“Nenek, malam ini yang datang ke rumah untuk yasinan anak-anak panti dekat kompleks perumahan kita, kan?” tanyaku sengaja mengalihkan perhatian ayah.
“Iya, benar, nanti habis Maghrib nasi kotaknya dikirim sama pihak kateringnya,” sahut Tante Eni.
“Makasih ya, Tan, sudah bantuin aku sama Ayah,” kataku tulus. Andai tidak ada Tante Eni entah bagaimana nasib ibuku.
“Sudah menjadi kewajiban Tante sebagai Adik. Kamu jangan sungkan ya, Sayang,” jawab Tante Eni. Aku dan ayah kompak mengangguk.
Begitu turun dari mobil ayah langsung lari ke pintu pagar sepertinya sangat tergesa-gesa kemudian melihat ke kanan dan kiri seperti orang mau menyebrang jalan.
“Ayah! Ada apa si?” tanyaku sedikit berteriak karena jarak kami lumayan jauh. Ayah melambaikan tangan memberi tanda semua ok, tapi aku tidak percaya begitu saja. Aku jadi semakin yakin orang yang tadi ngobrol dengan Bude Siti kenal dengan ayah.
Di dalam ternyata sudah ada keluarga dari pihak ayah, ada Tante Devi beserta keluarganya oma, opa dan Om Rudi. Tante Eni dan nenek sudah beramah tamah dan gabung ngobrol dengan mereka bahkan Aldi sudah di pangkuan Oma.
Aku sebenarnya malas melihat mereka yang bermuka dua. Kemarin mereka ke sini sangat sebentar ini tiba-tiba datang lagi pasti karena dengar kabar ayahku sudah pulang. Aku masih berdiri memperhatikan mereka satu per satu. Ayah memegang pundakku dan mengajakku ikut gabung.
Ayah menyalami oma, opa dan yang lainnya. Aku hanya diam memperhatikan. Ayah sepertinya kaget dengan perubahan sikapku yang cuek.
“Nak, sini, salim dulu sama Opa,” ajak ayah, beliau dudu di dekat opa.
“Aku capek Yah, mau istirahat,” jawabku.
“Eh, Alya, kamu kok gitu si, sama orang tua enggak sopan banget!” sahut Nindi anak Tante Devi.
“Suka-suka aku dong, kemarin kalian saja ke sini cuma sebentar enggak ikut doakan Ibu, enggak ikut mengantar ke pemakaman ibuku. Kenapa hari ini kalian tiba-tiba datang ke sini lagi? Apa karena tahu ayahku sudah pulang? Aku bakalan hormat dengan orang yang baik dan menghormatiku juga,” teriakku kesal.
Mereka semua terperangah tak percaya dengan sikapku yang berubah. Nindi yang Tandi membentakku pun langsung menundukkan wajahnya.
“Asal Ayah tahu, ya, itulah sifat keluarga Ayah. Jangan sampai aku punya Ayah bermuka dua seperti mereka!” kataku penuh penekanan. Ayah kaget kemudian dia berusaha menenangkanku.
“Ayah percaya padamu, Sayang. Biar Ayah yang bicara pada mereka. Ayah pun tidak terima dengan kelakuan mereka,” jawab ayah. Mereka semua terkejut dan Oma berdecak kesal.
“Kami kemarin buru-buru Sayang, karena Oma harus cek up ke RS. Maafin Oma, ya? Sini sama Oma peluk Oma,” papar omaku sok baik hati. Bukannya meraih uluran tangan Oma aku justru pergi ke kamarku.
“Alya! Sayang, Nak?” panggil ayah. Kuhiraukan saja. Rasanya hatiku masih dongkol. Bisa-bisanya mereka bersikap begitu mereka pikir aku ini anak kecil yang bisa dibohongi. Kukunci kamar, ambil ponsel ibu. Kuaktifkan WiFi-nya ada banyak panggilan tak terjawab dari nomor yang mengajak ibu bertemu.
[Kamu sudah siap kan, Sayang? Aku on the way. Aku tidak sabar mau lihat kamu pakai baju yang aku kirim kemarin.] Dikirim tadi waktu kami ada di makam.
[Sayang aku sudah ada di depan rumahmu.] Dilengkapi dengan foto halaman rumah kami. Di foto yang dikirimkannya juga terlihat jelas bunga papan ucapan bela sungkawa atas meninggalnya ibu. Apa orang ini tidak tahu.
Kuklik lagi nomornya, tapi sudah diblokir. Aku salin nomornya di ponselku siapa tahu suatu saat aku membutuhkannya.
Kupandangi baju lingerie yang kutaruh asal begitu saja di meja belajarku. Benarkah baju itu untuk ibu? Tapi, semua bukti yang kutemui mengarah ke sana. Apa lelaki tadi kenal begitu dekat dengan ibu sampai ayah pun tadi ketika melihat laki-laki itu tampak terkejut.
Jika memang benar ibu kenal dekat dengan lelaki itu dan mereka sampai mempunyai hubungan spesial lalu apa bedanya dengan ayah, bukankah itu artinya mereka sama-sama berkhianat?
Aku harus bicara pada siapa masalah ini? Saat ini tidak ada satu pun orang yang kupercaya di rumah ini. Jika aku sendiri apa aku akan kuat dan bisa. Aku benar-benar dilema.
🌸🌸🌸
Aku sedang membantu nenek dan Tante Eni mengatur nasi kotak untuk anak-anak yatim yang akan berdoa untuk ibuku saat ayah menerima telepon diam-diam dan sedikit berlari masuk ke dalam kamar mandi dapur. Karena aku curiga segera kubuntuti ayah. Diam-diam menguping pembicaraan ayah.
“Baiklah, Nin. Aku usahakan nanti ke sana. Sudah dong, jangan merajuk gitu ... Alya sedang membutuhkanku saat ini. Aku tidak mau terjadi sesuatu padanya.”
“Ngapain kamu!” tegur Nindi dia menepuk bahuku hingga aku menjerit karena terkejut.
“Mau ke toiletlah, kamu kira mau ke mana? Shopping?” jawabku ketus aku tidak mau Nindi tahu rencanaku.
Klek! Suara handle pintu terbuka lalu ayah ke luar.
“Kalian kenapa ada di sini ribut-ribut?” tanya ayah heran. Dia pasti sangat takut ketahuan.
“Ayah, kok, ikutan aneh kayak Nindi sih? Mau ke toilet dong, masa iya mau shopping?”
“Alasan aja itu Om, tadi aku lihat dia menempelkan kupingnya di pintu kamar mandi. Ah, pasti dia mau nguping atau ngintip 'tuh!” sahut Nindi.
“Ngintip kok ayah? Enggak keren banget! Mending aku ngintip oppa-oppa Korea." Mendengar jawabanku justru ayah tertawa terbahak-bahak dan membuat Nindi kesal lalu beranjak pergi.
“Memang di toilet kamu tidak bisa, Nak?” tanya ayah.
“Bisa, tapi kejauhan. Kan, aku lagi ikut bantuin Nenek di dapur, Yah?” kataku beralasan.
“Ya, sudah, Ayah ke depan dulu ya, Nak. Sebentar lagi Isya.” Kutatap punggung ayah yang semakin menjauh, jujur dari lubuk hatiku yang terdalam aku masih banyak berharap ini hanyalah mimpi.
“Al, kamarmu kok dikunci si?” teriak Nindi kesal dia berjalan ke arahku.
“Kenapa emang?”
“Ya, aku mau istirahat lah, pelit banget sih!” ucapnya lagi enggak tahu malu.
“Ada kamar tamu, kenapa harus di kamarku?” Kuberanjak menghampiri Aldi, dia seperti sedang mencari sesuatu.
“Dik, kamu kenapa?” Aldi tersentak kaget.
“Itu, Kak, Oma sama Tante Devi masuk ke kamar Ibu dan menyuruh aku keluar,” jawabnya sambil menunjuk kamar ibu.
Aku segera masuk kamar ibu dan mengusir mereka semua.
“Kamu itu tidak punya sopan santun ya! Orang tua lagi istirahat disuruh pergi!” bentak Oma bahkan dia menoyor kepalaku.
“Ini kamar pribadi ibuku, Oma kalau mau istirahat di kamar tamu aja. Lagi pula dari tadi Oma sama Tante Devi Cuma duduk-duduk doang, kok capek! Cepetan keluar!" teriakku kuat sekali sengaja agar mengundang perhatian ayah.
“Ih, apaan si, teriak-teriak gitu!” Oma menjewer kupingku sambil berlalu keluar.
Segera kukunci kamar ibu dan kembali bergabung dengan nenek.Ting!
Pesan dari Lusi.
Dia mengirimkan sebuah foto.
[Ayahmu ada di rumah kontrakan samping rumahku, Al] Kudownload foto yang dikirim Lusi, benar saja itu ayah masih menggunakan baju kokoknya. Pantas saja ayah tidak ikut berdoa bersama kukira beliau di teras luar bersama dengan Bapak-Bapak pengurus panti ternyata memang sengaja pergi.
Bersambung
Mendapat kiriman Vidio ayah dari Lusi membuatku kembali murka.Karena aku sangat kesal pada ayah kuputuskan untuk masuk kamar tidak jadi ikut makan bersama anak-anak panti, untungnya acara inti yaitu doa bersama sudah selesai. Kuajak Aldi, dia harus istirahat besok sudah mulai masuk sekolah.Kukunci kamar ibu sekarang hanya ada aku dan Aldi, panggilan nenek dan Tante Eni aku hiraukan. Biarlah mereka tahu bahwa aku sedang kecewa.“Kita tidur Dik, besok harus bangun pagi salat Subuh, dan bersiap ke sekolah. Aldi harus nurut sama Kakak karena sekarang sudah tidak ada Ibu lagi yang selalu menyiapkan keperluan kita,” kataku lembut takut Aldi tertekan karena tindakanku yang mengharuskan dia mandiri.“Baik, Kak. Aku akan nurut apa pun kata Kakak,” jawabnya sambil menoleh hidungku. Kami bersih-bersih badan, sikat gigi, wudu lalu kami tidur. Sebenarnya aku sendiri tidak bisa tidur, pikiranku kacau melayang ke mana-mana. Sekarang juga belum terlalu malam masih jam 21.00 WIB. Aldi sudah terle
Sekolah pun aku tidak fokus sampai ditegur guru beberapa kali bahkan mapel olahraga kepalaku sampai kena bola voli. Foto-foto itu, baju lingerie, dan juga pesan-pesan mesra itu masih terngiang memenuhi pikiranku. Apa yang harus aku lakukan. Aku bingung sekali.Aku mendapati kamar ibu sedikit terbuka padahal tadi sewaktu berangkat sekolah aku ingat betul sudah terkunci dan kuncinya pun masih ada padaku.Nenek dan Tante Eni masih di dapur, Aldi belum pulang. Kalau bukan ayah berarti keluarga ayah yang memaksa masuk.Kuintip ke dalam benar saja ayah sedang mencari sesuatu di lemari ibu. Baju ibu berserakan semua. Rak-rak buku perpustakaan mini ibu pun sangat berantakan semua buku jatuh berserakan di lantai.“Ayah?” panggilanku tidak terdengar hingga aku harus mencolek bahunya.“Yah, Ayah?”“Ya Tuhan! Alya! Bikin kaget saja,” teriak ayah beliau terlonjak kaget.“Ayah sedang cari apa? Kenapa kamar Ibu jadi berantakan begini?” tanyaku penasaran.“Ayah mencari berkas yang dibutuhkan di kant
Prek! Kulempar aqua gelas tepat di bawah kaki wanita itu. Kakinya basah terkena cipratan airnya. Dia kaget begitu juga dengan ayah. Senyumnya yang semula mengembang langsung hilang. Oma terlihat sangat marah padaku sedang nenek merasa tidak enak dan hendak membawaku beranjak dari sini. Kutolak mentah-mentah ajakan nenek lalu kulanjutkan makanku. Marah juga perlu tenaga aku harus makan banyak untuk melawan perempuan luknut itu.“Aldi, mau nambah enggak?”“Enggak, Kak. Cukup, aku sudah kenyang.”“Ya, sudah. Ayo, kita masuk kamar! Sikat gigi, wudu lalu tidur.” Aldi menurut saja. Aku cepat-cepat menyelesaikan ritualku dan keluar lagi menemui ayah.Mereka sedang asyik ngobrol dan tampak akrab seperti sudah kenal lama. Perempuan luknut itu sesekali melirik pada ayah dengan senyuman genitnya. Aku bergidik ngeri melihatnya. Ternyata ada di dunia nyata wanita seperti itu.“Ayah, ayo tidur! Ini sudah malam besok aku harus sekolah,” ajakku dengan gaya bicara yang manja seperti gadis-gadis Kore
🌸🌸🌸“Aaaww! Pakai mata dong! Main tabrak aja!” teriak Nindi, buku yang dibawanya berantakan semua. “Namanya juga buru-buru,” jawabku cuek. Dia menunduk memunguti bukunya.“Loh, Non, kok balik lagi?” tanya mbok.“Aku sakit perut, Mbok,” jawabku berbohong.“Apa perlu Mbok hubungi Dokter, Non?”“Enggak usah Mbok, aku mau BAB.” Aku lari masuk kamar.Kukunci pintu lalu kuambil lagi kertas perjanjian yang kulipat tadi.Ternyata ini surat perjanjian hutang piutang.Di sini dituliskan ayah sebagai pihak ke dua dan Pak Yadi sebagai pihak pertama.Poin pertama menyebutkan bahwa pihak pertama yaitu Pak Yadi meminjamkan sejumlah uang kepada pihak ke dua. Fantastis 750 Milyar. Aku sampai menghitung nolnya di belakang angka untuk memastikan jumlah yang kubaca tidak salah.Poin ke dua berisi tentang jaminan yang ayah berikan, yaitu sertifikat vila, perkebunan, rumah ini dan juga BPKB tiga mobil yang ayah punya.Poin ke tiga berisi pihak ke dua akan membayar hutang tersebut dengan cara dicicil se
🌸🌸🌸Aku bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Bingung dan pusing harus berbuat apa.Aku sangat sayang pada ibuku di satu sisi aku pun bingung harus mulai dari mana. Aku takut tindakan yang kulakukan salah dan akan mencelakaiku.Satu-satunya yang dimiliki ibu adalah aku rasanya tidak mungkin kalau aku abai. Aku pun tidak sudi wanita penggoda itu masuk ke dalam hidupku. Cukup ayah saja yang dihinggapi jangan sampai aku pun terkena racunnya.Aku harus menebus obat yang sudah diresepkan Dokter Fatma aku tidak mau orang-orang di rumah ini curiga padaku. Benar kata Dokter Fatma aku harus hati-hati aku tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Keluarga ini terlalu banyak drama dan bermuka dua.“Mau ke mana, Al. Kamu jalan kok sambil bengong gitu. Lagi mikirin apa sih?” tegur Tante Eni. Aku sudah sampai teras rumah, tapi pikiranku melalang buana.“Mau ke apotek, mau beli obat yang diresepkan dokter, tapi mau minta tolong aja sama Pak Satpam.”“Sini biar Tante aja yang beliin sekalian, Tante
Assalamualaikum my readers 🙏 semoga semuanya dalam keadaan sehat walafiat yaa ... jika ada yang bagus dari cerbung-cerbungku ambil hikmahnya jika tidak maka buang buruknya.Bantu follow akunku ya, like, coment, subs cerbungku, and share 🙏☺️🌸🌸🌸Aku berpikir sejenak. Masa sih, ayah tidak bisa membayar cicilan hutangnya. Apa ayah pernah mengalami kerugian besar? Seingatku ayah selalu menang tender dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini sampai kakek selalu memuji kerja bagus ayah.Kubaca lagi poin ke dua, di sana tertulis pihak pertama meminta ibu sebagai jaminannya jika tidak maka ibu akan menjadi milik pihak pertama dan hutang dianggap lunas.Gila, ini si, human traffic dan korbannya adalah ibuku sendiri. Setega ini ayah demi uang rela menjual istrinya.Poin ke tiga berisi pernyataan bahwa tidak ada paksaan dari pihak mana pun. Dibubuhi tanda tangan ayah, orang yang bernama Pak Yadi dan terakhir tanda tangan ibu di atas materai dan dirangkap dua.Jika ini tidak ada paksaan dari
Assalamualaikum my readers, bantu follow akunku, yuk, biar aku makin tambah semangat nulisnya🙏☺️ Btw jika ada yang baik ambil hikmahnya dan buang buruknya.🌸🌸🌸🌸“Oma, meski aku anak kemarin sore, tapi aku tahu. Ingat ya, Oma, aku ini anak milenial apa pun aku tahu. Beda dengan zamannya Oma dulu, seusiaku mungkin sudah punya anak dan ganti suami dua kali.” Mendengar pernyataanku oma melotot dan menahan marah. Kan, makanya jangan aneh-aneh aku tahu kartu oma. Bahkan aku tahu kalau ayah dan Tante Devi bukan saudara kandung yang memberi tahuku tentu saja ibu dulu sewaktu masih hidup.“Lancang sekali mulutmu itu, Alya!” teriak oma. Kalau sekarang bukan hujan petir pasti semua orang rumah kaget dan terbangun dari mimpi indahnya.“Upps ... maaf ya, Oma. Aku hanya nebak aja kok, kan, rata-rata orang zaman dulu begitu. Senang gonta-ganti pasangan bahkan neneknya temanku nikah lima kali dan anaknya lima dari suami berbeda-beda.” Dada Oma naik turun nafasnya memburu jelas sekali tersinggung
Assalamualaikum everyone ❤️ terima kasih banyak atas supportnya. Bantu follow akunku, like, komen, subs semua cerbungku, and share🙏☺️Kalau ada baiknya ambil hikmahnya dan buang buruknya. Diksi yang aku pakai memang sangat sederhana ya, karena menyesuaikan umur anak SMA kelas X, tapi kalau inti cerita insya Allah benar-benar mengedepankan cerita untuk dikonsumsi oleh kalangan kita para oran tua.🌸🌸🌸 “Ayah?”“Alya, Ayah tidak suka kalau kamu lancang begitu!” tegur ayah.“Ayah, jahat banget password HP pakai diganti segala memang aku lancang bagaimana aku ini kan, anak Ayah? Satu lagi apa maksud Ayah minta aku hapus postingan foto tadi? Apa Ayah malu punya anak aku dan istri seperti Ibu?” kataku mengelak. Untungnya aku masih ingat akun ayah tadi menyuruhku menghapus foto postinganku.“Ayah ... em—itu mungkin salah kirim,” elaknya.“Masa? Ayah sudah mulai bohong, ya? Coba sini mana ponsel Ayah buruan buka,” ujarku sengaja memancing kepanikan ayah karena aku tahu yang mengirim pesan
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak