Ternyata sikap Bu Bidan dan keluarganya benar-benar membekas di hati mamahku. Bahkan jika aku masak enak mamah akan mengingatkan untuk memberi Bu bidan padahal hanya menu ayam kecap.Ya, sekarang menu ayam kecap menjadi sesuatu yang spesial bagi kami. Itu pun masak tidak setiap hari jika ada kiriman sembako dari Alya atau pas dapat kiriman panen sawitku.Sawahku satu tahun, dua kali panen dan itu aku jual semua uangnya aku tabung. Sawitku memang dapat kiriman setiap bulan, tapi aku pun harus pandai menyimpan uangnya aku takut jika terjadi sesuatu di kemudian hari setidaknya aku punya tabungan.“Nin, ditanya malah bengong lagi, tamu spesial siapa? Pasti Bu Bidan, kan? Kalau iya, Mamah mau bikin status biar semua orang tahu,” ucap mamah seraya tersenyum penuh arti. Ah, mamahku masih saja berharap jadi mertua abdi negara. Andai mamah ingat kejadian semalam tentu tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.“Bukan, Mah, ini lebih spesial,” jawabku sengaja membuat mamah penasaran.“Siapa, Ni
“Wah, kalau kadung rajin sudah tengah bolong begini masih mau bersihin halaman rumah, coba kalau stresnya kumat jam segini masih molor,” ucap seseorang entah siapa.Takut terjadi sesuatu aku segera ke depan. Ternyata Bu Sri tetangga belakang rumahku.“Ada apa ya, Bu Sri?” tegurku.“Eh, Nindi, enggak ada apa-apa tumben banget ini mamahmu rajin?”“Harus rajin Bu, kan, bentar lagi lebaran,” jawabku.“Iya, lagi pula mau ada tamu spesial datang. Suamiku mau pulang, Bu,” sahut mamah.Kulihat Bu Sri mengerutkan keningnya. Pasti beliau heran karena setahu warga di sini mamahku janda.“Benar, Nin? Bukannya kamu anak yatim, ya?”“Benar, Bu Sri. Papahku besok mau pulang.”“Memang papahmu dari mana?” Jiwa keponya mulai meronta sampai-sampai beliau duduk di teras rumahku.Aku takut sekali mamah jujur. Bisa-bisa suumur hidup bakalan dibuli karena status papahku.“Papahku jadi TKI di Malaysia, Bu Sri,” jawabku berbohong. Mamah hanya menoleh saja dan kembali fokus pada bunga warna-warni di depannya.
Sore ini juga spesial karena untuk pertama kalinya mamah mau ke luar rumah. Kulihat ekspresi wajah mamah lewat spion. Senyumnya merekah matanya berbinar.“Ramai sekali ya, Nin.”“Iya, Mah memang ramai terus. Mamah mau belanja apa? Kita beli, yuk?”“Enggak pingin apa-apa, Nin. Mamah mau beli kue aja untuk lebaran besok.”“Ya, sudah, yuk. Di situ aja, ya? Kita belum mandi kalau ke mol malu.” Mamah terkekeh.Swalayan pun penuh berdesakan, tapi tidak menyurutkan niat kami terutama mamah untuk membeli yang diinginkannya.“Beli kuenya yang enak, Mah. Jangan yang murahan itu.”“Ini aja, Nak, sekalian sirup sama minuman sodanya ya. Papah kamu suka sekali minum ini.” Tunjuk Mamah pada merk minuman bersoda.“Ambil semua yang Mamah mau.”“Tapi, apa punya uang untuk bayarnya Nin? Ini semua bisa 500 ribu rupiah, loh.”“Ada insya Allah untuk Mamah sama Papah ada. Kan, kita enggak belanja tiap hari, Mah.”“Kalau begitu nanti pulangnya kita mampir ke toko baju N*br*s ya, mau beliin Koko untuk Papah
Assalamualaikum selamat pagi semua. Yuk, bantu follow akunku.🌸🌸🌸POV ALYA.“Al, ada Angga di depan.”“Iya, bentar Tan.” Kuakhiri panggilan telepon bersama Lusi. Aku merasa ada yang tidak beres pada Hasan jadi aku berupaya untuk mencari tahu. Sayangnya Lusi pun tidak tahu apa-apa, tapi dia berjanji akan bantu sebisanya. Dia akan mencari tahu lewat calon suaminya.“Angga, kok, gasik banget si, jemputnya. Aku masih pewe ni.”“Bunda yang suruh,” jawab Angga tanpa menoleh. Tangan dan matanya fokus pada benda pipih di tangannya senyumnya pun mengembang.“Tunggu ya, Angga, aku mandi dulu.”“Iya.”Kenapa aku merasa semua laki-laki hari ini berbeda, ya? Apa aku yang terlalu baper.“Yuk, berangkat!”“Ayok!” Angga jalan duluan. Tumben sekali biasanya dia akan tanya kenapa cepat, kenapa lama, kenapa baru mandi dll. Ini enggak.“Pamit ya, Tan?” Kusalami Tante Eni yang sedang asyik nonton drakor.“Iya, hati-hati. Eh, kenapa lesu begitu?”“Enggak kenapa-napa, Tan.”“Kamu sakit?” Aku menggeleng.
POV Alya.Jiwa julidku seketika meronta-ronta. Puasa kok, gandengan tangan bukan muhrim begitu yang ada puasanya batal. Bukan dapat pahala yang ada malahan berdosa.Segera kuambil ponselku dari dalam tas untuk bercermin.Kukerjapkan mataku berkali-kali. Ini kenapa mataku juga tidak bisa diajak kompromi. Tiba-tiba melow gini.Suasana yang tadinya hangat, penuh kegembiraan tiba-tiba kurasakan sangat menyesakkan dada.Hawa panas pun langsung menguar begitu saja. Sampai keningku berkeringat.“Waah, jamnya bagus, deh! Cocok couple gitu. Pasti beli di Ausi kemarin , ya?” Entah itu siapa yang jelas mereka kenal Angga dan calon istrinya.“Iya, ini sengaja kubeli kemarin spesial untuk kami berdua.”Oh, aku paham sekarang. Jadi perempuan yang bersama Angga sama-sama kuliah di sana. Pantes sudah seakrab itu.“Angga kayaknya enggak suka dia diam saja,” celetuk yang lain.“Suka lah, siapa bilang enggak suka. Aku lagi sariawan jadi irit bicara,” jawab Angga dengan senyum dipaksakan kemudian meliri
POV Alya. Dulu dia bilang padaku akan cari suami Soleh anak Kiyai makanya dia enggak mau pacaran dan memutuskan untuk mondok sejak lulus SD. Usianya denganku terpaut 4 tahun kami ngobrol kalau dia pulang dari pondok dan diejek oleh Angga gadis tak laku.Kami berjalan melewati Angga dan teman-temannya. Perempuan itu ih, kenapa selalu nempel pada Angga? Apa Angga tidak risih ya, atau malah kesenengan?“Hallo Mom, who is she? Adiknya Angga, ya?” sapa teman Angga. Bule, bicara bahasa Indonesianya kurang lancar.“Bukan, Mic, ini anak tetangga. Adik Angga sudah menikah. Ini suaminya,” jawab bundanya Angga.“Kenalin, ke kita dong, Tan,” sahut teman Angga yang lain.“Wah, lu, kalau lihat yang bening aja langsung gesit!”Aku lebih memilih diam dan ikut bundanya Angga ke dalam.“Teman-teman Angga datang semua, Tan?”“Iya, yang tinggal di Indonesia. Itu ada yang dari Surabaya, Jakarta, Malang, Aceh, mereka datang tadi pagi, sendang Mic, tadi siang,” jelas beliau.“Nah, kamu salat di dalam aja e
POV Alya.Kuputuskan menghubungi nomor Hasan. Tersambung, tapi tidak dijawab. Aku kok, jadi berasa mengejar-ngejar cinta Hasan gini, ya?[Hasan, sorry aku ganggu kamu. Ini kulakukan atas permintaan nenekku. Kata beliau kenapa kamu tidak datang. Hasan aku tegaskan padamu ya, jangan kira kamu sangat kucintai jadi sikapmu seenak sendiri padaku.] Terkirim dan langsung terbaca.[Maaf Al, aku bukan bermaksud begitu. Sore ini aku datang ke rumahmu. Insya Allah.][Ya.] jawabku singkat.Setelah bersiap aku ke rumah Nindi rasanya deg-degan sekaligus bahagia akan mengunjunginya.Mungkin Nindi tidak datang ke rumahku sewaktu kuundang karena dia sungkan pada keluargaku. Aku tidak boleh suudzhon padanya. Dia sudah berubah begitu pun aku sangat bahagia. Nindi sekarang berbeda sekali dengan Nindi yang dulu.Setengah jam perjalanan akhirnya sampai juga.Rumah Nindi kosong pintunya tertutup dia ada di mana?“Bu, persmisi, Nindi dan keluarga apa pulang kampung ya, kok, tutup rumahnya?” tanyaku pada tet
POV NINDI“Mas, siapa perempuan ini? Kenapa ada bersama kamu?” tanya mamah lagi.“Kalian lupa? Ini Bulek Siska sepupu Papah dan ini anaknya,” jawab papah.Dulu Bulek Siska tidak seglowing dan semodis sekarang. Makanya aku pangling padanya. Yang kuingat tahi lalat di dagunya.Mungkin mamah lupa, tapi tidak bagiku. Aku menyimpan kenangan buruk tentang Bulek Siska.Bulek Siska dulu menolak kami mentah-mentah saat kami izin mau tinggal di kampung papah bahkan mengusir kami.Dulu begitu aku keluar dari rumah sakit dan Alya bilang padaku untuk tidak kembali ke rumahnya. Langkah pertama yang kulakukan adalah pulang kampung. Saat itu aku merasa jika pulang kampung uang yang kudapatkan bisa untuk beli rumah dan sisa banyak masuk ke tabungan, tapi ternyata salah. Kami ditolak mentah-mentah.Karena mendapat penolakan di mana-mana dan merasa sendiri lontang lantung mamah jadi begini. Depresi berat.“Iya, Mbak, aku Siska masa lupa. Aku ikut Mas Is ke sini mau lebaran di sini.”“Is? Kok nama kamu
Sejujurnya aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menerima Angga karena aku tidak ingin menyakiti hati Lusi. Ya, walaupun sekarang Lusi sudah bahagia bersama suami dan anak-anaknya, tapi aku yakin jika dia tahu aku menikah dengan Angga pasti di dalam dasar lubuk hatinya ada rasa kecewa padaku dan aku tidak mau itu terjadi. Aku tidak ingin menyakiti hati orang lain apalagi itu Lusi, sahabatku sendiri walaupun itu setitik nila.“Aku tahu Al, kalau kamu pun sebenarnya mencintai aku. Semua kutahu itu dari Lusi dan aku tahu kamu menolakku pasti karena Lusi. Al, Lusi, sudah bahagia dengan suaminya dan anak-anaknya bahkan Lusi merasa sangat bersalah karena telah menuliskan perasaannya di dalam buku diary-nya yang akhirnya kamu baca. Kalau kamu tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan ini kamu bisa tanyakan sendiri pada Lusi. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Al. Aku sangat mencintaimu dari dulu hingga kini.”“Angga, tapi aku, aku ....”“Tidak perlu kamu jawab Alya karena aku ta
“Alya, tunggu! Kamu mau ke mana?” Angga menarik ujung jilbabku. Seketika aku menghentikan langkahku.“Kamu pikir aku mau ke mana Ngga? Pulanglah, ngapain aku di sini? Jagain Cafe kamu?” jawabku ketus.“Ya, kali aja mau juga kamu jagain cafeku. Jangan jagain kafekulah, jagain hatiku aja,” jawab Angga lagi. Dia ini benar-benar membuat aku salah tingkah.“Apaan, sih, Ngga ... sudahlah aku mau pulang. Lain kalu aku main ke sini lagi, oke ... aku ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan,” pamitku pada Angga. Sejujurnya aku sangat malu padanya karena bukan hanya sekali ini saja Angga memergokiku gagal bertemu dengan seseorang. Dulu bahkan saat pernikahanku gagal dan Anggalah yang tahu pertama kali setelah keluargaku.Kenapa harus dia aku kan, jadi malu seolah aku ini adalah gadis terkutuk yang tidak bisa mendapatkan jodoh. Apalagi umurku sekarang menjelang kepala tiga bulan depan. Kalau perempuan di luaran sana mungkin sudah punya anak dua ataupun tiga, sedangkan aku boro-boro punya
“Hilda!” Suara bariton seseorang memanggil perempuan di depanku.Ternyata perempuan di depanku ini namanya Hilda. Lantas dia tahu namaku dari mana?“Oh, jadi ini, Put, yang kamu lakukan di belakangku? Diam-diam kamu cari perempuan lain untuk jadi pendamping hidupmu, lalu aku ini kamu anggap apa, Put! 8 tahun aku nemenin kamu dari nol, giliran kamu sudah sukses kamu cari perempuan lain yang kata kamu lebih soliha dan lebih cantik dari aku! Picik kamu, Put! Dan kamu Alya, asal kamu tahu bahwa 2 hari ini yang menghubungimu bukan Putra, tapi aku. Hilda Widyani, calon istri Putra yang entah kenapa laki-laki brengsek itu tergoda oleh kamu. Aku yakin kamu tidak menggoda Putra, tapi aku minta sama kamu sebagai sesama perempuan jauhi dia kalau tidak aku akan hancurkan nama baikmu,” ucap perempuan itu berapi-api.“Hilda, kamu ngomong apa, sih! kita sudah putus dan kita sudah sepakat untuk mengakhiri hubungan kita. Lalu kenapa sekarang kamu mau merusak hubunganku dengan perempuan lain? Ingat ya
Ekstra part.“Hai! Ngalamun aja serius banget kayaknya. Lagi mikirin aku, ya?” Aku dikagetkan dengan kedatangan Angga yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.Aku merasa entah kenapa dunia ini begitu sempit. Aku melalang buana ke mana pun pasti ujung-ujungnya bertemu dengan Angga. Padahal jujur bertahun-tahun aku berusaha untuk melupakan dia.“Enggak .... kok, kamu bisa di sini, ngikutin aku, ya?” tebakku asal. Habisnya aku bingung mau bilang apa.“Ye, ge-er banget, deh! Ngapain juga ngikutin kamu enggak penting kayaknya. Eh, tapi sepertinya waktu dan keadaanlah yang mempertemukan kita. mungkin kita berjodoh,” jawab Angga. Senyum khasnya membuatku ingat tentang masa lalu.“Angga, ihh, ngaco, deh! Ngomong-ngomong apa kabar? Terus kamu di sini ada kegiatan apa?” tanyaku. Sebenarnya aku sedikit salah tingkah, tapi ya, Angga tidak boleh tahu. Kalau sampai dia tahu yang ada nanti aku akan dibully dia habis-habisan.Sejujurnya aku sangat bahagia bertemu dengan Angga karena selama 2 t
POV Alya. “Otewe mulu, kapan dong, sampainya?”“Nanti, Ngga ... jika Allah sudah berkehendak.” Angga hanya mengangguk saja.Entah kenapa kami merasa canggung sebenarnya ingin bersikap seperti biasanya saja, tapi tidak bisa. Seperti ada jarak yang memisahkan antara kami berdua.Angga memang terlihat semakin berwibawa mungkin itu yang membuatku merasa canggung dan juga dia suami orang maka dari itu aku harus jaga image jangan sampai nantinya ada kesalahpahaman di antara kami.“Non, ada Mas Akmal di luar.” Mbok memberi tahuku.“Em, kalau begitu aku permisi ya, Al. Takut ganggu. Kalau ada waktu main ke rumah ya, Gulsen pasti senang sepertinya memang dia sudah menyukaimu buktinya tadi langsung akrab,” pamit Angga. Aku mengiyakan.“Gulsen, pulang, yuk! Sudah siang nanti Kakek nyariin kita, loh,” ajak Angga. Gulsen menggeleng lucu sekali.“Gulseeenn ....” Lagi-lagi anak itu hanya menggeleng.“Biar nanti aku yang mengantar Gulsen,” sahutku.“Beneran?”“Iya, Ngga ... bolehkan?”“Oke, boleh-bo
POV ALYA.Hati yang bimbang.“Tante boleh minta tolong ambilkan bola itu. Bolanya kotor aku jijik mau ambilnya,” pinta anak kecil di depanku seraya menarik-narik ujung jilbabku. Aku yang sedang fokus menatap layar HP terpaksa memandangnya. Ekspresinya menggemaskan sekali.“Please ....” pintanya lagi. Senyumnya menampilkan deretan gigi kecil-kecil yang rapi.“Boleh, tunggu sebentar.”Aku mengambil bola yang tercebur pada kubangan lumpur bekas hujan semalam.“Tante cuci dulu ya, di kran sebelah situ. Kamu bisa menunggu Tante di sini?” Anak kecil itu mengangguk.Oke, fine Alya. Ini sungguh menggelikan karena untuk pertama kalinya aku dipanggil tante oleh orang lain. Anak kecil pula. Biasanya mereka akan memanggilku kakak dan yang memanggilku tante hanya Alika anak tante Eni dan adik-adiknya saja. Ke mana orang tua anak itu kenapa dibiarkan main sendirian di taman. Meski taman kompleks perumahan tetap saja bahaya.Akan tetapi lucu juga anak kecil itu. Keberaniannya membuatku berhasil meni
POV Nindi. Ternyata omongannya hanya bualan semata untuk memperdayaku. Pernikahan yang baru seumur jagung menjadi taruhannya.Kurasakan pergerakan dipan. Mas Aris memelukku dalam tidurnya setelah menciumku berkali-kali.Aku biarkan saja dia menciumku mungkin ini untuk yang terakhir kalinya. Barang kali esok aku sudah pergi dari sini dan kembali ke rumahku seorang diri. Jujur aku tidak siap dimadu. Aku tidak siap berbagi suami. Tidak! Aku tidak siap.Membayangkannya saja hatiku begitu ngilu dan sakit apa lagi menjalaninya. Pastilah aku kurus kering karena setiap hari makan hati. Perempuan itu salah satu anak dari guru ngajinya Mas Aris. Aku pun mengenalnya. Usianya 5 tahun lebih muda dariku. Namanya Yesi, meski tidak secantik dan semenarik diriku, tapi dia perempuan subur yang siap melahirkan banyak anak demi baktinya pada seorang suami. Itu yang dia katakan padaku juga pada Mas Aris.Aku akui keberanian dan juga misi hidupnya patut diacungi jempol, tapi kenapa harus rumah tanggaku y
POV Nindi.POV Nindi.“Apa tidak ada cara lain, Mas? Apa kamu setega itu padaku?” tanyaku pada Mas Aris, suamiku.Lelaki yang terkenal bijak dan baik hati itu perlahan membelai rambutku.“Maafkan aku, Dik. Aku tak kuasa menolak permintaan Ibu,” jawab Mas Aris.“Kamu benar, Mas, mungkin ini jalan yang terbaik untuk rumah tangga kita. Aku bisa apa? Rahimku bermasalah dan kita tidak bisa punya keturunan, tapi please lepaskan aku dulu sebelum kamu menikahi perempuan pilihan ibumu,” tegasku.Mata Mas Aris berkaca-kaca. Manik hitam itu dalam hitungan detik dipenuhi air mata. Lalu lolos. Kembali aku direngkuh dalam pelukannya.“Tidak, Dik. Aku tidak mau berpisah denganmu. Aku tidak sanggup. Aku sudah berjanji pada mamahmu untuk menjagamu seumur hidupku. Aku mencintaimu Dik, ada atau tidaknya anak bagiku hanya pelengkap saja. Cintaku padamu tulus, Dik. Tolong jangan pernah katakan perkataan yang sangat aku benci. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Dik,” ucap Mas Aris seraya mempererat pelukannya.
POV Angga.Alyaku, aku tahu dia masih sendiri di usianya yang ke 29 tahun. Aku tahu semuanya dari Lusi dan juga Nindi.Entah seberapa berat hidup yang dijalaninya, tapi Alya masih tetap seperti dulu. Ayu dan masih muda. Mungkin karena dia tidak pernah menyikapi permasalahan dengan berlebihan. Dia tetap bersikap manis pada siapa pun meski aku tahu luka di hatinya sangatlah dalam.Alya, tetap baik pada bundaku, adikku, dan orang-orang di sekelilingnya termasuk pada keluarga mantan calon suaminya. Aku salut padanya. Aku tahu semua itu tentu saja dari cerita orang-orang terdekatku.Hari ini pertama kali aku menginjakkan kakiku ke lapak pecel buk Siti sejak 4 tahun yang lalu pergi ke Kalimantan. Pecel legendaris kenanganku bersama Alya. Ya, aku kembali pulang untuk tujuan hidup agar lebih baik lagi.Sedang Dita tetap di Kalimantan mengembangkan bisnis orang tuanya. Tak ada drama tangis perpisahan antara Gulsen dan ibunya. Biasa saja seperti hari-hari biasa. Gulsen pun tidak pernah menanyak