POV Nindi. “Baik, Non.”“Eh, siapa tuan ganteng? Apa bule Turki itu? Ah, boleh ikutan ke depan enggak?”Aku penasaran juga dengan calon suami Alya. Seganteng apa sampai dia bisa berpaling pada dari Angga.“Enggak usah, nanti kamu jatuh cinta malah repot,” tolak Alya.“Ah, kamu pelit sekali. Tenang saja aku tidak akan merebutnya darimu,” ledekku.“Ayo, kamu berenin dulu itu jilabmu,” titah Alya.Setelah Alya memperkenalkanku pada calon suaminya aku buru-buru ke ruang tengah rebahan seraya berselancar ke dunia maya mencari lowongan kerja.Dari sini terlihat Alya dan calon suaminya yang sedang mengobrol duduk berjauhan. Tadi Alya, bertemu dengan calon suaminya biasa aja tidak ada sesuatu yang memancarkan rona bahagia di wajahnya.Calon suami Alya memang ganteng. Begitulah orang timur tengah perasaanku memang mereka semua memiliki paras rupawan baik laki-laki maupun perempuan dengan ciri khas hidung mereka yang mancung-mancung.Aku seperti tidak asing dengan calon suami Alya, tapi di m
POV Alya. Hari ini setelah sarapan dan memberi amplop satu kardus bekas wadah Indomie pada pak satpam untuk diberikan pada yatim-piatu dan kaum duafa yang datang ke rumah, aku putuskan untuk datang ke apartemen keluarga Hasan.Pagi ini mereka baru datang dari Jawa. Aku tahu dari status Rubi yang diunggahnya 30 menit yang lalu. Aku harus minta penjelasan kepada mereka semua terutama ibunya Hasan. Nyonya besar itu sungguh membuat hatiku geram.“Non, mau ke mana sudah rapi begini?” tanya Mbok.“Mau ke rumah Tuan ganteng, Mbok mau ikut?” tawarku.“Memang boleh ikut, Non?”“Boleh, dong, kalau mau ikut buruan salin aku tunggu ya, Mbok?”“Baik, Non, tapi ....”“Sudah enggak usah tapi-tapian ikut aja. Kalau ada yang menghina Mbok lapor aja padaku nanti aku hajar,” ujarku meyakinkan kekhawatiran Mbok Supi.“Enggak usah heran gitu, Mbok, aku ini jago silat loh, sewaktu muda dulu selalu ikut lomba dan menang itu piala dan piagamnya berjejer di lemari. Ketahuan nih, Mbok enggak pernah bersihin
“Em, MasyaAllah ini enak banget loh, kamu pinter bikin skubalnya,” puji bundanya Angga. Aku dan Mbok hanya senyum-senyum saja.“Coba icip, Bund.” Nisa minta di suapin bundanya.“Mantap, Kak Alya. The best!” ujar Nisa mengacungkan dua jempol tangannya padaku.“Terima kasih. Tambah lagi ya,” tawarku.“Beb, mau makan nasi apa skubal?” tanya Nisa pada suaminya.“Skubal aja, tadi kan, udah makan nasi di rumah. Angga makan apa? Kok diem aja? Emang kenyang makan angin?” goda suami Nisa. Angga menghela nafas.“Aku belum diambilin, jadi belum ada yang bisa kumakan,” jawabnya.“Kakak mau apa? Aku ambilin sini piringnya.” Nisa sigap mengambil piring Angga.“Enggak usah! Kamu ambilin suamimu aja. Lagi pula diambilin makan sama kamu udah biasa. Aku mau diambilin sama tuan rumah,” jawab Angga seraya memberikan piringnya padaku.Huh, modus! Kalau tidak ada keluarganya sudah kujitak dia.“Ambilin ....” ucap Angga lagi. Aku melotot padanya. Angga justru mengedipkan matanya.Astaghfirullah ... buru-bur
[Al, nanti sore aku ke rumah. Kamu jangan ke mana-mana dulu, ya?]Aneh. Biasanya juga tidak begitu. Aku memilih untuk tidak membalasnya. Perasaanku masih kacau dan emosi jika berhadapan dengannya. Awas kau Hasan! Sebelum kamu sampai sini aku akan ke rumahmu terlebih dahulu.“Bund, yuk, cus hari sudah makin siang,” ajak Nisa. Kulihat jam di ponselku ternyata memang sudah siang hampir Zuhur.“Apa enggak sebaiknya salat Zuhur dulu, Tan?” tawarku basa-basi. Sejujurnya aku takut tawaranku diiyakan. Aku sudah ingin segera sampai ke tempat Hasan.“Tidak, Kak, makasih. Takut ke sorean juga. Ngomong-ngomong makasih ya, Kak. Maaf banget nih, kami merepotkan. Apa lagi ini nih, si tukang ngerampok!” Tunjuk Nisa pada Angga.“Tidak repot kok, Alhamdulillah aku malah senang banget bisa menyambut kalian.”“Ah, pokoknya makasih, ya, Kak. Kalau nikah undang aku, ya?” pinta Nisa. Aku mengangguk saja.“Kamu hati-hati di rumah, kalau pulang kampung salam untuk kakek dan nenekmu ya, Nak?”“Iya Tan, insya A
Ayah Hasan masuk ke kamar merebut ponselku lalu mengumpat dengan menggunakan bahasa Turki. Beliau benar-benar marah.“Rubi, telepon Hasan suruh pulang sekarang!” titah ayahnya.“Tolong Yah, Bu, jelaskan kepadaku apa yang sebenarnya terjadi? Kalian tahu wanita itu sangat murka padaku. Dia menganggap aku sudah merebut Hasan darinya. Dia menudingku pelakor,” kataku lagi.“Semua ini salah Ibu, Al. Tapi, Ibu tidak menyangka kalau mereka masih berhubungan bahkan sampai menikah dan punya anak. Lalu membawa perempuannya itu ikut ke sini. Ibu tidak tahu. Percayalah perempuan itu hanya berbohong padamu,” jelas ibunya Hasan disela Isak tangisnya.“Kini aku tahu maksud Hasan membelikanku cincin untuk kupakai di jari kiriku. Cincin ini sama persis dengan cincin yang dipakai wanita itu. Jadi di sini siapa yang berbohong? Ibu atau Hasan?, Atau kalian semua telah membohongiku?”“Tidak dijawab, Yah,” ujar Rubi.“Telepon pakai HP Ayah!” Rubi gegas mengambil ponsel ayahnya Hasan dan meneleponnya.Hingga
🌸🌸🌸“Maafkan aku, Bu, kita tidak ditakdirkan berjodoh insya Allah kita tetap ditakdirkan untuk menjadi keluarga. Aku tidak menjauhi Ibu dan keluarga ini. Aku tetap akan menjalin silaturahmi ini.” Kupaksakan tersenyum semanis mungkin di hadapan mereka. Jujur hatiku sakit sekali karena sudah dibohongi Hasan, tapi ada perasaan lega.Ibunya Hasan tidak berkata apa pun beliau memandangku dengan linangan air mata. Ayahnya pun demikian.“Dikira jagoan kali dengan bangga balikin cincin pertunangannya awas aja kalau menyesal. Kita belum dengar penjelasan Hasan, bisa jadi perempuan ini sengaja mencari alasan karena sudah ada pria idaman lain di hatinya,” ejek kakak ipar Hasan.“Aku memang bukan jagoan Kak, aku hanya mengembalikan yang semestinya memang bukan milikku. Aku tidak akan pernah menyesal atas semua keputusan yang aku buat dalam hidupku. Hubungan ini sudah beracun Kak, mana mungkin aku bisa menjalaninya jika racun itu lama-lama menggerogoti jiwaku,” sahutku sesantai mungkin.Ini per
“Panggil bantuan!” pinta Hasan. Dengan gemetaran Rubi menelepon entah siapa. Ah, apa peduliku yang penting sekarang aku istirahat sebentar untuk merilekskan otot-ototku yang baru saja aku paksa kerja berat.“Hasan, hubungan kita sudah selesai. Cincin yang kamu sematkan di jari kiriku sudah aku kembalikan pada ibumu. Jadi, tolong jangan pernah lagi hubungi aku untuk membahas hal-hal yang tidak perlu dibahas. Bagiku semua sudah jelas dan aku menolakmu secara terang-terangan. Satu lagi, jangan ada yang bawa-bawa ataupun menyalahkan Lusi dan calon suaminya mereka tidak ada hubungannya sama sekali. Aku lebih kenal mereka terlebih dahulu sebelum mengenalmu. Terima kasih Hasan untuk semuanya. Aku doakan semoga keluarga kecilmu bahagia selalu. Jangan kamu ulangi kesalahanmu pada perempuan lain. Cukup aku saja yang merasakan ini semua. Well, karena ini masih hari raya. Sekali lagi aku mohon maaf lahir batin. Besok atau lusa waliku akan ke sini mengantar semua barang-barang yang sudah kamu ber
“An—dai Ibu jujur dari awal, pasti ini tidak akan terjadi. Apa yang harus kulakukan, Bu? Tolong katakan,” ujar Hasan.Ck, begitu saja tidak tahu dasar laki-laki lemah!“Sini kukasih tahu, Hasan! Yang harus kamu lakukan meski kamu tahu yang sebenarnya kamu tetap harus bertanggung jawab pada istrimu itu. Apalagi kalian sudah punya anak. Dasar lemah, begitu saja pakai tanya!” hardikku.“Ta—pi, aku menyakiti Ibuku,” lirihnya.“Menyakiti atau tidak kamu harus tetap bertanggung jawab. Kamu tahu, kan, laki-laki itu yang dipegang omongannya. Apa kamu mau pergi dari perempuan itu setelah tahu yang sebenarnya? Gila kamu!” umpatku kesal. Rasanya inginku layangkan lagi tinjuan mautku padanya.“Kak, tolong jangan kasar lagi pada kakakku, kasihan dia,” pinta Rubi, sepertinya dia punya feeling aku akan memukul Hasan lagi.“Benar yang dikatakan Alya. Seberapa pun sakitnya Ibu, kamu harus tetap bertanggung jawab pada anak dan istrimu, tapi ingat Hasan jangan kau injakan kakimu lagi di rumah Ibu,” sahu