Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.
“Aldi, mau nambah enggak?”
“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”
“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.
Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.
“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Korea yang ada di film.
Perempuan itu langsung memasang wajah masam. Ayah sepertinya bingung harus memilih siapa. Ayah memberi kode lewat gerakan tangannya. Dikiranya aku tidak tahu, dasar ulat bulu.
“Betul, Hen. Besok Alya harus sekolah. Temanilah sebentar,” ucap Nenek. Sepertinya Nenek mengerti aku tidak nyaman dengan perempuan itu.
“I—iya, Bu,” jawab ayah kikuk.
“Oh, iya, tadi Ayah bilang Tante ini teman, Ibu. Benarkah?” tanyaku penasaran.
“Anin, nama Tante, Anin,” katanya penuh percaya diri. Dia mengulurkan tangannya padaku.
“Tante, beneran temannya Ibu?” tanyaku lagi. Aku tidak mau menerima uluran tangannya. Terserah apa kata orang, dibilang tidak sopan pun aku tidak peduli. Andai mereka di posisiku pasti akan sama sepertiku tidak sudi untuk bersentuhan dengan wanita yang sudah merusak rumah tangga orang tuanya.
“Em ... iya, Tante ini teman ibumu, Sayang,” jawabnya kaku sambil menyelipkan anak rambutnya ke belakang kuping.
“Masa sih? Kalau teman Ibu harusnya sudah tahu dong, malam ini tahlilan tiga hari meninggalnya Ibu. Tante aja ke sini pakai baju kurang bahan gitu, paha diumbar ke mana-mana gratisan kalah dong sama paha ayam. Paha ayam aja harganya mahal. Lagi pula teman-teman Ibu enggak ada yang seperti Tante. Mereka semua berhijab dan make up-nya enggak menor macam biduan gini,” kataku panjang lebar. Kutatap mata perempuan itu. Dia tidak berani menatapku justru melihat ke arah ayah sebagai wujud protesnya.
“Eh, iya, benar juga yang dibilang Alya. Tante Tari itu enggak punya teman model begini,” sahut Nindi, tumben itu anak otaknya jernih Tante Devi dan yang lain manggut-manggut lalu kompakan menatap ayah. Ayah salah tingkah lalu mengajakku masuk kamar.
“Sayang, tidur yuk, sudah malam!” ajak ayah.
“Ok, yuk!” Kugandeng lengah ayah dengan manja.
Di kamar Aldi sudah tidur pulas, aku menyuruh ayah untuk bersih-bersih badan dan wudu sebelum tidur.Saat ayah masuk kamar mandi aku mengunci pintu kamar dan mengantongi kuncinya rasain kamu tante ulat bule enggak bakalan ayahku bisa keluar lagi dari sini.
Kuraih ponsel di atas meja rias ibu. Kupandangi wajah cantik ibu. Mata bulatnya dihiasi bulu mata lentik meski tanpa maskara, bibir tipisnya, hidung mancungnya, sungguh mirip denganku.
[Selamat tidur, Sayangnya Ibu. I love you.] kubaca lagi pesan terakhir ibu sewaktu aku study tour.
Aku terisak membaca pesan-pesan ibu. Sungguh aku tidak menyangka ibu akan pergi untuk selamanya secepat ini.
“Sssttt ... anak ayah kenapa menangis, nanti cantiknya ilang kalau nangis malam-malam,” ucap ayah. Beliau sudah duduk di sebelahku.
“Aku ingat Ibu. Tidak menyangka Ibu akan pergi secepat ini, Yah. Padahal Ibu orang baik, lembut, penyayang.”
“Sudah takdir Tuhan, Nak. Kamu tidak boleh begitu,” tutur ayah.
“Iya, Ayah benar. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu menderita makanya Ibu pergi lebih cepat, semoga Ibu mendapatkan tempat terbaik dan diampuni segala dosanya.” Ayah memelukku. Bisa kudengar jantung ayah berdegup kencang setiap aku mengucapkan kata ibu. Aku tahu ayah pasti merasa bersalah.
“Sudah, jangan sedih terus. Tidur, yuk! Besok kan, harus sekolah,” bujuk ayah.
Kami beranjak tidur. Ayah tidur di sebelah kanan Aldi dan aku tidur di sebelah kiri Aldi.
Aku pura-pura memejamkan mata, kuintip ayah dari balik gulingku. Beliau menatap langit-langit kamar sesekali menghela nafas berat. Lalu menatap kami berdua.
Aku hampir terlelap saat ponsel ayah berdering. Volumenya yang sangat kuat membuat ayah kaget. Sebenarnya tadi aku yang menambah volumenya sampai full sewaktu ayah di kamar mandi. Jadi jika tante ulat bulu telepon aku bisa dengar dan pura-pura kaget.
“Ayah, siapa yang telepon malam-malam begini? Aku kaget, Yah,” rajukku.
“Oh, ini. Enggak tahu. Ayah juga kaget,” jawab ayah ekspresinya lucu sekali.
“Non aktifkan aja, Yah. Nanti aku enggak bisa tidur kalau ada yang telepon lagi.” Ayah menurut saja. Lalu kami melanjutkan tidur kami.
Kuintip ayah lagi, beliau sudah memejamkan matanya sambil memeluk Aldi. Aku sedikit tenang dan akhirnya aku pun memejamkan mata.
Sebentar lagi azan Subuh seperti biasa Aldi sudah bangun dan rapi hendak pergi ke Masjid. Kubangunkan Ayah, karena susah bangun Aldi menercikkan air ke wajah ayah.
“Aldi!” Ayah tampak marah, tapi sedetik kemudian berusaha meredamnya.
“Ayah masih ngantuk, Nak. Ada apa bangunin Ayah?”
“Sudah hampir Subuh, Yah. Ayo, cepat kita ke Masjid!” jawab Aldi sambil menunjuk jam dinding.
“Ayah, salat di rumah saja nanti.”
“Enggk bisa, laki-laki harus salat di Masjid kalau di rumah salatnya pakai mukena,” kata Aldi lagi sambil menarik-narik lengan ayah. Ajaib! Ayah mau beranjak ke kamar mandi dan mengambil air wudu.
Kesempatan ini aku gunakan untuk mengembalikan lagi kunci pintu yang semalam aku bawa tidur. Akhirnya aku malam ini berhasil mencegah ayah bertemu dengan tante ulat bulu.
🌸🌸🌸🌸
“Hen, siapa sebenarnya perempuan semalam? Apa kamu sudah berniat menggantikan posisi anak Ibu di rumah ini?” tanya nenek. Kami semua sedang sarapan.
“Em ... eng—gak, Bu. Mana mungkin secepat ini. Aku sangat mencintai Tari,” jawab ayah berbohong.
Ayah aktingmu percuma karena anakmu ini sudah tahu kebusukan ayah.
“Tuan, ada tamu ingin bertemu dengan Tuan, apa boleh masuk?” tanya Pak Satpam.
“Siapa?”
“Laki- laki tapi, saya lupa tanya namanya,” jawab Pak Satpam.
“Suruh tunggu, aku segera ke sana.” Ayah langsung menyusul pak Satpam ke depan.
Karena aku penasaran jadi aku membuntuti ayah. Itu laki-laki pemilik mobil Jeep. Ada apa sebenarnya, mungkinkah ayah kenal? Terlihat perdebatan sengit antara ayah dan orang itu.
Pasti ayah kenal, kalau tidak kenal tidak akan begitu.“Siapa, Yah?” tanyaku pada ayah beliau buru-buru masuk rumah sedang orang itu terlihat menendang pintu pagar.
“Biasa teman Ayah pagi-pagi cari masalah. Sudah, ya, Ayah berangkat kerja dulu,” pamit ayah.
“Adi, itu jemputannya sudah datang. Buruan!” teriakku. Aldi ke luar rumah di dampingi Mbok.
Aku juga gegas ke kamar mengambil tas dan merapikan jilbab. Aku ingat hari ini harus mengumpulkan rapor sedang aku lupa menyimpannya di mana.
“Mbok! Tahu raporku enggak?” teriakku pada wanita yang sudah mengurusku sejak kecil.
Tergopoh-gopoh mbok masuk kamarku.
“Rapor itu buku hasil belajar bukan, Non?” Duh, pakai tanya segala mbok ini.“Iya, Mbok! Ih, bikin kesel deh. Ayo, cepetan bantuin cari udah siang ini nanti aku telat!" titahku.
“Sebentar, Non.” Bukannya ikut cari mbok malah kabur keluar.
Aku ingat betul rapor itu aku taruh di sini di rak buku besar kenapa tidak ada siapa yang memindahkan kalau bukan mbok, karena hanya beliau lah di rumah ini yang rajin beberes setelah ibu.
“Ini, Non. Ada di lemari Mbok, waktu itu Nyonya yang menitipkannya,” ucap mbok sambil memberikan raporku. Aneh rapor aja harus si mbok yang simpan.
“Ya, sudah, makasih ya, Mbok. Aku berangkat dulu.” Kucium tangan mbok lalu beranjak keluar.
Sudah sampai pintu pagar aku harus kembali lagi, raporku belum ditanda tangani. Mana ayah sudah berangkat kerja. Masa Nenek yang tanda tangan nanti jelek.
Kubuka raporku kembali mencoba meniru tanda tangan ibu karena beliaulah yang selalu tanda tangan raporku dari kecil.
Ada lipatan kertas terselip di raporku. Segera kubuka dan kubaca.
Surat perjanjian. Baru membaca atasnya saja langsung kulipat lagi kertas itu dan kumasukkan ke dalam tas. Apa ini yang dicari ayah.🌸🌸🌸“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. “Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil se
🌸🌸🌸Aku bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan pusing harus berbuat apa.Aku sangat sayang pada ibuku di satu sisi aku pun bingung harus mulai dari mana. Aku takut tindakan yang kulakukan salah dan akan mencelakaiku.Satu-satunya yang dimiliki ibu adalah aku rasanya tidak mungkin kalau aku abai. Aku pun tidak sudi wanita penggoda itu masuk ke dalam hidupku. Cukup ayah saja yang dihinggapi jangan sampai aku pun terkena racunnya.Aku harus menebus obat yang sudah diresepkan Dokter Fatma aku tidak mau orang-orang di rumah ini curiga padaku. Benar kata Dokter Fatma aku harus hati-hati aku tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Keluarga ini terlalu banyak drama dan bermuka dua.“Mau ke mana, Al. Kamu jalan kok sambil bengong gitu. Lagi mikirin apa sih?” tegur Tante Eni. Aku sudah sampai teras rumah, tapi pikiranku melalang buana.“Mau ke apotek, mau beli obat yang diresepkan dokter, tapi mau minta tolong aja sama Pak Satpam.”“Sini biar Tante aja yang beliin sekalian, Tante
Assalamualaikum my readers 🙏 semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat yaa ... jika ada yang bagus dari cerbung-cerbungku ambil hikmahnya jika tidak maka buang buruknya.Bantu follow akunku ya, like, coment, subs cerbungku, and share 🙏☺️🌸🌸🌸Aku berpikir sejenak. Masa sih, ayah tidak bisa membayar cicilan hutangnya. Apa ayah pernah mengalami kerugian besar? Seingatku ayah selalu menang tender dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sampai kakek selalu memuji kerja bagus ayah.Kubaca lagi poin ke dua, di sana tertulis pihak pertama meminta ibu sebagai jaminannya jika tidak maka ibu akan menjadi milik pihak pertama dan hutang dianggap lunas.Gila, ini si, human traffic dan korbannya adalah ibuku sendiri. Setega ini ayah demi uang rela menjual istrinya.Poin ke tiga berisi pernyataan bahwa tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Dibubuhi tanda tangan ayah, orang yang bernama Pak Yadi dan terakhir tanda tangan ibu di atas materai dan dirangkap dua.Jika ini tidak ada paksaan dari
Assalamualaikum my readers, bantu follow akunku, yuk, biar aku makin tambah semangat nulisnya🙏☺️ Btw jika ada yang baik ambil hikmahnya dan buang buruknya.🌸🌸🌸🌸“Oma, meski aku anak kemarin sore, tapi aku tahu. Ingat ya, Oma, aku ini anak milenial apa pun aku tahu. Beda dengan zamannya Oma dulu, seusiaku mungkin sudah punya anak dan ganti suami dua kali.” Mendengar pernyataanku oma melotot dan menahan marah. Kan, makanya jangan aneh-aneh aku tahu kartu oma. Bahkan aku tahu kalau ayah dan Tante Devi bukan saudara kandung yang memberi tahuku tentu saja ibu dulu sewaktu masih hidup.“Lancang sekali mulutmu itu, Alya!” teriak oma. Kalau sekarang bukan hujan petir pasti semua orang rumah kaget dan terbangun dari mimpi indahnya.“Upps ... maaf ya, Oma. Aku hanya nebak aja kok, kan, rata-rata orang zaman dulu begitu. Senang gonta-ganti pasangan bahkan neneknya temanku nikah lima kali dan anaknya lima dari suami berbeda-beda.” Dada Oma naik turun nafasnya memburu jelas sekali tersinggung
Assalamualaikum everyone ❤️ terima kasih banyak atas supportnya. Bantu follow akunku, like, komen, subs semua cerbungku, and share🙏☺️Kalau ada baiknya ambil hikmahnya dan buang buruknya. Diksi yang aku pakai memang sangat sederhana ya, karena menyesuaikan umur anak SMA kelas X, tapi kalau inti cerita insya Allah benar-benar mengedepankan cerita untuk dikonsumsi oleh kalangan kita para oran tua.🌸🌸🌸 “Ayah?”“Alya, Ayah tidak suka kalau kamu lancang begitu!” tegur ayah.“Ayah, jahat banget password HP pakai diganti segala memang aku lancang bagaimana aku ini kan, anak Ayah? Satu lagi apa maksud Ayah minta aku hapus postingan foto tadi? Apa Ayah malu punya anak aku dan istri seperti Ibu?” kataku mengelak. Untungnya aku masih ingat akun ayah tadi menyuruhku menghapus foto postinganku.“Ayah ... em—itu mungkin salah kirim,” elaknya.“Masa? Ayah sudah mulai bohong, ya? Coba sini mana ponsel Ayah buruan buka,” ujarku sengaja memancing kepanikan ayah karena aku tahu yang mengirim pesan
"Kenapa aku perhatikan kamu murung terus?" tegur Lusi."Biasa, Lus, masalah keluarga," kataku malas kusandarkan kepalaku di meja."Seserius itu, Al? Semoga yang aku lihat kemarin itu tidak seperti yang aku pikirkan. Enggak biasanya loh kamu begini?""1000 rius yang kamu pikirkan itu benar." Lusi membenarkan kacamatanya dan mengamatiku."Ayahmu?" Keluargamu?" tebaknya. Aku menganggukkan kepala."Aku tidak tahu harus berbuat apa, Lus. Lebih dari itu." Lusi tengok kanan kiri mengamati situasi kelas."Ayahmu selain itu ....""Semuanya. Ayah juga tentang Nyokap. Aku juga bingung mau mulai dari mana dulu," kataku hampir putus asa." Ssstt ... seberat itu, ya? Maaf aku tidak bisa ikut campur lebih dalam takut salah. Saranku banyak berdoa berserah diri pada Allah. Alya, kamu pasti bisa. Mulai dari sini perbaiki hubungan kita dengan sang pencipta nanti masalahmu akan selesai," saran Lusi dia menunjuk hatiku."Kamu benar, Lus, selama ini aku hanya mengeluh dan mengeluh aku akan ikuti saranmu.
"Em ... ka—mu yakin, Nak?" tanya ayah lagi."Yakin banget dong, Yah." jawabku mantap setengah berteriak sampai ayah kaget."Ta—pi, kamu kan, belum lancar bawanya, Nak?" "Sudah lancar kok, aku sering latihan nyopir sama Ibu, dulu setiap weekend kata Ibu wanita harus kuat dan mandiri jangan sampai hanya mengandalkan laki-laki." Lagi ayah berkeringat. "Oh, ya, kenapa tadi Ayah buru-buru gitu ngajak aku pulang padahal kan, orang tua temanku mau kenalan sama Ayah," tanyaku penasaran padahal aku sudah tahu jawabannya."Sudah Maghrib, Al, enggak enak ngerepotin orang," elak ayah."Em, Ayah mau tanya kamu tadi di rumah temanmu dari jam berapa?" Ragu-ragu ayah menatapku."Dari pulang sekolah, Yah," jawabanku membuat ayah terbatuk-batuk. "Em, itu. Enggak jadi." Ha-ha ayah lucu sekali."Kenapa emang, Yah?" "Enggak kenapa-napa, Sayang," jawab ayah gelisah."Setelah ini aku siap-siap kita ke showroom ya, Yah." Kulirik ayah dia makin panik. Aku jadi takut kenapa-napa soalnya ayah lagi nyetir."
Malam ini aku merasa sangat puas. Bisa membalas sakit hati ibuku meski sedikit. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana panasnya wajah Tante genit itu terkena siraman air panas baru mendidih. Ha, pasti melepuh dan dia merengek minta ke dokter kecantikan pada ayahku.Tidak apa-apa besok aku belum pakai mobil ibu, tapi aku sudah berhasil menyelamatkan mobil dari perebut seperti tante itu. Heran sukanya bekasan ibuku.Kubuka sosmed dan kepoin akun Tante genit itu. Waaa! Ternyata tadi dia habis belanja cincin berlian. Ok, besok aku akan minta juga pada ayah dan aku akan minta beli di toko itu. Siap-siap ayah dapat kejutan selanjutnya dariku."Al, tidur Nak. Sudah malam besok sekolah, kan?" tegur ayah, beliau terlihat gelisah dan memegangi ponselnya. Pasti ayah khawatir pada istri mudanya, tapi mau telepon tidak berani karena ada aku. Hi-hi maafkan aku ayah. Aku lakukan ini demi keutuhan hubungan kita. Ayah sudah merusak hubungan ayah dengan ibu, jangan sampai ayah juga merusak hubungan kit
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak