POV NINDI. “Benar, hanya Bapak mertua yang menginginkan kami untuk tetap tinggal. Aku masih ingat betul Bapak memeluk Nindi begitu erat.” “Tidak hanya itu Kakek juga memberiku uang saku. Uang itulah yang kami gunakan untuk ongkos mobil dan kembali ke kota ini.” “Sudahlah, Nak, yang penting Kita sekarang sudah berkumpul semua. Papah sangat bahagia,” ucap papah lagi seraya mencium punggung tangan mamah dengan mesra. Mamah pun tersenyum manis menatap papah penuh cinta. Penantian mamah selama tujuh tahun tidak sia-sia. Syukurku hari ini tiada tara. Keluarga kecilku yang telah terpisah selama 7 tahun bisa utuh kembali. Semoga dengan ini mamah bisa kembali seperti sedia kala dan tidak lagi terpuruk dalam kesedihan. “Boleh Papah nambah lagi nasinya?” “Kenapa izin segala. Makanlah yang banyak, Pah,” jawabku terharu. “Ini adalah makanan terlezat yang Papah makan selama keluar dari penjara,” ujar papah lagi. Hatiku mencelos ternyata bukan kami saja yang susah papah pun susah. Pantas sa
POV Nindi. “Nind, kasih selimut bulekmu kasihan dia kan, ada anak kecil,” titah papah. Gegas aku mengambil selimut dan menyusul Bulek Siska di kamarnya.“Bulek boleh aku masuk? Ini aku bawakan selimut,” tanyaku seraya mengetuk pintu hatiku masih dongkol.“Masuk aja, Nind. Enggak dikunci.”“Ini selimutnya. Anak Bulek namanya siapa? Sepertinya sedang sakit ya, sejak datang tadi hanya sebentar saja bangun dari tidurnya?”Memang sekilas anak kecil ini tidak terlihat sakit, tapi jika diperhatikan dia tidak seperti anak-anak pada umumnya. Kulitnya bercak-bercak putih seperti panu tapi lebih lebar-lebar sudah gitu bentuk wajahnya sedikit aneh.“Namanya Queen. Iya, memang sedang sakit, Nind . Queen punya kelainan mental sejak lahir ditambah dia sakit lupus. Bulek benar-benar sedih makanya Bulek mau nekat kerja untuk membiayai pengobatannya.”“Sudah dibawa berobat, Bulek?”“Sudah tidak kurang-kurang lagi berobatnya, Nind. Entahlah mungkin ini ujian hidup yang harus Bulek jalani,” jawab Bule
POV NINDI. “Terpenting itu halalnya ya, to? Kerja keliatannya saja enak, tapi enggak halal ya enggak bakalan kaya. Hidupnya begitu-begitu saja,” sahut Makwo lagi.Semua diam. Pasti mereka merasa tertampar dengan ucapan Makwo.“Mari semua mampir. Nanti aku kasih THR. Biasalah hasil kirimin dari anak menantu yang jadi babu di negeri orang. Kalian tahu? Kemarin anakku baru saja kasih transfer 3 juta rupiah khusus untuk THR anak-anak kecil yang datang ke rumahku. Monggo ....”“Iya, Makwo nanti aku main, aku masih dapat THR kan?” jawabku.“Masih, spesial untuk orang baik seperti Nak Nindi THR-nya paling banyak.”“Wah, makasih ya, Makwo. Oh iya, Ibu-ibu mari mampir. Aku juga ada bagi-bagi THR loh!” Bukannya menjawab ajakanku mereka semua melengos pergi begitu saja.Astaghfirullah ... lebaran kok, gini amat ya ....Sampai dalam rumah aku kaget karena kue yang tadi pagi masih tertata rapi berserakan di mana-mana.Dari kamar belakang terdengar lengkingan tangisan anak Bulek Siska. Mamah juga
POV Nindi.🌸🌸🌸“Kalau terjadi sesuatu pada Queen aku tidak akan tinggal diam! Kamu harus bertanggung jawab!” ucap Bulek Siska pada mamah penuh penekanan. Mamah sampai ketakutan.“Apaan sih, kamu Sis!” bentak papah dan mendorong tubuh Bulek Siska hingga dia mengaduh kesakitan.“Kalau terjadi sesuatu pada Mamah orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah Papah dan aku tidak segan-segan akan lapor polisi atas tindakan KDRT yang Papah lakukan!” Ancamku papah hanya melongo saja lalu mengacak rambutnya.“Sayang, maafkan aku. Tadi aku benar-benar khilaf. Aku benar-benar ketakutan kalau terjadi sesuatu pada Queen maka kamu yang akan disalahkan dan aku tidak terima itu,” ucap papah seraya berjongkok di depan mamah.Mamah melihat ke arahku begitu juga papah. Aku segera buang muka. Malas lihatnya.“I—ya, Mas, aku maafin kamu, tapi jangan pukuli aku lagi, ya?” jawab mamah. Kemudian mereka saling berpelukan.Tak lama kemudian dokter memanggil kami.“Pasien perlu dirawat karena keadaan cuk
POV Nindi.Senang papah mau berbaur dengan warga sini dan takut identitas papah akan diketahui dan pada akhirnya kami kembali dikucilkan.“Mah, Pah, aku pergi dulu ya, mau ke rumah teman.”“Jangan pulang malam-malam ya, Nind. Nanti Mamah beliin Boba, ya?”“Siap, Mah.” Kulihat papah sedikit heran dengan tingkah mamah. Ah, papahku memang belum tahu kondisi mamah sebenarnya. Nanti akan aku jelaskan kalau sampai satu minggu ke depan setelah kehadiran papah, mamah belum juga ada perubahan.Jalanan kota sangat lenggang ini memudahkanku untuk segera sampai rumah Alya dengan cepat.Rumah Alya tampak ramai. Dulu pun selalu ramai bukan karena banyak tetangga yang berkunjung, tapi karena tamu-tamu istimewa dari berbagai panti asuhan yatim piatu dan juga kaum duafa. Orang di perumahan ini jika hari raya tiba rata-rata pulang kampung semua.Pak Satpam yang melihat kehadiranku terkejut. Beliau sampai ternganga. Kuanggukan kepala dan tersenyum ramah padanya.“Non, Nindi kan, ya?”“Iya, Pak, benar. A
POV Nindi.“Nah, kan, sebenarnya kamu datang, tapi enggak mau masuk?” tebak Alya. Aku senyum-senyum saja.“Ya udah, yuk, makan! Enggak usah bahas bule Turki. Aku belum makan dari pagi enggak berselera karena enggak ada kawannya,” ajak Alya.“Siapa yang masak, Al?”“Aku dibantu Tante Eni dan bibi. Lebih tepatnya aku cuma ikutan aja, hehe ....”“Hem, enak masakannya. Jadi, ingat Oma.” Sepertinya Alya memang sengaja memasak menu kesukaan oma.“Ini menu kebetulan kesukaan Nenekku juga jadi, sekalian aja buatnya yang banyak,” jawab Alya.“Benar kata kamu ini menu kesukaan banyak orang enggak cuma Oma aja. Mungkin karena aku rindu Oma.”“Doakan kalau rindu Nind. Karena doa-doa dari kita adalah sesuatu yang sangat ditunggu oleh mereka yang sudah meninggal dunia.” Aku mengangguk setuju.Dinding rumah Alya bagian dalam catnya sudah diganti. Wallpapernya juga sudah diganti. Lebih terkesan mewah dan modern. Semua foto-foto keluarga juga diganti. Hanya ada foto ibunya Alya dan keluarga besar dari
POV Nindi. “Baik, Non.”“Eh, siapa tuan ganteng? Apa bule Turki itu? Ah, boleh ikutan ke depan enggak?”Aku penasaran juga dengan calon suami Alya. Seganteng apa sampai dia bisa berpaling pada dari Angga.“Enggak usah, nanti kamu jatuh cinta malah repot,” tolak Alya.“Ah, kamu pelit sekali. Tenang saja aku tidak akan merebutnya darimu,” ledekku.“Ayo, kamu berenin dulu itu jilabmu,” titah Alya.Setelah Alya memperkenalkanku pada calon suaminya aku buru-buru ke ruang tengah rebahan seraya berselancar ke dunia maya mencari lowongan kerja.Dari sini terlihat Alya dan calon suaminya yang sedang mengobrol duduk berjauhan. Tadi Alya, bertemu dengan calon suaminya biasa aja tidak ada sesuatu yang memancarkan rona bahagia di wajahnya.Calon suami Alya memang ganteng. Begitulah orang timur tengah perasaanku memang mereka semua memiliki paras rupawan baik laki-laki maupun perempuan dengan ciri khas hidung mereka yang mancung-mancung.Aku seperti tidak asing dengan calon suami Alya, tapi di m
POV Alya. Hari ini setelah sarapan dan memberi amplop satu kardus bekas wadah Indomie pada pak satpam untuk diberikan pada yatim-piatu dan kaum duafa yang datang ke rumah, aku putuskan untuk datang ke apartemen keluarga Hasan.Pagi ini mereka baru datang dari Jawa. Aku tahu dari status Rubi yang diunggahnya 30 menit yang lalu. Aku harus minta penjelasan kepada mereka semua terutama ibunya Hasan. Nyonya besar itu sungguh membuat hatiku geram.“Non, mau ke mana sudah rapi begini?” tanya Mbok.“Mau ke rumah Tuan ganteng, Mbok mau ikut?” tawarku.“Memang boleh ikut, Non?”“Boleh, dong, kalau mau ikut buruan salin aku tunggu ya, Mbok?”“Baik, Non, tapi ....”“Sudah enggak usah tapi-tapian ikut aja. Kalau ada yang menghina Mbok lapor aja padaku nanti aku hajar,” ujarku meyakinkan kekhawatiran Mbok Supi.“Enggak usah heran gitu, Mbok, aku ini jago silat loh, sewaktu muda dulu selalu ikut lomba dan menang itu piala dan piagamnya berjejer di lemari. Ketahuan nih, Mbok enggak pernah bersihin
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak