-lampu jalan yang hangat, menghindari keramaian pusat kota dan menuju ke taman kecil yang tersembunyi di antara gedung-gedung tinggi. Taman itu tampak tenang, dengan bangku-bangku kayu dan pepohonan yang meneduhkan.Galendra dan Sera duduk di salah satu bangku, menikmati keheningan malam. Sera menghela napas panjang, merasa sedikit lebih r
Di sisi lain kota, Arga duduk di ruang kerjanya yang luas, namun kali ini suasananya tidak terasa nyaman baginya. Dia merasa gelisah sejak pertemuan tadi malam. Pikirannya terus kembali ke momen saat dia melihat Sera bersama Galendra, pria yang tampaknya begitu perhatian dan mendukung Sera. Hal itu membuatnya merasa kesal dan tidak nyaman. Arga berjalan mondar-mandir di ruangan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi wajah Sera yang tersenyum bahagia terus muncul di benaknya. "Kenapa Sera harus bersama pria itu?" gumamnya dengan nada penuh frustrasi.Anissa, yang sedang berada di ruangan lain, merasakan ketegangan di udara. Dia mencoba untuk tetap tenang, namun tidak bisa menahan rasa penasaran. "Ada apa, Arga? Kamu kelihatan tidak tenang sejak tadi malam."Arga berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tidak ada apa-apa, Anissa. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya singkat, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganggunya.Anissa menghela napas, merasa
Anissa duduk di ruang tamunya yang mewah, berpikir keras tentang langkah berikutnya. Meskipun rencana untuk merusak reputasi Sera di tempat kerja berjalan dengan baik, Anissa merasa itu belum cukup. Dia ingin memastikan Sera benar-benar keluar dari hidupnya dan Arga, tanpa ada kesempatan untuk kembali. Pikirannya terfokus pada satu ide yang lebih ekstrem dan berbahaya. Dengan hati-hati, dia memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh.Malam itu, saat Arga sedang sibuk dengan urusan bisnisnya di luar kota, Anissa mengambil ponselnya dan menghubungi seorang kenalan lama, seorang pria bernama Reza yang dikenal sebagai "fixer" untuk masalah yang sangat serius. Reza bukan orang biasa; dia adalah seseorang yang berurusan dengan hal-hal gelap dan ilegal, yang mampu melakukan apa saja asalkan bayarannya cukup tinggi.Mereka bertemu di sebuah restoran mewah yang terletak di sudut kota, tempat di mana privasi bisa terjaga dengan baik. Reza datang dengan setelan rapi, tapi matanya yang tajam m
Beberapa hari berlalu sejak kecelakaan itu. Sera mulai pulih dengan cepat, berkat perawatan intensif dan dukungan dari teman-temannya. Meski masih lemah, semangatnya tetap kuat. Galendra, yang selalu setia mendampingi, merasa lega melihat Sera semakin membaik. Hari itu, Galendra memutuskan untuk mengantar Sera pulang ke rumahnya.Saat mereka tiba di rumah Sera, Galendra membantu Sera turun dari mobil dengan hati-hati. "Kamu yakin sudah siap pulang?" tanya Galendra dengan nada lembut, khawatir melihat Sera yang masih terlihat lemah.Sera tersenyum lemah namun penuh keyakinan. "Aku baik-baik saja, Galendra. Aku hanya ingin bertemu dengan Alana dan Alina. Aku rindu mereka."Galendra mengangguk, memahami perasaan Sera. Mereka berjalan menuju pintu depan, dan begitu mereka masuk, suara ceria dari dua anak kembar terdengar dari dalam rumah."Mama pulang!" teriak Alana dan Alina serempak, berlari ke arah Sera dengan wajah penuh kegembiraan.Sera membuka tangannya lebar-lebar, menyambut peluk
Setelah Galendra pergi, Sera masih duduk di ruang tamu dengan Alana dan Alina. Mereka duduk bersama di sofa, suasana ruangan dipenuhi dengan kehangatan meskipun terdapat rasa kekosongan di hati Sera. "Ma, kenapa Papa nggak datang lagi?" tanya Alana dengan polosnya. Sera terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi ini pada anak-anaknya. Dia merasakan kekosongan yang mendalam saat menyadari bahwa kehadiran ayah mereka tidak lagi ada dalam kehidupan sehari-hari mereka. Alina memandang ibunya dengan tatapan penuh harapan. "Papa kan baik, Ma. Kenapa dia nggak mau datang lagi?" Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya. Dia ingin melindungi anak-anaknya dari kekecewaan dan kesedihan. "Kalian tahu, kadang-kadang orang dewasa punya urusan yang membuat mereka harus pergi jauh, dan tidak bisa datang setiap waktu." "Tapi kenapa Papa nggak bilang dulu ke kita, Ma?" potong Alana dengan nada kecewa. Sera memeluk kedua anaknya erat-erat. "P