Aku tersentak, manakala lenguhan suara Rani terdengar. Mengabaikan Bapak dan Ibu yang komat-kamit, diriku langsung membuka kasar pintu. Unting tidak terkunci. Dan betapa emosi ini memuncak, melihat istriku hampir saja disetubuhi dalam keadaan jiwa yang tidak sadar. Seluruh pakaiannya telah terlepas. Dan, kulihat tangan hitam dan jelek itu tengah memegang buah dada Rani.
Tanpa ampun kuseret tubuh kurus dengan bau menyengat itu. Kulayangkan tinju berkali-kali meskipun aku sedang tidak bertenaga.
“Bia*ab, kepa*at, dukun cab*l. Akan kubunuh kau.” Terdengar suara Ibu menjerit melihat Rani tergeletak tidak memakai sehelai bajupun. Bapak mungkin tidak jadi masuk karena malu. Kuseret tubuhnya keluar kamar, dan menghempaskannya ke tembok.
“Iyan, ada apa ini?” Bapak bertanya bingung.
“Ada apa? Bapak lihat tidak Rani tadi telan*ang? Dia hampir diperkosa, Pak …” Aku berteriak. Perutku terasa sakit, dan setelahnya aku sudah t
“Aku kok, malah punya feeling, itu punya Rani sendiri, Yan …” dengan ragu-ragu, Lik Udin menyampaikan pendapatnya. Ini sungguh membuatku semakin tidak terima.“Istriku wanita baik-baik, Lik. Jangan ngaco kalau ngomong.”“Terus, kamu mau bilang, kalau yang tidak baik itu Nia sama Agam? Ingat, Yan! Selama ini, Nia dikorbankan oleh Agam. Dan Agam sendiri begitu pedulinya terhadap kamu dan keluarga kecilmu, lho. Apakah ini bukan hal yang aneh? Agam waktu itu sangat menyayangi Rani lebih dari Nia, rela mengorbankan apa saja demi kebahagiaan istri kamu. Jujur saja, saat itu aku merasa sangat heran.”“Jaga bicaranya, Lik! Jangan memperkeruh suasana. Wajar saja Mas Agam lebih sayang Rani, lha Rani itu penurut, tidak pembangkang seperti Mbak Nia. Lagipula, Rani itu istri aku, jadi tidak masalah lah, kalau Mas Agam membelikan ini itu untuk Rani. Apalagi Aira, dia anak aku, yang juga masih darah daging Mas Agam.” Sungg
Ada sebuah kertas berisikan nama, Mas Agam, bapak, dan juga Ibu. Aku semakin bingung, karena, mengapa hanya nama mereka bertiga saja yang tertulis?“Itu milik siapa, ustadz?” Tanyaku tidak bisa menahan penasaran. Sedangkan beliau hanya memberikan telapak tangan, tanda kalau masih belum bisa menjawab.“Maaf, ini nama siapa sja yang tertulis di sini?” Sembari memegangi kertas, Ustadz bertanya, memandang kami satu per satu seakan meminta penjelasan. Lik Udin meminta kertas tadi.“Ini nama kedua mertua Rani, dan kakak iparnya. Ini orangnya. Sedangkan kakak iparnya sudah tidak tinggal di sini lagi.” Lik Udin menjelaskan sambil menunjuk Bapak dan Ibu.“Hahahahahahahaha hihihihihihihihihi hiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii …” Rani tertawa mirip suara kuntilanak. Kami yang ada di sini bergidik ngeri. Suasana sangat mencekam meskipun siang hari. Bu Lik yang rumahnya pas di sebelah masuk dari pintu samping.
Sekitar dua jam lebih sudah berlalu, dari sejak pertama kali Ustadz datang. Kini, dia berpamitan hendak pulang dengan membawa benda-benda jimat tadi.“Ustadz, kenapa dibawa? Kenapa tidak dibakar saja, biar cepat hangus?” Bapak mertuaku seperti ketakutan. Entah karena apa.“Saya perlu tahu, siapa saja yang terlibat dengan benda ini.”“Dibakar saja, jangan memperpanjang masalah! Yang penting Rani sembuh. Saya yakin itu bukan milik anak saya. Itu pasti kiriman orang yang membenci anak kami.”“Agar tidak menimbulkan korban berikutnya. Kalau anak Bapak memang tidak terlibat dengan hal ini, tidak usah panik dan takut, Pak! Kebenaran pasti akan terungkap. Dengan izin Allah tentunya.”“Ya tidak bisa seperti itu. Ini anak saya, yang berhak menentukan adalah saya. Udah, bawa sini saja barang itu, biar saya yang membakarnya.” Setengah ngotot, pria yang dulu menjadi wali nikah saat ijab qabulku itu, b
“Santai, Mas Udin, saya tidak masalah. Toh, ini bukan pekerjaan enak, ini sangat beresiko besar. Dan saya mensinyalir, orang tua Rani terlibat di dalamnya. Ini cukup kita berdua yang tahu ya, Mas Udin?” “Iya Ustadz, saya sebenarnya juga curiga dengan sikap kedua orang tua Rani. Mereka begitu ketakutan.” “Biarkan saja, karena apa pun itu tidak akan menimpa pada orang-orang yang tidak terlibat. Percayalah! Bermain benda-benda syirik seperti itu, hanya akan merugikan kita di kemudian hari.” Setelah saling pamit, akhirnya, telepon kami berakhir. Siang harinya, sesuai janji, Pak Ustadz kembali mengantarkan benda itu ke rumah Kang Hanif. Aku berada di sana karena memang, kehadiran beliau karena aku yang membawa. Kulihat Rani sudah mau beraktivitas seperti biasanya, meskiun tidak berdagang lagi. Tapi, tetap ada yang berbeda yang kulihat dari sorot matanya. Seperti bukan Rani sepenuhnya. “Kami minta maaf ya, Pak Ustadz, karena bapak kand
Dengan keterangan yang disampaikan Ustadz Sukron, bapak Rani terlihat memerah wajahnya.“Jangan ngarang, Pak Ustadz! Anak saya tidak pernah melakukan hal itu. Jangan main tuduh sembarangan.”“Ini yang saya lihat, Pak. Kalau anda tidak percaya, maka saya memilih mundur. Saya tidak ingin dikira menuduh. Toh, kedatangan saya ke sini, itu karena anda yang mengundang. Bukan saya datang sendiri berniat untuk menjatuhkan anak anda.”“Saya memanggil anda, bukan untuk berbicara omong kosong, tapi untuk menyembuhkan anak saya, supaya dia bisa kembali menjalani hidup dengan normal.” Aku sengaja diam, menyaksikan tontonan lucu. Debat antara dua orang yang membawa dan yang dibawa. Terdengar hembusan napas panjang dari mulut Ustadz Sukron, pria berpawakan besar itu menatap tajam pada besan dari kakak kandungku itu.“Saya punya cara dalam menyembuhkan pasien saya. Dan hal yang paling awal adalah memaparkan gejala-gejala awal, ha
“Oh, tidak mau. Saya sudah diusir dan dituduh anda tadi. Kenapa? Apa takut, rahasia anda akan terbongkar? Sehingga melarang saya untuk berbicara?”“Ustadz, saya mohon, masuklah kembali, tapi, jangan katakan apa pun itu tentang apa yang dilakukan Rani!”“Tidak, saya sudah sakit hati dengan perkataan anda tadi. Saya mau pulang.” Mengabaikan informasi rahasia yang kudengar, aku segera berlari dan memegang tangan Ustadz Sukron, sebenarnya aku sendiri tidak suka dengan Ustadz yang bersekutu dengan jin, yang terkenal dengan istilah dukun putih tapi, tidak ada cara lain selain meminta tolong dia.“Tolong, Ustadz … saya mohon. Laukan sesuai dengan tata cara Ustadz, kali ini, saya yang meminta.” Seperti menimbang sebentar, akhirnya, Ustadz Sukron setuju juga.Seperti awal tadi, cara menjinakkan Rani adalah dengan mengajaknya berduel, mengeluarkan jurus-jurus, lalu Rani dilumpuhkan.“Pak Tola
“Lalu, bagaimana dengan nama kami yang ada di sana, Pak Ustadz?”“Kasih sayang yang kalian berikan, memang tulus adanya. Bukan karena pengaruh ilmu pengasihan ini. Akan tetapi, entahlah, kalau akhirnya, jin-jin itu menyerang kesehatan anda, juga orang yang terlibat di dalamnya.”“Terus, bagaimana ini Pak Ustadz?” Iyan bertanya sambil merapikan anak rambut Rai yang berantakan.“Ini seperti buah simalakama, jalan yang harus ditempuh sungguh rumit, anda mengembalikan barang-barang ini pada dukun yang dulu, atau, mendapatkan air cucian jempol kaki kanan Agam untuk mandi Rani. Namun, itupun tidak menjamin jalan kesembuhan. Ini sudah selesai, saya harus pulang. Sudah ditunggu istri saya.”“Istrinya orang situ juga, Pak Ustadz?” Untuk mencairkan suasan yang tadi sempat tegang antara aku dan Ustadz Sukron, kuberanikan diri bertanya. Agak lama tidak dijawab, hingga menimbulkan ketakutan kembali dala
IyanMendengar Aira digigt ular, tulang seluruh tubuh kehilangan kekuatannya. Apa lagi yang menimpa keluargaku, ya Allah? Belum juga aku dan Aira sembuh, Rani sakit seperti ini, ditambah lagi, Aira digigit ular. Aku semakin terkulai lemas, memeluk tubuh Rani yang terbujur bak orang mati. Bapak bersama Lik Udin segera menuju rumah mertuaku dengan mengendarai motor. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai sana.“Dek, bangunlah! Sadar, Dek … kenapa kamu lakukan ini semua? Kenapa kamu harus memelihara barang-barang seperti itu? Aku kecewa sama kamu, Dek. Tapi, aku tidak kuasa untuk menyalahkanmu di hadapan orang banyak. Rasa cintaku teramat dalam hingga, lidah ini sangat tidak bisa mengucapkan kata-kata kasar untukmu.” Kubisikkan kalimat di telinganya, berharap Rani mendengar dan segera bangun.Bapak pulang, dengan wajah yang memancarkan kelegaan.“Bagaimana keadaan Aira, Pak?”“Sudah mendingan, untung saja