Assalamualaikum my readers, bantu follow akunku, yuk, biar aku makin tambah semangat nulisnya🙏☺️ Btw jika ada yang baik ambil hikmahnya dan buang buruknya.🌸🌸🌸🌸“Oma, meski aku anak kemarin sore, tapi aku tahu. Ingat ya, Oma, aku ini anak milenial apa pun aku tahu. Beda dengan zamannya Oma dulu, seusiaku mungkin sudah punya anak dan ganti suami dua kali.” Mendengar pernyataanku oma melotot dan menahan marah. Kan, makanya jangan aneh-aneh aku tahu kartu oma. Bahkan aku tahu kalau ayah dan Tante Devi bukan saudara kandung yang memberi tahuku tentu saja ibu dulu sewaktu masih hidup.“Lancang sekali mulutmu itu, Alya!” teriak oma. Kalau sekarang bukan hujan petir pasti semua orang rumah kaget dan terbangun dari mimpi indahnya.“Upps ... maaf ya, Oma. Aku hanya nebak aja kok, kan, rata-rata orang zaman dulu begitu. Senang gonta-ganti pasangan bahkan neneknya temanku nikah lima kali dan anaknya lima dari suami berbeda-beda.” Dada Oma naik turun nafasnya memburu jelas sekali tersinggung
Assalamualaikum everyone ❤️ terima kasih banyak atas supportnya. Bantu follow akunku, like, komen, subs semua cerbungku, and share🙏☺️Kalau ada baiknya ambil hikmahnya dan buang buruknya. Diksi yang aku pakai memang sangat sederhana ya, karena menyesuaikan umur anak SMA kelas X, tapi kalau inti cerita insya Allah benar-benar mengedepankan cerita untuk dikonsumsi oleh kalangan kita para oran tua.🌸🌸🌸 “Ayah?”“Alya, Ayah tidak suka kalau kamu lancang begitu!” tegur ayah.“Ayah, jahat banget password HP pakai diganti segala memang aku lancang bagaimana aku ini kan, anak Ayah? Satu lagi apa maksud Ayah minta aku hapus postingan foto tadi? Apa Ayah malu punya anak aku dan istri seperti Ibu?” kataku mengelak. Untungnya aku masih ingat akun ayah tadi menyuruhku menghapus foto postinganku.“Ayah ... em—itu mungkin salah kirim,” elaknya.“Masa? Ayah sudah mulai bohong, ya? Coba sini mana ponsel Ayah buruan buka,” ujarku sengaja memancing kepanikan ayah karena aku tahu yang mengirim pesan
"Kenapa aku perhatikan kamu murung terus?" tegur Lusi."Biasa, Lus, masalah keluarga," kataku malas kusandarkan kepalaku di meja."Seserius itu, Al? Semoga yang aku lihat kemarin itu tidak seperti yang aku pikirkan. Enggak biasanya loh kamu begini?""1000 rius yang kamu pikirkan itu benar." Lusi membenarkan kacamatanya dan mengamatiku."Ayahmu?" Keluargamu?" tebaknya. Aku menganggukkan kepala."Aku tidak tahu harus berbuat apa, Lus. Lebih dari itu." Lusi tengok kanan kiri mengamati situasi kelas."Ayahmu selain itu ....""Semuanya. Ayah juga tentang Nyokap. Aku juga bingung mau mulai dari mana dulu," kataku hampir putus asa." Ssstt ... seberat itu, ya? Maaf aku tidak bisa ikut campur lebih dalam takut salah. Saranku banyak berdoa berserah diri pada Allah. Alya, kamu pasti bisa. Mulai dari sini perbaiki hubungan kita dengan sang pencipta nanti masalahmu akan selesai," saran Lusi dia menunjuk hatiku."Kamu benar, Lus, selama ini aku hanya mengeluh dan mengeluh aku akan ikuti saranmu.
"Em ... ka—mu yakin, Nak?" tanya ayah lagi."Yakin banget dong, Yah." jawabku mantap setengah berteriak sampai ayah kaget."Ta—pi, kamu kan, belum lancar bawanya, Nak?" "Sudah lancar kok, aku sering latihan nyopir sama Ibu, dulu setiap weekend kata Ibu wanita harus kuat dan mandiri jangan sampai hanya mengandalkan laki-laki." Lagi ayah berkeringat. "Oh, ya, kenapa tadi Ayah buru-buru gitu ngajak aku pulang padahal kan, orang tua temanku mau kenalan sama Ayah," tanyaku penasaran padahal aku sudah tahu jawabannya."Sudah Maghrib, Al, enggak enak ngerepotin orang," elak ayah."Em, Ayah mau tanya kamu tadi di rumah temanmu dari jam berapa?" Ragu-ragu ayah menatapku."Dari pulang sekolah, Yah," jawabanku membuat ayah terbatuk-batuk. "Em, itu. Enggak jadi." Ha-ha ayah lucu sekali."Kenapa emang, Yah?" "Enggak kenapa-napa, Sayang," jawab ayah gelisah."Setelah ini aku siap-siap kita ke showroom ya, Yah." Kulirik ayah dia makin panik. Aku jadi takut kenapa-napa soalnya ayah lagi nyetir."
Malam ini aku merasa sangat puas. Bisa membalas sakit hati ibuku meski sedikit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panasnya wajah Tante genit itu terkena siraman air panas baru mendidih. Ha, pasti melepuh dan dia merengek minta ke dokter kecantikan pada ayahku.Tidak apa-apa besok aku belum pakai mobil ibu, tapi aku sudah berhasil menyelamatkan mobil dari perebut seperti tante itu. Heran sukanya bekasan ibuku.Kubuka sosmed dan kepoin akun Tante genit itu. Waaa! Ternyata tadi dia habis belanja cincin berlian. Ok, besok aku akan minta juga pada ayah dan aku akan minta beli di toko itu. Siap-siap ayah dapat kejutan selanjutnya dariku."Al, tidur Nak. Sudah malam besok sekolah, kan?" tegur ayah, beliau terlihat gelisah dan memegangi ponselnya. Pasti ayah khawatir pada istri mudanya, tapi mau telepon tidak berani karena ada aku. Hi-hi maafkan aku ayah. Aku lakukan ini demi keutuhan hubungan kita. Ayah sudah merusak hubungan ayah dengan ibu, jangan sampai ayah juga merusak hubungan kit
“Al, gimana kalau kita beli cincin emas saja?” Ayah mencoba melobiku.“No! Aku mau ini, Yah. Aku ini anak bos perusahaannya besar masa enggak pakai cincin berlian,” jawabku pura-pura merajuk.“Ayah takutnya hilang.”“Aku akan jaga dengan baik, Ayah. Don’t worry.”Ayah tampak pasrah dan membayar cincin yang kumau.“Satu lagi, aku beli tas.” Kugandeng tangan ayah ke toko tas yang disambanginya bersama Tante pelakor itu.“Nah, ini tokonya. Aku mau tas edisi terbaru.” Ayah berdiri mematung sebelum masuk ke dalam. Beliau pasti sedang tidak baik-baik saja.“Alya, untuk apa beli tas branded begini, kamu masih kecil,” tolak ayah saat aku menyodorkan trans branded mirip milik artis Lesti Kejora.“Untuk dipakai, Ayah lupa? Selama ini aku pun tidak pernah minta ini dan itu hanya sekali ini langsung Ayah tolak,” kataku ketus dan sedikit berteriak. Orang-orang yang ada di sini memperhatikan kami.Akhirnya ayah menuruti kemauanku. Tidak tanggung-tanggung aku beli dua sekaligus.Rasain, suruh siapa
[Kamu, anak kecil harus terima kenyataan bahwa aku ibu sambungmu. Jadi, jangan macam-macam denganku atau aku akan singkirkan kamu dari hidup ayahmu.]Tulis perempuan itu lagi . Ck, Tante pelakor itu kira aku ini anak kecil yang bisa diancam? Bahkan aku pun bisa menendang ayah dari rumah ini. Berlagak rupanya.Beruntung WA aku set privasi jadi meski pesan dia sudah kubaca masih centang dua abu-abu. Aku memang sengaja lakukan ini karena malas jika ayah ataupun keluarga ayah WA aneh-aneh. Sering banget mereka menggangguku dengan pesan-pesan recehan tak masuk akaln. Apalagi Nindi, berasa dia ratu di rumah ini.Aku lihat foto profilnya. Berdua dengan ayah saling peluk. Sudah kutebak tempat ini adalah vila keluarga kami dan ini ada di kamar utama. Kamar ibuku.Baiklah susun rencana lebih matang lagi. Aku takut perempuan itu akan segera datang ke rumah ini.Kubuka lagi lembaran isi perjanjian itu. Aku mencoba membaca berkali-kali, tapi buntu kesimpulan. Mungkin nanti kakek bisa memecahkanny
“Kok malah cengengesan! Nenek khawatir ini,” omel nenek." Padahal aku baik-baik saja. “Kan, belum bagi rapor. Nanti juga dijemput oom kamu, kalau enggak ayahmu pasti akan nganter,” sambungnya.“Enggak sabar mau cepat sampai sini, Nek. Udah kangen berat,” jawabku santai.“Masa? Sebegitu merindukankah nenekmu ini?” canda nenek.“Iya, begitulah. Om, Ardi belum pulang ya, Nek?”“Enggak pulang kan, banyak kerjaan.”Lain dengan kakek beliau diam saja dan seperti mengawasiku. Kakek memang selalu peka. Instingnya selalu benar. Mirip ibu.“Kok, Aldi sama Mbok, diam saja?”“Aldi capek, Nek. Kesal juga sama Kakak. Padahal besok lusa bagi rapor, tapi diculik dibawa ke sini,” keluh Aldi. Nenek beralih pada mbok.“Eh, itu a—nu Nyoya. Non Alya bawa kami ke sini tidak bilang dulu,” timpal Mbok.“Bilangnya mau ke rumah temannya. Kan, bohong. Dosa bohong itu!” Aldi semakin kesal. Bibirnya cemberut saja.“Benar, Alya?” tanya nenek.“He-he iya, Nek.” “Kakak gitu Nek, selalu saja bercandaan!” Aldi melemp
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak