“Istrinya Mimin benar-benar tidak terima karena sudah merasa dipermalukan dan dicemarkan nama baiknya oleh bapak kamu, Gam … Mimin sore nanti katanya mau pulang dari Jakarta katanya. Gam, tolong ke sini, bantu bapakmu,” pinta Ibu penuh iba.. “Tapi palingan si Wiwin nanti yang kena damprat suaminya karena sudah selingkuh” lanjutnya lagi. Heran saja, suka sekali ikut campur urusan orang. kalau urusannya ribet seperti ini, aku juga yang harus ikut turun tangan.
Sejenak bimbang, jika ini masalah Iyan, sudah tentu diriku tidak mau mengurusnya, tapi bagaimanapun, yang terlibat masalah adalah orang yang telah membesarkan diriku dengan tangannya. Akhirnya, dengan terpaksa diriku pulang ke rumah Ibu.
Sampai di sana, Rani terlihat duduk melamun di kursi dengan mata sembab. Kehilangan uang lima juta saja, dia seperti ini. Apalagi bila berada di posisi Nia, yang merelakan gajiku untuk membahagiakannya?
Bapak terlihat murung terpekur di a
Suatu sore, saat aku pulang kerja, Anti tengah berkumpul di rumah bersama teman-teman guru sewaktu dirinya dan aku masih mengajar. Rata-rata dari mereka, aku juga mengenalnya.“Eh, ketemu Mas Agam, lama sekali ya baru lihat …” salah satu dari mereka menyapa.“Sini, sini, Mas, ikut gabung …” ucap yang lain.“Iya, dulu aja, pandai buat kita tertawa, jinak banget sih sejak jadi suami Anti, gak mau kumpul lagi …” aku hanya tersenyum menanggapi sapaan mereka. Bingung, mau ikut duduk bersama, atau memilih berlalu ke dalam.“Eh, Mas, nikah kok gak undang-undang kita, sih?”“Anti gak mau diganggu, Jeng, habis itu kan bisa langsung mojok kalau gak ngundang kita-kita, ya gak?” Gelak tawa membahana, menyambut candaan dari salah satu perempuan yang kira-kira ada sepuluhan orang itu.“Bukan begitu, Jeng … kita ngirit, biar gak keluar banyak biaya aja waktu nikah
“Biar gak malu, hamil tanpa bapak, Bu …” baiklah, jawaban Anti cukup membuatku memantapkan sebuah tekad. Segera, kulangkahkan kaki menuju kamar, setelah sebelumnya, menarik kembali sarung yang masih basah. Urung aku jemur.“Tohir apa kabar ya, Pak?”Celetuk Ibu mertua saat aku sedang mengelap sepatu di teras belakang. Kurasa, mereka tahu ada diriku di sana.“Ya, mana Bapak tahu, Bu … mungkin saja sudah semakin sukses.”“Dulu, kita sering sekali pergi piknik kalau dia habis pulang dari berlayar ya, Pak, tidak seperti sekarang, bisa makan enak aja, hasil dari dagang sendiri. Anti, Anti, kamu bodoh banget sih? Memilih orang yang bisanya cuma numpang saja.”Begitu mengena di ulu hati, padahal, aku hanya menempati sebuah ruangan yang tidak berfungsi sama sekali.“Cepatlah lahiran, agar kamu bisa menikah kembali dengan Tohir.” Tepat saat aku melewati mereka, kudengar Bapak mertuaku bergumam
“Tidak, Pak … katanya biar gak bolak-balik jauh …” jawabku berbohong. Aku tidak mau lagi seperti dulu, mengumbar masalah dalam keluarga. Mulai sekarang, apa pun yang menimpa diri ini, biarlah menjadi rahasiaku sendiri. Cukuplah Allah menjadi satu-satunya tempat curhat.Hari ke lima aku tinggal di kantor, jam sepuluh siang, saat tengah mengerjakan sebuah laporan di depan komputer, seorang penjaga kantor memanggil dan mengatakan ada tamu yang ingin bertemu. Dia menungu di depan kamar tempat biasa aku tidur. Diriku merasa heran, karena selama ini tidak pernah ada yang mencari. Feeling ini mengarah kalau itu Anti.Setelah izin pada atasan, aku langsung menuju ruang paling ujung dari kantor ini. Bentuk bangunan yang memanjang, menjadi sebuah keberuntungan buatku karena, aku tidak menempati tempat yang biasanya terletak di belakang.Dan, benar saja, wanita egois itu berdiri di sana tetap dengan muka masam. Benar-benar tidak habis pikir, apa y
“Jangan berlagak sok suci deh kamu, Agam! Kamu pikir hidupmu seketika berubah dengan salat dan membaca kitab suci seperti itu? Atau taubat kamu hanya pura-pura? Emang mau narik simpati siapa lagi, sih? Busuk mah busuk aja, kotor ya kotor saja, gak usah berlagak seperti itu!” Sebetulnya, aku sudah berniat untuk tidak meladeni bicaranya, akan tetapi kali ini, sepertinya harus kujawa kalimat yang baru saja diutarakannya itu.“Mau tahu, aku melakukan ini untuk apa?” Anti terdiam dengan pandangan tidak suka. “Agar aku bisa jauh dari wanita kotor sepertimu, Anti. Aku sedang berdoa, agar diberi jalan bisa terlepas dengan kamu. Kamu tahu tidak? Bila aku masih bersama kamu, ibarat bangkai yang tercebur di air kotor, maka akan semakin bau. Tapi bila jauh dari kamu, aku laksana tubuh yang penuh kotoran dan sedang mencari air bersih untuk membasuhnya.”“Halah gak usah ceramah kamu! Dapat ilmu agama dari mana, orang dulu kerjaannya seneng-senen
“Ini, maksudmu memintaku untuk kembali ke rumah ini? Pulang, katamu?” anti menunduk, tak berani membalas tatapanku. Aku tertawa sinis. “Ternyata, obsesimu dan orang tuamu adalah menyiksa perasaanku di rumah ini. Apa salahku sama kamu, Anti?”“Kamu sudah membuatku diceraikan Mas Tohir, Mas!”“Itu kesalahan kita berdua, Anti! Oh, atau jangan-jangan, memang kamu harus ditakdirkan seperti ini? Selalu membenci siapa pun yang menjadi suamimu?” Anti masih terdiam. Aku segera mengemasi barang-barangku yang sudah berada dalam karung dan ditumpuk di atas barang-barang bekas. Hal yang membuatku semakin kaget, rice coocker yang masih berisi nasi waktu kutinggalkan, dan kini sudah basi, ikut dimasukkan ke sana.“Ulah siapa ini, Anti?” Bisu. Anti seperti orang bisu yang tidak bisa berbicara. “Jawab, Anti!” Bentakku.“Itu, Ibu dan Bapak yang melakukan, Mas.” Kuambil segera rice cooker yang isiny
Setelah beberapa jam, Rani tertidur. Satu per satu warga meninggalkan rumah. Tinggal yang masih termasuk keluarga saja yang masih berada di rumah.“Mas … aku mau bicara.” Iyan menatap tajam padaku. Aku paham apa arti kemarahannya itu.“Oke …” jawabku sinis. Sudah cukup selama ini diriku mengalah jangan harap, aku akan tunduk terhadap apa pun yang dia inginkan.Saat ini kami berada di samping rumah, sebelah sungai yang mengalir. Duduk di sandaran aliran air yang berasal dari pegunungan itu.“Kenapa Mas mencuri uang dari ATM-ku?” Tanyanya dingin.“Terus, kamu maunya apa sekarang?”“Aku mau, Mas kembalikan uangku, sekarang juga, Mas.”“Baik, aku akan mengembalikan, tapi, kembalikan dulu uang hasil penjualan kayu yang Bapak jual dari kebunku.” Iyan terperangah, “masih banyak yang itu, daripada uang yang aku ambil dari ATM kamu.”&ldquo
Hari-hari kulalui dengan rasa yang semakin damai. Kini, aku mulai belajar menekuni dunia pertanian. Memanfaatkan halaman kantor yang luas, aku membeli plastik sebagai media tanam untuk menyibukkan hari-hari yang sepi. Puluhan polybag berjajar rapi, sengaja aku bentuk menjadi beberapa kelompok agar nanti saat tumbuh bisa menjadi taman yang indah. Namun, kebanyakan aku isi dengan tanaman yang bisa dimakan seperti cabe dan sayur-syuran. Hanya beberapa saja yang aku isi dengan bunga. Kesibukanku lumayan menyita waktu. Sehingga saat malam tiba, aku langsung tertidur dan tidak lagi begadang sendiri meratapi nasib. Menurut Dina yang rajin memberi kabar menyuruhku pulang, penyakit Rani semakin parah. Dalam kondisi lemah, Iyan harus berjuang mengobati sang istri. Ada rasa kasihan, namun sesekali keluargaku harus diberi pelajaran. Agar suatu hari nanti bisa menghormati dan menghargaiku, tidak hanya di saat diriku jaya, atetapi juga dikala susah. Aku juga mulai akrab de
Beberapa hari setelahnya, diriku rajin berangkat ke mesjid lebih awal saat waktu ashar. Seolah ada sebuah alarm dalam hati yang mengingatkanku pada seorang wanita bersuara merdu, yang belakangan kuketahui namanya Laila. Dan akan memilih berlama-lama hanya untuk menyaksikannya mengajar anak-anak di mesjid. Beberapa kali, ktatapan kami bertemu. Dia langsung berpaling, saat melihatku sedang memperhatikannya. Sampai di suatu sore yang ke sekian kalinya, sebuah kesempatan mempertemukan kami untuk bercakap-cakap. Saat itu, hendak ada kegiatan maulid Nabi di mesjid, dan kami berdua ikut dilibatkan menjadi panitia.“Mas Agam bisa pergi ke kota untuk membeli keperluan yang tidak tersedia di toko sini?” Tanya salah seorang panitia.“Bisa!” Jawabku mantap.“Tapi ini banyak lho, Mas … harus dua orang …”Karena tidak ada orang lain lagi yang bisa berangkat bersamaku, akhirnya dengan terpaksa, Laila menyanggupinya