Hari-hari kulalui dengan rasa yang semakin damai. Kini, aku mulai belajar menekuni dunia pertanian. Memanfaatkan halaman kantor yang luas, aku membeli plastik sebagai media tanam untuk menyibukkan hari-hari yang sepi.
Puluhan polybag berjajar rapi, sengaja aku bentuk menjadi beberapa kelompok agar nanti saat tumbuh bisa menjadi taman yang indah. Namun, kebanyakan aku isi dengan tanaman yang bisa dimakan seperti cabe dan sayur-syuran. Hanya beberapa saja yang aku isi dengan bunga. Kesibukanku lumayan menyita waktu. Sehingga saat malam tiba, aku langsung tertidur dan tidak lagi begadang sendiri meratapi nasib.
Menurut Dina yang rajin memberi kabar menyuruhku pulang, penyakit Rani semakin parah. Dalam kondisi lemah, Iyan harus berjuang mengobati sang istri. Ada rasa kasihan, namun sesekali keluargaku harus diberi pelajaran. Agar suatu hari nanti bisa menghormati dan menghargaiku, tidak hanya di saat diriku jaya, atetapi juga dikala susah.
Aku juga mulai akrab de
Terima kasih yang masih setia mengikuti cerita ini. Cerita yang pernah menduduki posisi best seller selama berbulan-bulan di sebuah aplikasi ini adalah cerita yang terinspirasi dari sebuah kisah nyata. Semoga pembaca semua diberikan kesehatan dan limpahan rezeki. Mohon maaf atas segala kekurangan dalam hal menulis. Karena cerita ini adalah buku pertama dari penulis, sehingga masih jauh dari kata sempurna.
Beberapa hari setelahnya, diriku rajin berangkat ke mesjid lebih awal saat waktu ashar. Seolah ada sebuah alarm dalam hati yang mengingatkanku pada seorang wanita bersuara merdu, yang belakangan kuketahui namanya Laila. Dan akan memilih berlama-lama hanya untuk menyaksikannya mengajar anak-anak di mesjid. Beberapa kali, ktatapan kami bertemu. Dia langsung berpaling, saat melihatku sedang memperhatikannya. Sampai di suatu sore yang ke sekian kalinya, sebuah kesempatan mempertemukan kami untuk bercakap-cakap. Saat itu, hendak ada kegiatan maulid Nabi di mesjid, dan kami berdua ikut dilibatkan menjadi panitia.“Mas Agam bisa pergi ke kota untuk membeli keperluan yang tidak tersedia di toko sini?” Tanya salah seorang panitia.“Bisa!” Jawabku mantap.“Tapi ini banyak lho, Mas … harus dua orang …”Karena tidak ada orang lain lagi yang bisa berangkat bersamaku, akhirnya dengan terpaksa, Laila menyanggupinya
“Santai, Gam … dulu kamu tidak seperti ini? Aku kangen masa-masa bisa bercanda bersamamu seperti dulu … ““Aku bukan yang dulu, Dir. Sekarang ini, aku berbeda. Bukan lagi pria terhormat sepertimu. Tidak ada waktuku untuk bisa bercanda. Aku sibuk memikirkan hidupku yang sengsara.” Dirman seketika diam, menyadari kalau aku sebnarnya sedang marah.Tak berapa lama, dirinya pamit pergi.“Mas, aku mau naik ojek saja … nanti, barangnya aku yang bawa.” Laila berdiri sambil mengambil tas dan mengalungkan di pundak.“Laila, jangan! Kita akan pulang sama-sama.” Aku bergegas bangun dan membuntutinya. Untungnya kedai ini bayar dulu sebelum makan, jadi aku bisa langsung membujuk wanita itu agar pulang bersamaku. Dia terus berjalan cepat, melewati kendaraanku yang berada di tempat parkir. “Laila berhenti! Aku minta maaf untuk semuanya. Tapi tolong, jangan pulang sendiri!” setelah berada di
“Ayah sudah tidak punya rumah lagi, Dek …” Danis diam, melihatku yang sedang menangis. Nia berdir, dan menghilang. Sepertinya ingin memberikan waktu untukku bisa bersama hanya dengan anak-anak. Atau karena suaminya melarang untuk tidak bicara denganku?“Ayah kenapa tidak punya rumah lagi?” Akhirnya suara Dinta keluar juga untuk menyapaku. Kali ini tangisku benar-benar pecah. Merasa bersyukur sekali, anak yang pernah aku zalimi akhirnya mau bertegur sapa denganku.“Karena Ayah dulu jahat sama Kakak, sama Adek …” jawabku terbata.“Ayah sudah makan, belum?” Dinta bertanya lagi.“Sudah, Ayah sudah makan … Kakak sama Adek sudah makan belum?”“Sudah …” jawab mereka kompak.“Ayah pengin ketemu kalian, boleh?”“izin Papa dulu ya, Yah?” Danis dengan polosnya menjawab. Aku mengangguk.“Kakak, Ayah minta
“Ini resepnya, Pak … ingat ya, Pak, lebih sabar hadapi istri. Kalau kata orang jawa bilang, ini gawan bayi. Bayinya pas hamil penginnya apa gitu. Itu yang mempengaruhi perubahan sikap sang ibu. Ini mitos jawa ya, Pak, kalau secara medis ya seperti yang saya jelaskan tadi.”“Iya, Dok … terima kasih.” Aku menerima uluran resep yang diberikan, berjalan keluar membuntuti Anti.“Mau pulang atau ke mana lagi?” Tanyaku setelah menebus obat dan berada di tempat parkir.“Pulang saja, Mas …” aku mengangguk.Sepanjang jalan, kebimbangan melanda diri ini, hendak pulang ke rumah Anti atau ke kantor? Menilik apa yang dijelaskan dokter tadi, ada benarnya juga. Bisa jadi kemarahan Anti itu disebabkan oleh kehamilannya. Tapi, bagaimana dengan sikap orang tuanya terhadap aku? Apakah ini juga karena perubahan hormon yang ada dalam tubuh mereka?Ah, aku jadi bingung.“Mas …&
“Kamu sudah tidak membutuhkan aku lagi kan, An? Aku pergi,, ya?” Kuhampiri dia yang sedang duduk, dan mengusap kepalanya. Anti bergeming menatapku. Aku tersenyum. Ada kalanya memang mengalah diperlukan, setidaknya untuk mendamaikan hati sendiri. “Aku hanya akan datang bila kamu meminta. Bila tidak, maka aku akan etap tinggal di kantor. Jika kamu tidak bisa menghubungi aku, kamu tahu ke mana harus mencariku. Aku tidak akan lari dari tanggungjawab, hanya saja, tempat ini terlalu mewah dan tidak nyaman untuk kutempati. Daripada perasaan was-was selalu menghantui, lebih baik, aku hanya datang hanya jika kamu memanggil. Aku pergi,, ya? Jangan lupa minum obatnya!” Kuusap perut yang mulai membuncit. Dan seketika, denyutan dari dalam sana terasa di telapak tanganku. “Dia bergerak, apar mungkin. Cepat makan!” Aku tersenyum dan berlalu pergi.Wahai Allah, kenapa perasaan ini selalu KAU siksa? Tanyaku dalam hati.Andai saja, Anti dan keluargany
Banyak Ustadz sudah kami panggil untuk mengobati, namun nyatanya, masih seperti ini. Tambah hari, semakin parah saja keadaannya. Bahkan, selalu mengejar Aira untuk dicekik. Aku benar-benar merasa bingung. Di tengah kondisiku yang belum sehat harus menghadapi istri tercinta setiap hari berteriak-teriak. Keadaannya benar-benar sudah mirip orang gila. Akhirnya, memasungnya adalah jalan yang dipilih.Dalam kondisi seperti ini, betapa akhirnya diriku mengakui, bahwa keberadaan Mas Agam sangat penting. Berkali-kali Ibu memohon agar kakak kandungku itu mau pulang, membantuku, tapi selalu menolak. Ah, jahat sekali dia. Dimana naluri dia? Dimana rasa peduli dan kasih sayang yang dulu ia limpahkan pada adik ipar, menantu kebanggaan di rumah ini?Apa yang sebenarnya ada dalam otak Mas Agam? Kenapa begitu tega membiarkan Bapak seorang diri berjuang menyembuhkan istriku? Sementara dirinya enak-enakan bersantai di kantornya.Suatu ketika, dari seorang kerabat, aku diberi kaba
Aku tersentak, manakala lenguhan suara Rani terdengar. Mengabaikan Bapak dan Ibu yang komat-kamit, diriku langsung membuka kasar pintu. Unting tidak terkunci. Dan betapa emosi ini memuncak, melihat istriku hampir saja disetubuhi dalam keadaan jiwa yang tidak sadar. Seluruh pakaiannya telah terlepas. Dan, kulihat tangan hitam dan jelek itu tengah memegang buah dada Rani.Tanpa ampun kuseret tubuh kurus dengan bau menyengat itu. Kulayangkan tinju berkali-kali meskipun aku sedang tidak bertenaga.“Bia*ab, kepa*at, dukun cab*l. Akan kubunuh kau.” Terdengar suara Ibu menjerit melihat Rani tergeletak tidak memakai sehelai bajupun. Bapak mungkin tidak jadi masuk karena malu. Kuseret tubuhnya keluar kamar, dan menghempaskannya ke tembok.“Iyan, ada apa ini?” Bapak bertanya bingung.“Ada apa? Bapak lihat tidak Rani tadi telan*ang? Dia hampir diperkosa, Pak …” Aku berteriak. Perutku terasa sakit, dan setelahnya aku sudah t
“Aku kok, malah punya feeling, itu punya Rani sendiri, Yan …” dengan ragu-ragu, Lik Udin menyampaikan pendapatnya. Ini sungguh membuatku semakin tidak terima.“Istriku wanita baik-baik, Lik. Jangan ngaco kalau ngomong.”“Terus, kamu mau bilang, kalau yang tidak baik itu Nia sama Agam? Ingat, Yan! Selama ini, Nia dikorbankan oleh Agam. Dan Agam sendiri begitu pedulinya terhadap kamu dan keluarga kecilmu, lho. Apakah ini bukan hal yang aneh? Agam waktu itu sangat menyayangi Rani lebih dari Nia, rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan istri kamu. Jujur saja, saat itu aku merasa sangat heran.”“Jaga bicaranya, Lik! Jangan memperkeruh suasana. Wajar saja Mas Agam lebih sayang Rani, lha Rani itu penurut, tidak pembangkang seperti Mbak Nia. Lagipula, Rani itu istri aku, jadi tidak masalah lah, kalau Mas Agam membelikan ini itu untuk Rani. Apalagi Aira, dia anak aku, yang juga masih darah daging Mas Agam.” Sungg