“Oh, iya, Pah, enggak apa-apa. Semoga Papah cepat dapat kerjaan, ya? Biar enggak jadi parasit terus. Tenang saja masih ada nanti malam ataupun besok ketemu Raranya karena dia mau menginap untuk beberapa hari di sini,” kataku santai sambil kunikmati sayur lodeh masakan Bulek Siska yang rasanya hambar ini.“Apa!” teriak papah dan bulek hampir bersamaan.“Biasa aja kali, Pah, Bulek, enggak usah kaget gitu. Kan, cuma menginap beberapa hari aja,” kataku lagi.“Rara siapa sih, Nin” tanya mamah sepertinya mamah pun penasaran.“Rara sepupuku yang di kampung, Mah, anaknya Tante Vita, adiknya Papah. Mamah pasti lupa, ya?” jelasku.“Iya, beneran Mamah lupa, Nin. Jadi, penasaran mungkin kalau lihat wajahnya Mamah jadi ingat,” sahut mamah lagi.“Kalau begitu nanti aku menginap di rumah sakit saja, kan, Rara mau menginap di sini nanti enggak ada kamar,” ujar Bulek Siska berusaha menghindar.“Iya, terserah Bulek aja. Lagi pula Rara nanti memang mau minta diantarr ke rumah sakit. Dia juga pingin jen
POV Nindi.“Wah, ternyata aku enggak salah. Aku sering lewat sini tahu, Kak. Di gang depan situ rumah teman kerjaku,” celoteh Rasa seraya melepaskan helmnya.“Ini yang namanya Rara?” tanya mamah dari pintu. Kami mengangguk bersamaan.“Rasnya Tante juga pernah lihat kamu, tapi di mana?” ucap Mamah.“Ya, pernahlah, Mah, ini kan, Rara anaknya Tante Vita adiknya Papah,” jawabku. Mamah beroh ria.“Mas! Sini ada keponakanmu datang ini!” teriak mamah memanggil papah.“Kita masuk dulu, yuk! Silakan duduk. Tunggu ya, aku ambil minum.” Rara mengiyakan.“Pah, kok, diam di sini aja, ayo, keluar itu ada Rara loh!” ajakku. Papah hanya diam. Saat aku kembali papah sudah tidak ada begitu pun dengan Bulek Siska.Ah, biar saja. Mau kabur ke mana pun kedok mereka tetap akan terbongkar.Kami ngobrol cukup serius dengan Rara. Apalagi saat Rara menceritakan tragedi kecelakaan kakek dan juga suami Bulek Siska. Mamah berkali-kali memegangi kepalanya. Aku tahu Mamah sedang pusing mencerna setiap pembicaraan k
🌸🌸🌸POV ANGGASeiring berjalannya waktu aku mulai menyadari bahwa apa pun yang kita perbuat di masa lalu akan berpengaruh pada kehidupan sekarang.Aku telah menyesali semuanya. Wanita yang kucintai kini terbang seorang diri menerjang pekatnya awan dan ganasnya angin malam.Aku yang egois karena tidak langsung menariknya dari keterpurukan merasa sangat menyesal kini dan mungkin seumur hidupku.Dulu, 4 tahun yang lalu, ketika aku tahu kabar bahwa dia, wanita yang teramat kucintai gagal membina mahligai rumah tangganya bersorak bahagia satu kata yang terlontar dari mulutku waktu itu “KAPOK!” dan aku mengecamnya bahwa itu sebagai balasan karena telah menolakku, memporak-porandakan hatiku.Aku merasa menang ... aku merasa Alya memang pantas mendapatkan itu semua agar dia tahu betapa sakitnya ditolak. Apalagi setelah mendengar cerita semuanya tentang pria itu dari sahabatnya sendiri aku benar-benar merasa puas. Salah pilih dan hampir dijadikan yang ke dua membuatku merasa akulah sebaik-
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo