“Tapi, bagaimana bisa?” Aku yakin Lusi dan calon suaminya merasa sangat tidak enak karena mereka yang memperkenalkan kami berdua.“Jangankan kamu yang hanya saudara, ibu kandung dan keluarga inti saja tidak ada yang tahu.”“Alya, serius?”“Kalau tidak serius mana mungkin aku menghajar dia sampai sekarat begitu?”Calon suami Lusi masuk ke IGD dia membentak Hasan dan memukulinya lagi. Suster dan dokter yang menangani Hasan panik hingga security mengusirnya.“Kalau tidak di rumah sakit sudah kuhajar habis-habisan dia! Sorry Al,” ucap calon suami Lusi.“Maaf, Al. Aku tidak tahu,” ucap Lusi.“Sudah terjadi dan aku baik-baik saja, Lus. Tidak usah khawatir begitu.” Kupasang senyum semanis mungkin untuk menunjukkan padanya bahwa aku baik-baik saja.“Lalu?”“Lalu semua selesai. Aku sudah katakan baik-baik pada ke dua orang tua Hasan,” jelasku.Lusi kaget.“Semua baik-baik saja, Lus. Sudahlah jangan terlalu menghawatirkanku begitu. Hubungan ini terjalin terlalu cepat. Ini sudah jalan yang terba
🌸🌸🌸POV Nindi.Aku tersenyum puas karena sudah berhasil membuat Hasan calon suami Alya k.o. jadi begini ya, rasanya bisa menghajar laki-laki yang akan menyakiti saudara kita.Alya harus tahu, kalau tidak dia bisa terjebak dalam pernikahan yang salah. Kasihan, gadis sebaik Alya jika bersuamikan Hasan.Wajah tampan tidak menjamin semuanya, buktinya Hasan. Dia tampan, kaya, tapi ternyata sama saja memiliki sifat kebanyakan lelaki di dunia ini. Bermuka dua.Aku heran kenapa Alya mau dengan laki-laki seperti Hasan. Apa dia tidak tahu Hasan sebelumnya. Bukankah mereka sama-sama dari timur tengah?Kukira tadinya mereka adalah teman satu kampus atau setidaknya sudah kenal cukup lama. Kalau begini yang dirugikan jelas Alya. Aku sungguh tidak ikhlas jika Alya bersama Hasan.Satu lagi Angga harus tahu. Dia cinta mati pada Alya, aku yakin Angga akan senang mendapat kabar gembira ini. Sayangnya aku tidak punya nomor HP Angga ataupun Alya. Ah, aku jadi menyesal, kenapa kemarin aku tidak member
POV Nindi.“Eh, iya, yuk!”Di jalan Bulek Siska terlibat obrolan sengit dengan mamah hanya karena berdebat papah suka makan apa.Tunggu dulu, kok, Bulek tahu betul kesukaan papah, ya? Apa ini hanya suatu kebetulan saja? Karena Bulek Siska sudah ikut papah lama jadi sangat paham. Mamah saja sebagai istrinya bisa salah dan memang seingatku papah sukanya sambal balado ikan tuna. Ini mamah bilangnya balado telur, kan, jauh banget.“Sudah, lah, Mah, Bulek, enggak usah berdebat gitu. Kan, Papah itu suaminya Mamah jelas Mamah yang lebih tahu. Enggak enak sama pak sopir kalau ribut begitu,” kataku menengahi meski aku tahu mamah salah. Aku malu pada sopir karena mereka debatnya dengan suara yang kuat. Terlebih mamah seperti kerasukan setan padahal hanya masalah sepele saja.“Nah, kan, benar kata anakku. Enggak usah sok, tahu kamu, Sis! Aku sudah menikah dengan papahnya Nindi puluhan tahun, jadi aku sangat paham,” ucap mamah merasa senang karena sudah kubela.“Terserah Mbak saja, dikasih tahu
POV Nindi. Kubaca sekali lagi WA dari papah. Memang pesan ini bertujuan baik untuk membantu kesusahan orang lain, tapi mamah paling tidak bisa diancam begini. Mamah bisa langsung depresi.Kasihan mamahku. Pasti mamah merasa sangat sedih karena baru bertemu suaminya dua hari, tapi sudah diancam begitu.“Maaah, sudah ya, jangan sedih. Nanti aku kasih uangnya ke Bulek Siska,” kataku terpaksa berbohong untuk menenangkan hati mamah.“Beneran, Nind?” Aku mengangguk.“Mamah tidak mau ditinggal papahmu lagi. Mamah takut kehilangan papahmu,” ujar mamah seraya memelukku.“Iya, Mah. Aku juga tidak mau Papah pergi lagi. Sekarang kita tidur, yuk? Besok kuajak mamah ke makam Oma. Pasti Mamah juga kangen kan, sama Oma?” Mamah mengangguk setuju.Alhamdulillah ... biasanya mamah akan sulit sekali jika dibujuk, tapi kali ini tidak dan aku bersyukur. Semoga mamah cepat sembuh. Aku akan beri tahu papah keadaan mamah yang sebenarnya agar papah tidak semena-mena pada mamah.Kuantar mamah ke peraduannya.
POV Nindi. “Kirain karena ada maunya doang Papah ngomong begitu.”“Enggak, dong, Nak. Papah ngomong dari dasar hati Papah.”Papah kemudian menyenggol lengan mamah.“Nindi .... uang untuk bulekmu Siska sudah kamu siapin, Nak?” tanya mamah.“Belum Mah, nanti aku ke ATM dulu. Bulek, kan, bisa jual gelang itu,” kataku santai. Kutunjuk gelang emas di lengan kiri bulek Siska.“Ja—ngan ini Emas Bulek dapat hadiah dari suami Bulek untuk kenang-kenangan. Kalau dijual nanti bagaimana?”“Ya, enggak gimana- gimana lah, Bulek. Kan, untuk berobat anaknya biar cepat sembuh. Pasti almarhum suami Bulek juga bakalan ridho kecuali kalau Queen bukan anak Bulek sama suami Bulek baru deh, suami Bulek enggak ridho,” jawabku.Sudah kuduga Bulek Siska dan papah langsung gelisah. Mereka saling curi- ciri pandang.“Nin, kalau ngomong jangan sembarangan begitu. Enggak baik,” sahut papah.“Aku kan, hanya menebak saja, Pah. Oh, iya, minta uang dong, Pah. Aku pingin beli jajan,” kataku seraya menengadahkan tangan
Assalamualaikum selamat pagi semua ... Yuk, bantu follow akunku. Happy reading everyone ❤️POV Nindi.Papah menghampiriku ke kamar dan berusaha masuk, tapi tidak bisa karena sudah aku kunci.Ya Allah, aku kecewa dan sedih sekali. Apakah ini karma untukku karena aku dulu merusak rumah tangga orang lain? Tapi, kenapa harus mamahku? Kasihan mamah sudahlah tidak waras ditambah suami main selingkuh dan malam ini harus menjaga anak dari selingkuhan yang sedang sakit.Aku terlelap hingga subuh baru bangun.Setelah melaksanakan salat subuh aku berencana untuk menjemput mamah. Tak tega rasanya lama-lama membiarkan mamah ada di rumah sakit.Ketika aku melewati dapur aku lihat Bulek Siska sudah selesai masak dan berbagai menu makanan sudah terhidang di meja. Tumben sekali. Pasti dia mau mengambil hati mamah. Papah tidak ada pasti sudah kembali ke rumah sakit semalam.Rasanya aku jijik sekali menatap Bulek Siska, meski beliau berusaha untuk ramah padaku.Dasar tidak tahu malu. Bisa-bisanya sika
“Oh, iya, Pah, enggak apa-apa. Semoga Papah cepat dapat kerjaan, ya? Biar enggak jadi parasit terus. Tenang saja masih ada nanti malam ataupun besok ketemu Raranya karena dia mau menginap untuk beberapa hari di sini,” kataku santai sambil kunikmati sayur lodeh masakan Bulek Siska yang rasanya hambar ini.“Apa!” teriak papah dan bulek hampir bersamaan.“Biasa aja kali, Pah, Bulek, enggak usah kaget gitu. Kan, cuma menginap beberapa hari aja,” kataku lagi.“Rara siapa sih, Nin” tanya mamah sepertinya mamah pun penasaran.“Rara sepupuku yang di kampung, Mah, anaknya Tante Vita, adiknya Papah. Mamah pasti lupa, ya?” jelasku.“Iya, beneran Mamah lupa, Nin. Jadi, penasaran mungkin kalau lihat wajahnya Mamah jadi ingat,” sahut mamah lagi.“Kalau begitu nanti aku menginap di rumah sakit saja, kan, Rara mau menginap di sini nanti enggak ada kamar,” ujar Bulek Siska berusaha menghindar.“Iya, terserah Bulek aja. Lagi pula Rara nanti memang mau minta diantarr ke rumah sakit. Dia juga pingin jen
POV Nindi.“Wah, ternyata aku enggak salah. Aku sering lewat sini tahu, Kak. Di gang depan situ rumah teman kerjaku,” celoteh Rasa seraya melepaskan helmnya.“Ini yang namanya Rara?” tanya mamah dari pintu. Kami mengangguk bersamaan.“Rasnya Tante juga pernah lihat kamu, tapi di mana?” ucap Mamah.“Ya, pernahlah, Mah, ini kan, Rara anaknya Tante Vita adiknya Papah,” jawabku. Mamah beroh ria.“Mas! Sini ada keponakanmu datang ini!” teriak mamah memanggil papah.“Kita masuk dulu, yuk! Silakan duduk. Tunggu ya, aku ambil minum.” Rara mengiyakan.“Pah, kok, diam di sini aja, ayo, keluar itu ada Rara loh!” ajakku. Papah hanya diam. Saat aku kembali papah sudah tidak ada begitu pun dengan Bulek Siska.Ah, biar saja. Mau kabur ke mana pun kedok mereka tetap akan terbongkar.Kami ngobrol cukup serius dengan Rara. Apalagi saat Rara menceritakan tragedi kecelakaan kakek dan juga suami Bulek Siska. Mamah berkali-kali memegangi kepalanya. Aku tahu Mamah sedang pusing mencerna setiap pembicaraan k
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak