Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Aaww!” Aku menabrak seorang wanita muda di lobi hotel. “Maaf.”“Makanya jalan pakai mata!” teriaknya, tapi aku hiraukan karena sedang sangat terburu-buru karena harus mengemasi barang-barang di kamar dan meluncur pulang. Baru saja tanteku telepon aku harus segera pulang karena ibuku sedang kritis di rumah sakit. Aku sendiri sedang mengikuti study tour di luar kota dan menginap tiga hari. Karena alasan itulah aku diperbolehkan untuk pulang lebih dulu.“Al, lihat itu!” Tunjuk Lusi. Aku kaget ternyata ada ayah di sini. Dua hari yang lalu memang ayah dinas ke luar kota dan aku sama sekali tidak menyangka kalau ayah dinas di Kota Kembang ini. Tunggu dulu wanita di samping ayah itu kan, wanita yang tadi bertabrakan denganku di lobi hotel.“Itu ayahmu, kan, Al?” tanya Lusi lagi. Aku langsung mengajak Lusi untuk bersembunyi di balik dinding penyekat resto ini. Yap, tadi kami memutuskan untuk membeli minuman dulu sebelum ke kamar dan aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu ayah di sin
Aku akan balas perbuatan ayah pada ibu. Aku pulang membawa amarah dan dendam yang membara.“Al, Tante perhatian kamu diam saja sejak pulang dari makam tadi, kalau ada salah masalah cerita saja ke Tante.”“Enggak ada kok, Te, semuanya oke aku hanya memikirkan Ayah,” jawabku berbohong.“Sabar ya, Al. Tante tahu perasaan kamu gimana. Ayah kamu kan, sedang mencari nafkah untuk keluarga jika beliau tahu pasti juga akan pulang.” Tante Eni memelukku erat. Andai dia tahu kebusukan ayahku pasti beliau akan marah besar.“Ya, sudah, kamu tidur gih, ini sudah malam. Tante enggak mau kamu sakit,” titahnya. Aku mengiyakan. Kuayunkan kaki menuju kamar ke dua orang tuaku. Aku rindu ibu, andai aku tidak pergi study tour pasti aku bisa menemani saat-saat terakhirnya, dan aku tidak akan mengetahui kebusukan ayah yang membuat dendam di hati ini.Aroma parfum yang biasa dipakai ibu menguar menusuk indra penciuman. Kutatap pigura yang tertata apik di atas meja rias ibu. Tampak seperti keluarga pada umumn
“Cepat katakan ada apa, Lus?” desakku.“Aku melihat ayahmu tadi pagi keluar dari kontrakan sebelah rumahku. Diantar sampai ke pagar terus itu ... ayahmu mencium pipinya. Sayangnya perempuan itu membelakangiku jadi aku tidak tahu siapa,” ucap Lusi, dia tampak tidak enak padaku. Kuhirup udara banyak-banyak agar dada yang terasa amat sempit ini bisa bernapas.“Maaf, ya, Al?” Lusi menggenggam erat tanganku.“Enggak perlu minta maaf, Lus. Aku minta tolong sama kamu tolong jaga rahasia ini dari keluargaku ya?” ucapku memohon.“Memang kenapa, Al? Mereka kan ....”“Ssstt ... belum saat mereka tahu, itu ada suara ayahku pulang ayo, kita ke depan!” ajakku pada Lusi.Benar saja mobil ayah yang datang. Ayah setiap pulang dari mana pun mobilnya baru memasuki jalan kompleks menuju rumah saja aku sudah paham saking dekatnya aku dengan ayah, tapi sekarang perasaan itu jadi berubah benci dan kesal.“Soal tadi jangan bilang tahu dari aku ya, Al?” bisik Lusi sebelum pamitan pulang bersama yang lain.Ku
Aku syok dan bingung. Salah kirimkah orang ini? Tapi, namanya jelas itu nama ibuku.“Kak, dipanggil Nenek,” ucap Aldi, dia mengetuk-ngetuk pintu.Kubuka pintu, melihat sekitar takut ada yang melihat.“Aldi, sini dulu Dik.” Kutarik tangannya supaya masuk.“Ada apa Kak?” tanyanya bingung.“Kamu sudah janji kan, untuk tidak memberi tahu benda pipih yang kemarin kamu temukan?” kataku mengingatkan Aldi agar tidak memberi tahu tentang test pack yang dia temukan.“Aman, Kak. Aku akan jadi orang yang amanah,” jawabnya mantap. Aku lega setidaknya aku bisa lebih dulu menyelidiki itu milik siapa. Pasalnya ibu selalu terbuka padaku apa lagi aku juga sangat menantikan hadirnya seorang adik. Ibu sangat sulit hamil karena penyakit tumor jinak yang dideritanya setelah melahirkanku. Aldi sendiri sebenarnya bukan adik kandungku itu kenapa aku berjarak sangat jauh darinya. Meskipun begitu, aku tetap sayang padanya. Ayah dan ibu juga tidak membedakan kasih sayang di antara kami. “Kok, Kakak malah ben
Tidak mau membuat ayah curiga aku pun pura-pura tidak tahu kalau beliau terkejut.“Nenek, malam ini yang datang ke rumah untuk yasinan anak-anak panti dekat kompleks perumahan kita, kan?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian ayah.“Iya, benar, nanti habis Maghrib nasi kotaknya dikirim sama pihak kateringnya,” sahut Tante Eni.“Makasih ya, Tan, sudah bantuin aku sama Ayah,” kataku tulus. Andai tidak ada Tante Eni entah bagaimana nasib ibuku.“Sudah menjadi kewajiban Tante sebagai Adik. Kamu jangan sungkan ya, Sayang,” jawab Tante Eni. Aku dan ayah kompak mengangguk.Begitu turun dari mobil ayah langsung lari ke pintu pagar sepertinya sangat tergesa-gesa kemudian melihat ke kanan dan kiri seperti orang mau menyebrang jalan.“Ayah! Ada apa si?” tanyaku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ayah melambaikan tangan memberi tanda semua ok, tapi aku tidak percaya begitu saja. Aku jadi semakin yakin orang yang tadi ngobrol dengan Bude Siti kenal dengan ayah.Di dalam ternyata su
Mendapat kiriman Vidio ayah dari Lusi membuatku kembali murka.Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai. Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku. Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana. Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terle
Sekolah pun aku tidak fokus sampai ditegur guru beberapa kali bahkan mapel olahraga kepalaku sampai kena bola voli. Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.“Yah, Ayah?”“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kant
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak