Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.
Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.
Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.
Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.
“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.
“Yah, Ayah?”
“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.
“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.
“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kantor Al,” jawab ayah singkat tangannya kembali sibuk membongkar lemari menjatuhkan segala isinya.
“Apa itu Ayah? Barangkali aku bisa bantu cari,” tanyaku lagi.
“Itu berkas, surat perjanjian, Eh. Bukan apa-apa, Al. Kamu ganti baju lalu makan siang ya. Enggak usah bantu Ayah,” ucap ayah sambil mendorongku ke luar kamar ibu.
Aku menurut saja dari pada ayah jadi curiga padaku karena aku terlalu kepo.
Di dalam kamar aku memikirkannya ucapan ayah, berkas dan surat perjanjian? Dari kemarin aku membongkar lemari ibu tidak mendapati surat yang dimaksud oleh ayah. Jika benar ibu menyimpannya di mana ya, aku harus menemukan surat itu juga sebelum ayah yang menemukannya terlebih dahulu.
Kubuka koperku yang masih baru, aku menyimpan HP ibu di sini dan sudah kumatikan. Paket lingerie, foto-foto itu dan test pack yang ditemukan Aldi.
Orang tidak akan menyangka aku menyimpan di sini, meski begitu aku tahu ini juga tidak aman aku harus segera memindahkannya.Tok! Tok!
“Boleh Ayah masuk?” Aku kaget segera
kubereskan dan kusimpan kembali koper baruku ini di atas lemari.“Ada apa, Yah? Aku lagi ganti baju?” jawabku bohong. Kusembulkan kepala keluar pintu agar ayah hanya bisa melihat kepala saja.
“Em ... itu Nak ....”
“Apa, Yah?” Aku sengaja memotong ucapan ayah agar beliau semakin gugup.
“Itu ... apa kamu lihat HP, Ibu?” tanyanya gugup.
“Enggk, Yah. Memang HP-nya Ibu di mana?” jawabku balik bertanya. Ayah terlihat semakin gusar. Aku semakin yakin ada yang ayah sembunyikan.
“Kali aja kamu tahu, Nak. Ayah mau mau ngecek saja.”
“Sudah Ayah coba telepon?” tanyaku basa-basi.
“Sudah, tapi tidak aktif,” jawab ayah lesu.
“Ya, udah tanya sama Nenek ataupun Tante Eni. Aku mau salat Zuhur dulu,” kataku langsung kututup pintu dan menguncinya.
Kuyakin ayah sedang mencari sesuatu dan itu adalah hal penting yang sengaja disembunyikan dariku.
Aku putuskan untuk memberi tahu orang yang benar-benar aku percaya, tapi siapa? Nenek tidak mungkin dia akan lemah, dan tidak bisa gerak cepat. Tante Eni tidak mungkin juga, semasa hidupnya ibu aku ingat sekali Tante Eni ingin punya barang-barang sama dengan punya ibu, mirip anak kecil yang selalu iri melihat mainan saudaranya. Ibu pun sering mengalah untuk Tante Eni.
Tante Devi tidak mungkin juga beliau sangat benci pada ibu. Oma dan opa meski sering kali bersikap ketus, tapi mereka care dan sayang pada ibu.
Aku makan siang sendiri, ayah masih di kamar ibu membongkar lemari ibu, nenek dan Tante Eni masih ngobrol dengan rombongan opa di dekat kolam renang.
Kuperhatikan mereka sangat akrab padahal yang aku tahu mereka tidak saling suka dan saling menjelekkan di belakang. Oh, sebegitu repotkah dunia orang dewasa hingga hingga mereka harus bermuka dua.
“Mbok, tahu enggak apa yang dicari Ayah? Itu kamar ibu jadi berantakan,” tanyaku pada si Mbok yang sedang sibuk melayaniku.
“Enggak tahu Non, tadi bilangnya berkas map merah, berkas kantor. Minta tolong carikan si Mbok, tapi enggak ketemu,” jawab Mbok, dari mimik mukanya terlihat jujur.
“Ya, sudah, biar aku aja nanti yang bantu Ayah cari,” ujarku. Mbok lalu undur diri dan berganti melayani keluarga ayah.
Map merah rasanya aku pernah lihat, tapi di mana ya? Untung si mbok kasih cluenya jadi aku bisa tahu berkas seperti apa yang ayah cari.
Selama ini ibu tidak pernah mau tahu urusan kantor dan juga tidak pernah disibukkan dengan urusan kantor, Lalu kenapa ayah menitipkan map penting pada ibu. Menurutku aneh, kalau memang benar itu map penting perusahaan pasti ibu memberi tahu ditaruh di mana.
“Woi! Makan apa bengong?” tegur Nindi. Aku malas jika bersama Nindi. Kubiarkan saja lalu cepat kulahap habis makananku.
“Kulitmu halus plus glowing banget sih, Al. Rambutmu juga lembut. Perawatan di mana? Ajak aku, dong?” ujarnya mencoba berakrab ria denganku.
Aku mencebik kesal apa dia ini enggak punya otak? Ibuku baru saja meninggal dua hari yang lalu. Lah, kok malah ngajak aku ke salon. Benar-benar tidak punya rasa simpati sama sekali. Palsu mereka pedulinya hanya palsu.
“Kok diem aja si, Al? Apa kamu takut kecantikan kamu itu akan tersaingi jika aku ikut perawatan di salon tempat kamu biasa perawatan?” ucapnya lagi. Lihatlah masih remaja sudah memikirkan hal-hal yang tidak penting.
“Enggak penting banget sih.” Kutinggalkan Nindi lebih baik aku fokus pada masalahku.
"Huh, dasar sombong!" gerutu Nindi.
“Al?” panggil ayah.
“Iya, Yah, ada apa?”
“Em ... itu, kamu beneran enggak tahu HP Ibu?” tanya ayah lagi.
“Kalau aku tahu sudah pasti kukasihkan ke Ayah. Memang ada apa sih, Yah? Kayaknya urgent banget?” tanyaku penuh selidik. Ayah langsung salah tingkah.
“Eng—gak ada apa-apa si, Ayah hanya rindu,” jawabnya terbata.
“Rindu?” cecarku lagi. Ayah kikuk salah tingkah.
Aku tahu betul kebusukan ayah. Bagaimana bisa rindu sedang selagi masih hidup saja ayah berani berkhianat.
“Kalau ... sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga ....” kubersenandung meninggalkan ayah yang terbengong.
“Nanti kalau aku nemuin HP Ibu pasti kukasih tahu ke Ayah,” ucapku sedikit berteriak sebelum masuk ke kamar.
Kubuka akun sosmedku. Sementara aku tidak berani buka sosmed ibu dulu takut ketahuan ayah. Kukepoin akun bernama AninAnin yang kirim foto senonoh ke messenger ibu.
Sudah ada upload foto terbaru, foto tangan bergenggaman. Aku paham itu tangan ayah karena jam tangan yang dipakai ayah adalah jam yang aku belikan.
[Bahagia selamanya, tidak akan ada yang memisahkan kita] tulisannya.
Ck, seperti ABG saja. Norak. Kulihat foto-fotonya masih muda, tapi masih cantik ibu, kalah jauh dengan ibuku memang betul yang haram itu selalu terlihat bagus. Miris selera ayah rendahan sekali. Ups!
🌸🌸🌸
Malam ini tahlilan hari ke tiga ibuku meninggal. Aku khusuk mengikuti rangkaian acara. Aku tadi sampai menangis saat ustaz ceramah tentang pengorbanan seorang ibu dan seorang istri.
Dadaku sesak mendengar ceramah beliau. Mengingat semua kenangan bersama ibu dan ingat saat-saat terakhir ibu.
“Ibu kenalin ini Anin, rekan kerjaku dan juga Tari,” ucap ayah. Aku yang sedang menikmati nasi kotak bersama Aldi pun langsung susah menelan.
Berani-beraninya ayah membawa perempuan luknut itu ke sini? Apa dia akan segera menggantikan posisi ibuku. Kenapa ayah bilang dia kawan ibu.
Prek! Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang. Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.“Aldi, mau nambah enggak?”“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Kore
🌸🌸🌸“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. “Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil se
🌸🌸🌸Aku bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan pusing harus berbuat apa.Aku sangat sayang pada ibuku di satu sisi aku pun bingung harus mulai dari mana. Aku takut tindakan yang kulakukan salah dan akan mencelakaiku.Satu-satunya yang dimiliki ibu adalah aku rasanya tidak mungkin kalau aku abai. Aku pun tidak sudi wanita penggoda itu masuk ke dalam hidupku. Cukup ayah saja yang dihinggapi jangan sampai aku pun terkena racunnya.Aku harus menebus obat yang sudah diresepkan Dokter Fatma aku tidak mau orang-orang di rumah ini curiga padaku. Benar kata Dokter Fatma aku harus hati-hati aku tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Keluarga ini terlalu banyak drama dan bermuka dua.“Mau ke mana, Al. Kamu jalan kok sambil bengong gitu. Lagi mikirin apa sih?” tegur Tante Eni. Aku sudah sampai teras rumah, tapi pikiranku melalang buana.“Mau ke apotek, mau beli obat yang diresepkan dokter, tapi mau minta tolong aja sama Pak Satpam.”“Sini biar Tante aja yang beliin sekalian, Tante
Assalamualaikum my readers 🙏 semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat yaa ... jika ada yang bagus dari cerbung-cerbungku ambil hikmahnya jika tidak maka buang buruknya.Bantu follow akunku ya, like, coment, subs cerbungku, and share 🙏☺️🌸🌸🌸Aku berpikir sejenak. Masa sih, ayah tidak bisa membayar cicilan hutangnya. Apa ayah pernah mengalami kerugian besar? Seingatku ayah selalu menang tender dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sampai kakek selalu memuji kerja bagus ayah.Kubaca lagi poin ke dua, di sana tertulis pihak pertama meminta ibu sebagai jaminannya jika tidak maka ibu akan menjadi milik pihak pertama dan hutang dianggap lunas.Gila, ini si, human traffic dan korbannya adalah ibuku sendiri. Setega ini ayah demi uang rela menjual istrinya.Poin ke tiga berisi pernyataan bahwa tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Dibubuhi tanda tangan ayah, orang yang bernama Pak Yadi dan terakhir tanda tangan ibu di atas materai dan dirangkap dua.Jika ini tidak ada paksaan dari
Assalamualaikum my readers, bantu follow akunku, yuk, biar aku makin tambah semangat nulisnya🙏☺️ Btw jika ada yang baik ambil hikmahnya dan buang buruknya.🌸🌸🌸🌸“Oma, meski aku anak kemarin sore, tapi aku tahu. Ingat ya, Oma, aku ini anak milenial apa pun aku tahu. Beda dengan zamannya Oma dulu, seusiaku mungkin sudah punya anak dan ganti suami dua kali.” Mendengar pernyataanku oma melotot dan menahan marah. Kan, makanya jangan aneh-aneh aku tahu kartu oma. Bahkan aku tahu kalau ayah dan Tante Devi bukan saudara kandung yang memberi tahuku tentu saja ibu dulu sewaktu masih hidup.“Lancang sekali mulutmu itu, Alya!” teriak oma. Kalau sekarang bukan hujan petir pasti semua orang rumah kaget dan terbangun dari mimpi indahnya.“Upps ... maaf ya, Oma. Aku hanya nebak aja kok, kan, rata-rata orang zaman dulu begitu. Senang gonta-ganti pasangan bahkan neneknya temanku nikah lima kali dan anaknya lima dari suami berbeda-beda.” Dada Oma naik turun nafasnya memburu jelas sekali tersinggung
Assalamualaikum everyone ❤️ terima kasih banyak atas supportnya. Bantu follow akunku, like, komen, subs semua cerbungku, and share🙏☺️Kalau ada baiknya ambil hikmahnya dan buang buruknya. Diksi yang aku pakai memang sangat sederhana ya, karena menyesuaikan umur anak SMA kelas X, tapi kalau inti cerita insya Allah benar-benar mengedepankan cerita untuk dikonsumsi oleh kalangan kita para oran tua.🌸🌸🌸 “Ayah?”“Alya, Ayah tidak suka kalau kamu lancang begitu!” tegur ayah.“Ayah, jahat banget password HP pakai diganti segala memang aku lancang bagaimana aku ini kan, anak Ayah? Satu lagi apa maksud Ayah minta aku hapus postingan foto tadi? Apa Ayah malu punya anak aku dan istri seperti Ibu?” kataku mengelak. Untungnya aku masih ingat akun ayah tadi menyuruhku menghapus foto postinganku.“Ayah ... em—itu mungkin salah kirim,” elaknya.“Masa? Ayah sudah mulai bohong, ya? Coba sini mana ponsel Ayah buruan buka,” ujarku sengaja memancing kepanikan ayah karena aku tahu yang mengirim pesan
"Kenapa aku perhatikan kamu murung terus?" tegur Lusi."Biasa, Lus, masalah keluarga," kataku malas kusandarkan kepalaku di meja."Seserius itu, Al? Semoga yang aku lihat kemarin itu tidak seperti yang aku pikirkan. Enggak biasanya loh kamu begini?""1000 rius yang kamu pikirkan itu benar." Lusi membenarkan kacamatanya dan mengamatiku."Ayahmu?" Keluargamu?" tebaknya. Aku menganggukkan kepala."Aku tidak tahu harus berbuat apa, Lus. Lebih dari itu." Lusi tengok kanan kiri mengamati situasi kelas."Ayahmu selain itu ....""Semuanya. Ayah juga tentang Nyokap. Aku juga bingung mau mulai dari mana dulu," kataku hampir putus asa." Ssstt ... seberat itu, ya? Maaf aku tidak bisa ikut campur lebih dalam takut salah. Saranku banyak berdoa berserah diri pada Allah. Alya, kamu pasti bisa. Mulai dari sini perbaiki hubungan kita dengan sang pencipta nanti masalahmu akan selesai," saran Lusi dia menunjuk hatiku."Kamu benar, Lus, selama ini aku hanya mengeluh dan mengeluh aku akan ikuti saranmu.
"Em ... ka—mu yakin, Nak?" tanya ayah lagi."Yakin banget dong, Yah." jawabku mantap setengah berteriak sampai ayah kaget."Ta—pi, kamu kan, belum lancar bawanya, Nak?" "Sudah lancar kok, aku sering latihan nyopir sama Ibu, dulu setiap weekend kata Ibu wanita harus kuat dan mandiri jangan sampai hanya mengandalkan laki-laki." Lagi ayah berkeringat. "Oh, ya, kenapa tadi Ayah buru-buru gitu ngajak aku pulang padahal kan, orang tua temanku mau kenalan sama Ayah," tanyaku penasaran padahal aku sudah tahu jawabannya."Sudah Maghrib, Al, enggak enak ngerepotin orang," elak ayah."Em, Ayah mau tanya kamu tadi di rumah temanmu dari jam berapa?" Ragu-ragu ayah menatapku."Dari pulang sekolah, Yah," jawabanku membuat ayah terbatuk-batuk. "Em, itu. Enggak jadi." Ha-ha ayah lucu sekali."Kenapa emang, Yah?" "Enggak kenapa-napa, Sayang," jawab ayah gelisah."Setelah ini aku siap-siap kita ke showroom ya, Yah." Kulirik ayah dia makin panik. Aku jadi takut kenapa-napa soalnya ayah lagi nyetir."
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak