“Asal kamu tahu, tidak ada satu pun wanita yang mau berada di posisi seperti itu. Baktimu terhadap orang tuamu, jelas menyakiti perasaan siapa pun yang menjadi istrimu. Keponakan dan anak, jelas memiliki tempat yang berbeda, Mas. Aku membenci Aira, aku membenci orang tuamu, juga saudara-saudaramu yang terkesan memanfaatkanmu, Mas.”
Anti tergugu dan aku benar-benar menghentikan makan siang ini.
“Anti, aku tahu, aku paham jika apa yang kamu katakan dan kamu pikirkan tentang aku, semuanya benar. Tapi, aku ingin berubah. Tidak hanya ingin, tapi sudah siap untuk berubah. Apa yang terjadi dengan Nia, tidak akan pernah lagi menimpa istriku. Jadi, kamu tidak usah takut, aku akan memintamu untuk menyerahkan apa yang kamu miliki untuk kebahagiaan mereka.”
“Orang tuaku, mereka juga sudah tidak suka sama kamu, Mas. Sebenarnya, waktu kita tertangkap warga, mereka berdua berusaha meyakinkan dan membujuk Mas Tohir agar tidak menceraikanku. D
“Istrinya Mimin benar-benar tidak terima karena sudah merasa dipermalukan dan dicemarkan nama baiknya oleh bapak kamu, Gam … Mimin sore nanti katanya mau pulang dari Jakarta katanya. Gam, tolong ke sini, bantu bapakmu,” pinta Ibu penuh iba.. “Tapi palingan si Wiwin nanti yang kena damprat suaminya karena sudah selingkuh” lanjutnya lagi. Heran saja, suka sekali ikut campur urusan orang. kalau urusannya ribet seperti ini, aku juga yang harus ikut turun tangan.Sejenak bimbang, jika ini masalah Iyan, sudah tentu diriku tidak mau mengurusnya, tapi bagaimanapun, yang terlibat masalah adalah orang yang telah membesarkan diriku dengan tangannya. Akhirnya, dengan terpaksa diriku pulang ke rumah Ibu.Sampai di sana, Rani terlihat duduk melamun di kursi dengan mata sembab. Kehilangan uang lima juta saja, dia seperti ini. Apalagi bila berada di posisi Nia, yang merelakan gajiku untuk membahagiakannya?Bapak terlihat murung terpekur di a
Suatu sore, saat aku pulang kerja, Anti tengah berkumpul di rumah bersama teman-teman guru sewaktu dirinya dan aku masih mengajar. Rata-rata dari mereka, aku juga mengenalnya.“Eh, ketemu Mas Agam, lama sekali ya baru lihat …” salah satu dari mereka menyapa.“Sini, sini, Mas, ikut gabung …” ucap yang lain.“Iya, dulu aja, pandai buat kita tertawa, jinak banget sih sejak jadi suami Anti, gak mau kumpul lagi …” aku hanya tersenyum menanggapi sapaan mereka. Bingung, mau ikut duduk bersama, atau memilih berlalu ke dalam.“Eh, Mas, nikah kok gak undang-undang kita, sih?”“Anti gak mau diganggu, Jeng, habis itu kan bisa langsung mojok kalau gak ngundang kita-kita, ya gak?” Gelak tawa membahana, menyambut candaan dari salah satu perempuan yang kira-kira ada sepuluhan orang itu.“Bukan begitu, Jeng … kita ngirit, biar gak keluar banyak biaya aja waktu nikah
“Biar gak malu, hamil tanpa bapak, Bu …” baiklah, jawaban Anti cukup membuatku memantapkan sebuah tekad. Segera, kulangkahkan kaki menuju kamar, setelah sebelumnya, menarik kembali sarung yang masih basah. Urung aku jemur.“Tohir apa kabar ya, Pak?”Celetuk Ibu mertua saat aku sedang mengelap sepatu di teras belakang. Kurasa, mereka tahu ada diriku di sana.“Ya, mana Bapak tahu, Bu … mungkin saja sudah semakin sukses.”“Dulu, kita sering sekali pergi piknik kalau dia habis pulang dari berlayar ya, Pak, tidak seperti sekarang, bisa makan enak aja, hasil dari dagang sendiri. Anti, Anti, kamu bodoh banget sih? Memilih orang yang bisanya cuma numpang saja.”Begitu mengena di ulu hati, padahal, aku hanya menempati sebuah ruangan yang tidak berfungsi sama sekali.“Cepatlah lahiran, agar kamu bisa menikah kembali dengan Tohir.” Tepat saat aku melewati mereka, kudengar Bapak mertuaku bergumam
“Tidak, Pak … katanya biar gak bolak-balik jauh …” jawabku berbohong. Aku tidak mau lagi seperti dulu, mengumbar masalah dalam keluarga. Mulai sekarang, apa pun yang menimpa diri ini, biarlah menjadi rahasiaku sendiri. Cukuplah Allah menjadi satu-satunya tempat curhat.Hari ke lima aku tinggal di kantor, jam sepuluh siang, saat tengah mengerjakan sebuah laporan di depan komputer, seorang penjaga kantor memanggil dan mengatakan ada tamu yang ingin bertemu. Dia menungu di depan kamar tempat biasa aku tidur. Diriku merasa heran, karena selama ini tidak pernah ada yang mencari. Feeling ini mengarah kalau itu Anti.Setelah izin pada atasan, aku langsung menuju ruang paling ujung dari kantor ini. Bentuk bangunan yang memanjang, menjadi sebuah keberuntungan buatku karena, aku tidak menempati tempat yang biasanya terletak di belakang.Dan, benar saja, wanita egois itu berdiri di sana tetap dengan muka masam. Benar-benar tidak habis pikir, apa y
“Jangan berlagak sok suci deh kamu, Agam! Kamu pikir hidupmu seketika berubah dengan salat dan membaca kitab suci seperti itu? Atau taubat kamu hanya pura-pura? Emang mau narik simpati siapa lagi, sih? Busuk mah busuk aja, kotor ya kotor saja, gak usah berlagak seperti itu!” Sebetulnya, aku sudah berniat untuk tidak meladeni bicaranya, akan tetapi kali ini, sepertinya harus kujawa kalimat yang baru saja diutarakannya itu.“Mau tahu, aku melakukan ini untuk apa?” Anti terdiam dengan pandangan tidak suka. “Agar aku bisa jauh dari wanita kotor sepertimu, Anti. Aku sedang berdoa, agar diberi jalan bisa terlepas dengan kamu. Kamu tahu tidak? Bila aku masih bersama kamu, ibarat bangkai yang tercebur di air kotor, maka akan semakin bau. Tapi bila jauh dari kamu, aku laksana tubuh yang penuh kotoran dan sedang mencari air bersih untuk membasuhnya.”“Halah gak usah ceramah kamu! Dapat ilmu agama dari mana, orang dulu kerjaannya seneng-senen
“Ini, maksudmu memintaku untuk kembali ke rumah ini? Pulang, katamu?” anti menunduk, tak berani membalas tatapanku. Aku tertawa sinis. “Ternyata, obsesimu dan orang tuamu adalah menyiksa perasaanku di rumah ini. Apa salahku sama kamu, Anti?”“Kamu sudah membuatku diceraikan Mas Tohir, Mas!”“Itu kesalahan kita berdua, Anti! Oh, atau jangan-jangan, memang kamu harus ditakdirkan seperti ini? Selalu membenci siapa pun yang menjadi suamimu?” Anti masih terdiam. Aku segera mengemasi barang-barangku yang sudah berada dalam karung dan ditumpuk di atas barang-barang bekas. Hal yang membuatku semakin kaget, rice coocker yang masih berisi nasi waktu kutinggalkan, dan kini sudah basi, ikut dimasukkan ke sana.“Ulah siapa ini, Anti?” Bisu. Anti seperti orang bisu yang tidak bisa berbicara. “Jawab, Anti!” Bentakku.“Itu, Ibu dan Bapak yang melakukan, Mas.” Kuambil segera rice cooker yang isiny
Setelah beberapa jam, Rani tertidur. Satu per satu warga meninggalkan rumah. Tinggal yang masih termasuk keluarga saja yang masih berada di rumah.“Mas … aku mau bicara.” Iyan menatap tajam padaku. Aku paham apa arti kemarahannya itu.“Oke …” jawabku sinis. Sudah cukup selama ini diriku mengalah jangan harap, aku akan tunduk terhadap apa pun yang dia inginkan.Saat ini kami berada di samping rumah, sebelah sungai yang mengalir. Duduk di sandaran aliran air yang berasal dari pegunungan itu.“Kenapa Mas mencuri uang dari ATM-ku?” Tanyanya dingin.“Terus, kamu maunya apa sekarang?”“Aku mau, Mas kembalikan uangku, sekarang juga, Mas.”“Baik, aku akan mengembalikan, tapi, kembalikan dulu uang hasil penjualan kayu yang Bapak jual dari kebunku.” Iyan terperangah, “masih banyak yang itu, daripada uang yang aku ambil dari ATM kamu.”&ldquo
Hari-hari kulalui dengan rasa yang semakin damai. Kini, aku mulai belajar menekuni dunia pertanian. Memanfaatkan halaman kantor yang luas, aku membeli plastik sebagai media tanam untuk menyibukkan hari-hari yang sepi. Puluhan polybag berjajar rapi, sengaja aku bentuk menjadi beberapa kelompok agar nanti saat tumbuh bisa menjadi taman yang indah. Namun, kebanyakan aku isi dengan tanaman yang bisa dimakan seperti cabe dan sayur-syuran. Hanya beberapa saja yang aku isi dengan bunga. Kesibukanku lumayan menyita waktu. Sehingga saat malam tiba, aku langsung tertidur dan tidak lagi begadang sendiri meratapi nasib. Menurut Dina yang rajin memberi kabar menyuruhku pulang, penyakit Rani semakin parah. Dalam kondisi lemah, Iyan harus berjuang mengobati sang istri. Ada rasa kasihan, namun sesekali keluargaku harus diberi pelajaran. Agar suatu hari nanti bisa menghormati dan menghargaiku, tidak hanya di saat diriku jaya, atetapi juga dikala susah. Aku juga mulai akrab de
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”