Semua Bab KARMA PERSELINGKUHAN AYAH : Bab 141 - Bab 150

181 Bab

BAB 149. Beneran Papah.

POV NINDIPapah? Apakah Ini benaran papah? Ya Allah, papahku sudah bebas. Aku sangat merindukan papah.Semoga saja kali ini papah tidak lagi memarahiku karena penampilanku. Andai papah tahu betapa menyesalnya aku selama ini telah seenak sendiri dalam berpenampilan pasti papah dulu tidak akan marah padaku.Andai papah juga tahu kalau apa yang anaknya kenakan akan menjadi tanggung jawabnya kelak di akhirat pasti papah akan mendukungku.Kupandangi foto papahku sekali lagi. Meski, sekarang terlihat jauh lebih tua, papahku tetap gagah.Tapi, bagaimana kalau ini hanya orang lain yang menyamar sebagai papah? Biar lebih jelas lebih baik aku telepon sekarang.Tersambung, tapi tidak dijawab. Hingga lima kali aku telepon, tapi tetap saja tidak dijawab.Aku jadi ragu, ini papah atau bukan? Haruskah kuberi tahu pada mamah? Pasti mamah akan sangat senang. Akan kupastikan terlebih dahulu.Tersambung!“Hallo?” sapa orang di seberang telepon sana. Senyum yang sedari tadi mengembang sirna seketika. Ken
Baca selengkapnya

BAB 150. Menyambut kepulangan Papah.

Ternyata sikap Bu Bidan dan keluarganya benar-benar membekas di hati mamahku. Bahkan jika aku masak enak mamah akan mengingatkan untuk memberi Bu bidan padahal hanya menu ayam kecap.Ya, sekarang menu ayam kecap menjadi sesuatu yang spesial bagi kami. Itu pun masak tidak setiap hari jika ada kiriman sembako dari Alya atau pas dapat kiriman panen sawitku.Sawahku satu tahun, dua kali panen dan itu aku jual semua uangnya aku tabung. Sawitku memang dapat kiriman setiap bulan, tapi aku pun harus pandai menyimpan uangnya aku takut jika terjadi sesuatu di kemudian hari setidaknya aku punya tabungan.“Nin, ditanya malah bengong lagi, tamu spesial siapa? Pasti Bu Bidan, kan? Kalau iya, Mamah mau bikin status biar semua orang tahu,” ucap mamah seraya tersenyum penuh arti. Ah, mamahku masih saja berharap jadi mertua abdi negara. Andai mamah ingat kejadian semalam tentu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.“Bukan, Mah, ini lebih spesial,” jawabku sengaja membuat mamah penasaran.“Siapa, Ni
Baca selengkapnya

BAB 151. Papah minta uang.

“Wah, kalau kadung rajin sudah tengah bolong begini masih mau bersihin halaman rumah, coba kalau stresnya kumat jam segini masih molor,” ucap seseorang entah siapa.Takut terjadi sesuatu aku segera ke depan. Ternyata Bu Sri tetangga belakang rumahku.“Ada apa ya, Bu Sri?” tegurku.“Eh, Nindi, enggak ada apa-apa tumben banget ini mamahmu rajin?”“Harus rajin Bu, kan, bentar lagi lebaran,” jawabku.“Iya, lagi pula mau ada tamu spesial datang. Suamiku mau pulang, Bu,” sahut mamah.Kulihat Bu Sri mengerutkan keningnya. Pasti beliau heran karena setahu warga di sini mamahku janda.“Benar, Nin? Bukannya kamu anak yatim, ya?”“Benar, Bu Sri. Papahku besok mau pulang.”“Memang papahmu dari mana?” Jiwa keponya mulai meronta sampai-sampai beliau duduk di teras rumahku.Aku takut sekali mamah jujur. Bisa-bisa suumur hidup bakalan dibuli karena status papahku.“Papahku jadi TKI di Malaysia, Bu Sri,” jawabku berbohong. Mamah hanya menoleh saja dan kembali fokus pada bunga warna-warni di depannya.
Baca selengkapnya

BAB 152. Kedatangan Papah.

Sore ini juga spesial karena untuk pertama kalinya mamah mau ke luar rumah. Kulihat ekspresi wajah mamah lewat spion. Senyumnya merekah matanya berbinar.“Ramai sekali ya, Nin.”“Iya, Mah memang ramai terus. Mamah mau belanja apa? Kita beli, yuk?”“Enggak pingin apa-apa, Nin. Mamah mau beli kue aja untuk lebaran besok.”“Ya, sudah, yuk. Di situ aja, ya? Kita belum mandi kalau ke mol malu.” Mamah terkekeh.Swalayan pun penuh berdesakan, tapi tidak menyurutkan niat kami terutama mamah untuk membeli yang diinginkannya.“Beli kuenya yang enak, Mah. Jangan yang murahan itu.”“Ini aja, Nak, sekalian sirup sama minuman sodanya ya. Papah kamu suka sekali minum ini.” Tunjuk Mamah pada merk minuman bersoda.“Ambil semua yang Mamah mau.”“Tapi, apa punya uang untuk bayarnya Nin? Ini semua bisa 500 ribu rupiah, loh.”“Ada insya Allah untuk Mamah sama Papah ada. Kan, kita enggak belanja tiap hari, Mah.”“Kalau begitu nanti pulangnya kita mampir ke toko baju N*br*s ya, mau beliin Koko untuk Papah
Baca selengkapnya

BAB 153. Dijemput Angga.

Assalamualaikum selamat pagi semua. Yuk, bantu follow akunku.🌸🌸🌸POV ALYA.“Al, ada Angga di depan.”“Iya, bentar Tan.” Kuakhiri panggilan telepon bersama Lusi. Aku merasa ada yang tidak beres pada Hasan jadi aku berupaya untuk mencari tahu. Sayangnya Lusi pun tidak tahu apa-apa, tapi dia berjanji akan bantu sebisanya. Dia akan mencari tahu lewat calon suaminya.“Angga, kok, gasik banget si, jemputnya. Aku masih pewe ni.”“Bunda yang suruh,” jawab Angga tanpa menoleh. Tangan dan matanya fokus pada benda pipih di tangannya senyumnya pun mengembang.“Tunggu ya, Angga, aku mandi dulu.”“Iya.”Kenapa aku merasa semua laki-laki hari ini berbeda, ya? Apa aku yang terlalu baper.“Yuk, berangkat!”“Ayok!” Angga jalan duluan. Tumben sekali biasanya dia akan tanya kenapa cepat, kenapa lama, kenapa baru mandi dll. Ini enggak.“Pamit ya, Tan?” Kusalami Tante Eni yang sedang asyik nonton drakor.“Iya, hati-hati. Eh, kenapa lesu begitu?”“Enggak kenapa-napa, Tan.”“Kamu sakit?” Aku menggeleng.
Baca selengkapnya

BAB 154. Curhatan bunda Angga.

POV Alya.Jiwa julidku seketika meronta-ronta. Puasa kok, gandengan tangan bukan muhrim begitu yang ada puasanya batal. Bukan dapat pahala yang ada malahan berdosa.Segera kuambil ponselku dari dalam tas untuk bercermin.Kukerjapkan mataku berkali-kali. Ini kenapa mataku juga tidak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba melow gini.Suasana yang tadinya hangat, penuh kegembiraan tiba-tiba kurasakan sangat menyesakkan dada.Hawa panas pun langsung menguar begitu saja. Sampai keningku berkeringat.“Waah, jamnya bagus, deh! Cocok couple gitu. Pasti beli di Ausi kemarin , ya?” Entah itu siapa yang jelas mereka kenal Angga dan calon istrinya.“Iya, ini sengaja kubeli kemarin spesial untuk kami berdua.”Oh, aku paham sekarang. Jadi perempuan yang bersama Angga sama-sama kuliah di sana. Pantes sudah seakrab itu.“Angga kayaknya enggak suka dia diam saja,” celetuk yang lain.“Suka lah, siapa bilang enggak suka. Aku lagi sariawan jadi irit bicara,” jawab Angga dengan senyum dipaksakan kemudian meliri
Baca selengkapnya

BAB 155. Lebaran pertama di sini.

POV Alya. Dulu dia bilang padaku akan cari suami Soleh anak Kiyai makanya dia enggak mau pacaran dan memutuskan untuk mondok sejak lulus SD. Usianya denganku terpaut 4 tahun kami ngobrol kalau dia pulang dari pondok dan diejek oleh Angga gadis tak laku.Kami berjalan melewati Angga dan teman-temannya. Perempuan itu ih, kenapa selalu nempel pada Angga? Apa Angga tidak risih ya, atau malah kesenengan?“Hallo Mom, who is she? Adiknya Angga, ya?” sapa teman Angga. Bule, bicara bahasa Indonesianya kurang lancar.“Bukan, Mic, ini anak tetangga. Adik Angga sudah menikah. Ini suaminya,” jawab bundanya Angga.“Kenalin, ke kita dong, Tan,” sahut teman Angga yang lain.“Wah, lu, kalau lihat yang bening aja langsung gesit!”Aku lebih memilih diam dan ikut bundanya Angga ke dalam.“Teman-teman Angga datang semua, Tan?”“Iya, yang tinggal di Indonesia. Itu ada yang dari Surabaya, Jakarta, Malang, Aceh, mereka datang tadi pagi, sendang Mic, tadi siang,” jelas beliau.“Nah, kamu salat di dalam aja e
Baca selengkapnya

BAB 156. Duniaku runtuh.

POV Alya.Kuputuskan menghubungi nomor Hasan. Tersambung, tapi tidak dijawab. Aku kok, jadi berasa mengejar-ngejar cinta Hasan gini, ya?[Hasan, sorry aku ganggu kamu. Ini kulakukan atas permintaan nenekku. Kata beliau kenapa kamu tidak datang. Hasan aku tegaskan padamu ya, jangan kira kamu sangat kucintai jadi sikapmu seenak sendiri padaku.] Terkirim dan langsung terbaca.[Maaf Al, aku bukan bermaksud begitu. Sore ini aku datang ke rumahmu. Insya Allah.][Ya.] jawabku singkat.Setelah bersiap aku ke rumah Nindi rasanya deg-degan sekaligus bahagia akan mengunjunginya.Mungkin Nindi tidak datang ke rumahku sewaktu kuundang karena dia sungkan pada keluargaku. Aku tidak boleh suudzhon padanya. Dia sudah berubah begitu pun aku sangat bahagia. Nindi sekarang berbeda sekali dengan Nindi yang dulu.Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga.Rumah Nindi kosong pintunya tertutup dia ada di mana?“Bu, persmisi, Nindi dan keluarga apa pulang kampung ya, kok, tutup rumahnya?” tanyaku pada tet
Baca selengkapnya

BAB 157. Keterangan Papah.

POV NINDI“Mas, siapa perempuan ini? Kenapa ada bersama kamu?” tanya mamah lagi.“Kalian lupa? Ini Bulek Siska sepupu Papah dan ini anaknya,” jawab papah.Dulu Bulek Siska tidak seglowing dan semodis sekarang. Makanya aku pangling padanya. Yang kuingat tahi lalat di dagunya.Mungkin mamah lupa, tapi tidak bagiku. Aku menyimpan kenangan buruk tentang Bulek Siska.Bulek Siska dulu menolak kami mentah-mentah saat kami izin mau tinggal di kampung papah bahkan mengusir kami.Dulu begitu aku keluar dari rumah sakit dan Alya bilang padaku untuk tidak kembali ke rumahnya. Langkah pertama yang kulakukan adalah pulang kampung. Saat itu aku merasa jika pulang kampung uang yang kudapatkan bisa untuk beli rumah dan sisa banyak masuk ke tabungan, tapi ternyata salah. Kami ditolak mentah-mentah.Karena mendapat penolakan di mana-mana dan merasa sendiri lontang lantung mamah jadi begini. Depresi berat.“Iya, Mbak, aku Siska masa lupa. Aku ikut Mas Is ke sini mau lebaran di sini.”“Is? Kok nama kamu
Baca selengkapnya

BAB 158. Tante Siska mencurigakan.

POV NINDI. “Benar, hanya Bapak mertua yang menginginkan kami untuk tetap tinggal. Aku masih ingat betul Bapak memeluk Nindi begitu erat.” “Tidak hanya itu Kakek juga memberiku uang saku. Uang itulah yang kami gunakan untuk ongkos mobil dan kembali ke kota ini.” “Sudahlah, Nak, yang penting Kita sekarang sudah berkumpul semua. Papah sangat bahagia,” ucap papah lagi seraya mencium punggung tangan mamah dengan mesra. Mamah pun tersenyum manis menatap papah penuh cinta. Penantian mamah selama tujuh tahun tidak sia-sia. Syukurku hari ini tiada tara. Keluarga kecilku yang telah terpisah selama 7 tahun bisa utuh kembali. Semoga dengan ini mamah bisa kembali seperti sedia kala dan tidak lagi terpuruk dalam kesedihan. “Boleh Papah nambah lagi nasinya?” “Kenapa izin segala. Makanlah yang banyak, Pah,” jawabku terharu. “Ini adalah makanan terlezat yang Papah makan selama keluar dari penjara,” ujar papah lagi. Hatiku mencelos ternyata bukan kami saja yang susah papah pun susah. Pantas sa
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
19
DMCA.com Protection Status