POV Alya. Dulu dia bilang padaku akan cari suami Soleh anak Kiyai makanya dia enggak mau pacaran dan memutuskan untuk mondok sejak lulus SD. Usianya denganku terpaut 4 tahun kami ngobrol kalau dia pulang dari pondok dan diejek oleh Angga gadis tak laku.Kami berjalan melewati Angga dan teman-temannya. Perempuan itu ih, kenapa selalu nempel pada Angga? Apa Angga tidak risih ya, atau malah kesenengan?“Hallo Mom, who is she? Adiknya Angga, ya?” sapa teman Angga. Bule, bicara bahasa Indonesianya kurang lancar.“Bukan, Mic, ini anak tetangga. Adik Angga sudah menikah. Ini suaminya,” jawab bundanya Angga.“Kenalin, ke kita dong, Tan,” sahut teman Angga yang lain.“Wah, lu, kalau lihat yang bening aja langsung gesit!”Aku lebih memilih diam dan ikut bundanya Angga ke dalam.“Teman-teman Angga datang semua, Tan?”“Iya, yang tinggal di Indonesia. Itu ada yang dari Surabaya, Jakarta, Malang, Aceh, mereka datang tadi pagi, sendang Mic, tadi siang,” jelas beliau.“Nah, kamu salat di dalam aja e
POV Alya.Kuputuskan menghubungi nomor Hasan. Tersambung, tapi tidak dijawab. Aku kok, jadi berasa mengejar-ngejar cinta Hasan gini, ya?[Hasan, sorry aku ganggu kamu. Ini kulakukan atas permintaan nenekku. Kata beliau kenapa kamu tidak datang. Hasan aku tegaskan padamu ya, jangan kira kamu sangat kucintai jadi sikapmu seenak sendiri padaku.] Terkirim dan langsung terbaca.[Maaf Al, aku bukan bermaksud begitu. Sore ini aku datang ke rumahmu. Insya Allah.][Ya.] jawabku singkat.Setelah bersiap aku ke rumah Nindi rasanya deg-degan sekaligus bahagia akan mengunjunginya.Mungkin Nindi tidak datang ke rumahku sewaktu kuundang karena dia sungkan pada keluargaku. Aku tidak boleh suudzhon padanya. Dia sudah berubah begitu pun aku sangat bahagia. Nindi sekarang berbeda sekali dengan Nindi yang dulu.Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga.Rumah Nindi kosong pintunya tertutup dia ada di mana?“Bu, persmisi, Nindi dan keluarga apa pulang kampung ya, kok, tutup rumahnya?” tanyaku pada tet
POV NINDI“Mas, siapa perempuan ini? Kenapa ada bersama kamu?” tanya mamah lagi.“Kalian lupa? Ini Bulek Siska sepupu Papah dan ini anaknya,” jawab papah.Dulu Bulek Siska tidak seglowing dan semodis sekarang. Makanya aku pangling padanya. Yang kuingat tahi lalat di dagunya.Mungkin mamah lupa, tapi tidak bagiku. Aku menyimpan kenangan buruk tentang Bulek Siska.Bulek Siska dulu menolak kami mentah-mentah saat kami izin mau tinggal di kampung papah bahkan mengusir kami.Dulu begitu aku keluar dari rumah sakit dan Alya bilang padaku untuk tidak kembali ke rumahnya. Langkah pertama yang kulakukan adalah pulang kampung. Saat itu aku merasa jika pulang kampung uang yang kudapatkan bisa untuk beli rumah dan sisa banyak masuk ke tabungan, tapi ternyata salah. Kami ditolak mentah-mentah.Karena mendapat penolakan di mana-mana dan merasa sendiri lontang lantung mamah jadi begini. Depresi berat.“Iya, Mbak, aku Siska masa lupa. Aku ikut Mas Is ke sini mau lebaran di sini.”“Is? Kok nama kamu
POV NINDI. “Benar, hanya Bapak mertua yang menginginkan kami untuk tetap tinggal. Aku masih ingat betul Bapak memeluk Nindi begitu erat.” “Tidak hanya itu Kakek juga memberiku uang saku. Uang itulah yang kami gunakan untuk ongkos mobil dan kembali ke kota ini.” “Sudahlah, Nak, yang penting Kita sekarang sudah berkumpul semua. Papah sangat bahagia,” ucap papah lagi seraya mencium punggung tangan mamah dengan mesra. Mamah pun tersenyum manis menatap papah penuh cinta. Penantian mamah selama tujuh tahun tidak sia-sia. Syukurku hari ini tiada tara. Keluarga kecilku yang telah terpisah selama 7 tahun bisa utuh kembali. Semoga dengan ini mamah bisa kembali seperti sedia kala dan tidak lagi terpuruk dalam kesedihan. “Boleh Papah nambah lagi nasinya?” “Kenapa izin segala. Makanlah yang banyak, Pah,” jawabku terharu. “Ini adalah makanan terlezat yang Papah makan selama keluar dari penjara,” ujar papah lagi. Hatiku mencelos ternyata bukan kami saja yang susah papah pun susah. Pantas sa
POV Nindi. “Nind, kasih selimut bulekmu kasihan dia kan, ada anak kecil,” titah papah. Gegas aku mengambil selimut dan menyusul Bulek Siska di kamarnya.“Bulek boleh aku masuk? Ini aku bawakan selimut,” tanyaku seraya mengetuk pintu hatiku masih dongkol.“Masuk aja, Nind. Enggak dikunci.”“Ini selimutnya. Anak Bulek namanya siapa? Sepertinya sedang sakit ya, sejak datang tadi hanya sebentar saja bangun dari tidurnya?”Memang sekilas anak kecil ini tidak terlihat sakit, tapi jika diperhatikan dia tidak seperti anak-anak pada umumnya. Kulitnya bercak-bercak putih seperti panu tapi lebih lebar-lebar sudah gitu bentuk wajahnya sedikit aneh.“Namanya Queen. Iya, memang sedang sakit, Nind . Queen punya kelainan mental sejak lahir ditambah dia sakit lupus. Bulek benar-benar sedih makanya Bulek mau nekat kerja untuk membiayai pengobatannya.”“Sudah dibawa berobat, Bulek?”“Sudah tidak kurang-kurang lagi berobatnya, Nind. Entahlah mungkin ini ujian hidup yang harus Bulek jalani,” jawab Bule
POV NINDI. “Terpenting itu halalnya ya, to? Kerja keliatannya saja enak, tapi enggak halal ya enggak bakalan kaya. Hidupnya begitu-begitu saja,” sahut Makwo lagi.Semua diam. Pasti mereka merasa tertampar dengan ucapan Makwo.“Mari semua mampir. Nanti aku kasih THR. Biasalah hasil kirimin dari anak menantu yang jadi babu di negeri orang. Kalian tahu? Kemarin anakku baru saja kasih transfer 3 juta rupiah khusus untuk THR anak-anak kecil yang datang ke rumahku. Monggo ....”“Iya, Makwo nanti aku main, aku masih dapat THR kan?” jawabku.“Masih, spesial untuk orang baik seperti Nak Nindi THR-nya paling banyak.”“Wah, makasih ya, Makwo. Oh iya, Ibu-ibu mari mampir. Aku juga ada bagi-bagi THR loh!” Bukannya menjawab ajakanku mereka semua melengos pergi begitu saja.Astaghfirullah ... lebaran kok, gini amat ya ....Sampai dalam rumah aku kaget karena kue yang tadi pagi masih tertata rapi berserakan di mana-mana.Dari kamar belakang terdengar lengkingan tangisan anak Bulek Siska. Mamah juga
POV Nindi.🌸🌸🌸“Kalau terjadi sesuatu pada Queen aku tidak akan tinggal diam! Kamu harus bertanggung jawab!” ucap Bulek Siska pada mamah penuh penekanan. Mamah sampai ketakutan.“Apaan sih, kamu Sis!” bentak papah dan mendorong tubuh Bulek Siska hingga dia mengaduh kesakitan.“Kalau terjadi sesuatu pada Mamah orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah Papah dan aku tidak segan-segan akan lapor polisi atas tindakan KDRT yang Papah lakukan!” Ancamku papah hanya melongo saja lalu mengacak rambutnya.“Sayang, maafkan aku. Tadi aku benar-benar khilaf. Aku benar-benar ketakutan kalau terjadi sesuatu pada Queen maka kamu yang akan disalahkan dan aku tidak terima itu,” ucap papah seraya berjongkok di depan mamah.Mamah melihat ke arahku begitu juga papah. Aku segera buang muka. Malas lihatnya.“I—ya, Mas, aku maafin kamu, tapi jangan pukuli aku lagi, ya?” jawab mamah. Kemudian mereka saling berpelukan.Tak lama kemudian dokter memanggil kami.“Pasien perlu dirawat karena keadaan cuk
POV Nindi.Senang papah mau berbaur dengan warga sini dan takut identitas papah akan diketahui dan pada akhirnya kami kembali dikucilkan.“Mah, Pah, aku pergi dulu ya, mau ke rumah teman.”“Jangan pulang malam-malam ya, Nind. Nanti Mamah beliin Boba, ya?”“Siap, Mah.” Kulihat papah sedikit heran dengan tingkah mamah. Ah, papahku memang belum tahu kondisi mamah sebenarnya. Nanti akan aku jelaskan kalau sampai satu minggu ke depan setelah kehadiran papah, mamah belum juga ada perubahan.Jalanan kota sangat lenggang ini memudahkanku untuk segera sampai rumah Alya dengan cepat.Rumah Alya tampak ramai. Dulu pun selalu ramai bukan karena banyak tetangga yang berkunjung, tapi karena tamu-tamu istimewa dari berbagai panti asuhan yatim piatu dan juga kaum duafa. Orang di perumahan ini jika hari raya tiba rata-rata pulang kampung semua.Pak Satpam yang melihat kehadiranku terkejut. Beliau sampai ternganga. Kuanggukan kepala dan tersenyum ramah padanya.“Non, Nindi kan, ya?”“Iya, Pak, benar. A