Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 141 - Bab 150
608 Bab
Bagian 143
“Kok, kewajibanku, Pak? Kan, Iyan yang buat anak.”“Bapak sama Ibu udah biayai kamu jadi pegawai, lho, Gam.” Bapak tidak sungkan untuk membahas kebaikannya untuk anak sendiri. “Sudahlah, kamu jangan bahas uang Rani lagi. Ya, wajar saja kalau dia ingin menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi.”Aku mengangguk, pura-pura paham. Rasa sakit hati ini sudah berada di titik tertinggi, tetapi aku tidak akan melawan mereka dengan otot. Aku harus menyusun strategi untuk mendapatkan kembali uang yang harusnya menjadi milikku.Rani, Iyan, tunggu pembalasan dariku, yang selalu kalian zalimi.“Jadi, bagaimana? Apa Ibu benar-benar tidak akan membawa seserahan makanan untuk pihak keluarga Anti?”“Ibu mau bawa, Gam. Tapi, mana uangnya?” jawab ibu pasrah.“Minta sama Iyan, Bu, bagianku dari penjualan kayu. Dua juta cukup buat beli beberapa kaleng biskuit.”“Gak bisa gitu,
Baca selengkapnya
Bab 144
Hari pernikahanku dengan Anti tiba. Meskipun tanpa rasa cinta seperti dulu, tetapi aku sudah bertekad untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kuperbuat. Aku tidak mengurus berkas ke KUA. Karena untuk sementara, kami sepakat menikah secara siri. Setelah diriku bisa tinggal di rumahnya, baru akan kuurus secara negara. Tidak punya rumah membuatku bingung.Sebelum berangkat, aku menghubungi Mbak Eka, berharap dirinya bisa mendampingiku mengucapkan ijab kabul pada wanita yang tengah mengandung anakku. Jawabannya sungguh mengejutkan. Dirinya, yang selama ini mengatakan sangat menyayangiku, hari ini menolak permintaanku.“Makanya, Gam. sama saudara itu yang akur. Kamu butuh juga, kan? Kemarin, kenapa kamu seperti itu sama Rani? Buat perkara saja. Rani itu istrinya Iyan. Kamu menyakitinya, sama juga kamu menyakiti perasaan Iyan, juga aku. Maaf, Gam, aku lebih menghormati perasaan Iyan. Jadi, aku tidak bisa datang.”Sungguh miris. Diriku datang sendiri da
Baca selengkapnya
Bagian 145
Malam telah tiba, terasa sunyi dan sepi karena hanya ada berdua di rumah ini. Tidak ada kehangatan antara diriku dengan Anti.“Anti, ada yang kamu inginkan, tidak? Selayaknya orang ngidam, gitu?” tanyaku saat melihatnya berbaring di sofa depan televisi.Dirinya hanya melirik sekilas padaku yang ikut duduk pada benda sangat empuk itu. Setelahnya, kembali menatap layar besar di depan. Barang-barang di rumahnya termasuk mewah. Maklumlah, dulu Tohir begitu memanjakan Anti, sehingga apa pun yang diinginkan pasti dituruti.“Aku gak ingin apa-apa, Mas. Kamu tidur saja, pasti capek.”Sebenarnya aku tahu, di mana kamar Anti, tetapi rasanya malu. Aku tahu, Anti mau menikah denganku karena terpaksa. Jadi, tidak akan ada kemesraan indah layaknya pasangan pengantin baru.Anti bangun dan kembali lagi dengan sepiring makanan, menyantap lahap di hadapanku tanpa mengajak ikut serta. Kutelan saliva melihatnya menyuap nasi dengan rendang mengg
Baca selengkapnya
Bagian 146
Sebelum sampai di rumah Anti, aku berhenti sejenak untuk mengatur rasa yang membuncah. Ini lebih membingungkan dibandingkan menghadapi keluargaku. Bila dengan mereka, aku bebas marah ataupun pergi, tapi aku bisa apa saat menghadapi sikap dingin Anti?Terbesit keinginan untuk kembali ke kantor, mengingat di rumah itu, aku seperti manusia yang tidak punya harga diri. Namun, aku ingat bayi yang ada dalam kandungannya. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang sama.Untungnya, di dalam tas masih ada uang dua juga pemberian bapak dan juga satu juga yang diberi ibu. Bisa untuk bekal hidup, sambil cari-cari sampingan.“Assalamualaikum.” Aku mengetuk pintu. Bagaimanapun, ini bukan rumahku, sopan santun harus tetap kujaga.Anti membuka pintu dengan raut muka yang dingin.Bibir ini kutarik, mencoba untuk beramah tamah dengan wanita yang sudah sah secara agama menjadi istriku. “Sudah makan?” tanyaku.Anti hanya mengangguk.&
Baca selengkapnya
Bagian 147
“Agam, jangan begitu. Ibu sendirian menghadapi semuanya, Agam. Ibu harus bagaimana? Ibu malu, warga berkumpul di depan rumah kita semua.” Tangis ibu mulai keras terdengar. “Kalau begitu, Ibu pergi saja. Jangan menampakkan diri di hadapan mereka semua. Biar Ibu tidak malu.”“Agam, tolonglah adik dan bapakmu. Bagaimanapun, mereka adalah keluargamu, Gam. Jangan tega seperti itu.”“Keluarga yang hanya membutuhkanku saat ada masalah, Bu. Giliran aku yang terjatuh, tidak satu pun mengulurkan tangan untukku.” Setelahnya, kuputus sambungan telepon dari ibu dan mematikan gawaiku.Aku diambang bimbang, antara sakit hati dan merasa berdosa. Akan tetapi, mungkin perlu sekali-sekali memberi mereka pelajaran tidak peduli diriku masih sangat dibutuhkan di sana. Masih teringat jelas saat Rani begitu tak acuh mendengarku meminta semangkuk mie ayam. Rasanya, sulit dilupakan.Mengabaikan pikiran tentang apa yang m
Baca selengkapnya
Bagian 148
 “Asal kamu tahu, tidak ada satu pun wanita yang mau berada di posisi seperti itu. Baktimu terhadap orang tuamu, jelas menyakiti perasaan siapa pun yang menjadi istrimu. Keponakan dan anak, jelas memiliki tempat yang berbeda, Mas. Aku membenci Aira, aku membenci orang tuamu, juga saudara-saudaramu yang terkesan memanfaatkanmu, Mas.”Anti tergugu dan aku benar-benar menghentikan makan siang ini.“Anti, aku tahu, aku paham jika apa yang kamu katakan dan kamu pikirkan tentang aku, semuanya benar. Tapi, aku ingin berubah. Tidak hanya ingin, tapi sudah siap untuk berubah. Apa yang terjadi dengan Nia, tidak akan pernah lagi menimpa istriku. Jadi, kamu tidak usah takut, aku akan memintamu untuk menyerahkan apa yang kamu miliki untuk kebahagiaan mereka.”“Orang tuaku, mereka juga sudah tidak suka sama kamu, Mas. Sebenarnya, waktu kita tertangkap warga, mereka berdua berusaha meyakinkan dan membujuk Mas Tohir agar tidak menceraikanku. D
Baca selengkapnya
Bagian 149
“Istrinya Mimin benar-benar tidak terima karena sudah merasa dipermalukan dan dicemarkan nama baiknya oleh bapak kamu, Gam … Mimin sore nanti katanya mau pulang dari Jakarta katanya. Gam, tolong ke sini, bantu bapakmu,”  pinta Ibu penuh iba.. “Tapi palingan si Wiwin nanti yang kena damprat suaminya karena sudah selingkuh” lanjutnya lagi. Heran saja, suka sekali ikut campur urusan orang. kalau urusannya ribet seperti ini, aku juga yang harus ikut turun tangan.Sejenak bimbang, jika ini masalah Iyan, sudah tentu diriku tidak mau mengurusnya, tapi bagaimanapun, yang terlibat masalah adalah orang yang telah membesarkan diriku dengan tangannya. Akhirnya, dengan terpaksa diriku pulang ke rumah Ibu.Sampai di sana, Rani terlihat duduk melamun di kursi dengan mata sembab. Kehilangan uang lima juta saja, dia seperti ini. Apalagi bila berada di posisi Nia, yang merelakan gajiku untuk membahagiakannya?Bapak terlihat murung terpekur di a
Baca selengkapnya
Bagian 150
Suatu sore, saat aku pulang kerja, Anti tengah berkumpul di rumah bersama teman-teman guru sewaktu dirinya dan aku masih mengajar. Rata-rata dari mereka, aku juga mengenalnya.“Eh, ketemu Mas Agam, lama sekali ya baru lihat …” salah satu dari mereka menyapa.“Sini, sini, Mas, ikut gabung …” ucap yang lain.“Iya, dulu aja, pandai buat kita tertawa, jinak banget sih sejak jadi suami Anti, gak mau kumpul lagi …” aku hanya tersenyum menanggapi sapaan mereka. Bingung, mau ikut duduk bersama, atau memilih berlalu ke dalam.“Eh, Mas, nikah kok gak undang-undang kita, sih?”“Anti gak mau diganggu, Jeng, habis itu kan bisa langsung mojok kalau gak ngundang kita-kita, ya gak?” Gelak tawa membahana, menyambut candaan dari salah satu perempuan yang kira-kira ada sepuluhan orang itu.“Bukan begitu, Jeng … kita ngirit, biar gak keluar banyak biaya aja waktu nikah
Baca selengkapnya
Bagian 151
“Biar gak malu, hamil tanpa bapak, Bu …” baiklah, jawaban Anti cukup membuatku memantapkan sebuah tekad. Segera, kulangkahkan kaki menuju kamar, setelah sebelumnya, menarik kembali sarung yang masih basah. Urung aku jemur.“Tohir apa kabar ya, Pak?”Celetuk Ibu mertua saat aku sedang mengelap sepatu di teras belakang. Kurasa, mereka tahu ada diriku di sana.“Ya, mana Bapak tahu, Bu … mungkin saja sudah semakin sukses.”“Dulu, kita sering sekali pergi piknik kalau dia habis pulang dari berlayar ya, Pak, tidak seperti sekarang, bisa makan enak aja, hasil dari dagang sendiri. Anti, Anti, kamu bodoh banget sih? Memilih orang yang bisanya cuma numpang saja.”Begitu mengena di ulu hati, padahal, aku hanya menempati sebuah ruangan yang tidak berfungsi sama sekali.“Cepatlah lahiran, agar kamu bisa menikah kembali dengan Tohir.” Tepat saat aku melewati mereka, kudengar Bapak mertuaku bergumam
Baca selengkapnya
Bagian 152
“Tidak, Pak … katanya biar gak bolak-balik jauh …” jawabku berbohong. Aku tidak mau lagi seperti dulu, mengumbar masalah dalam keluarga. Mulai sekarang, apa pun yang menimpa diri ini, biarlah menjadi rahasiaku sendiri. Cukuplah Allah menjadi satu-satunya tempat curhat.Hari ke lima aku tinggal di kantor, jam sepuluh siang, saat tengah mengerjakan sebuah laporan di depan komputer, seorang penjaga kantor memanggil dan mengatakan ada tamu yang ingin bertemu. Dia menungu di depan kamar tempat biasa aku tidur. Diriku merasa heran, karena selama ini tidak pernah ada yang mencari. Feeling ini mengarah kalau itu Anti.Setelah izin pada atasan, aku langsung menuju ruang paling ujung dari kantor ini. Bentuk bangunan yang memanjang, menjadi sebuah keberuntungan buatku karena, aku tidak menempati tempat yang biasanya terletak di belakang.Dan, benar saja, wanita egois itu berdiri di sana tetap dengan muka masam. Benar-benar tidak habis pikir, apa y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1314151617
...
61
DMCA.com Protection Status