Iyan
Mendengar Aira digigt ular, tulang seluruh tubuh kehilangan kekuatannya. Apa lagi yang menimpa keluargaku, ya Allah? Belum juga aku dan Aira sembuh, Rani sakit seperti ini, ditambah lagi, Aira digigit ular. Aku semakin terkulai lemas, memeluk tubuh Rani yang terbujur bak orang mati. Bapak bersama Lik Udin segera menuju rumah mertuaku dengan mengendarai motor. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai sana.
“Dek, bangunlah! Sadar, Dek … kenapa kamu lakukan ini semua? Kenapa kamu harus memelihara barang-barang seperti itu? Aku kecewa sama kamu, Dek. Tapi, aku tidak kuasa untuk menyalahkanmu di hadapan orang banyak. Rasa cintaku teramat dalam hingga, lidah ini sangat tidak bisa mengucapkan kata-kata kasar untukmu.” Kubisikkan kalimat di telinganya, berharap Rani mendengar dan segera bangun.
Bapak pulang, dengan wajah yang memancarkan kelegaan.
“Bagaimana keadaan Aira, Pak?”
“Sudah mendingan, untung saja
“Ini isinya apa, Pak Ustadz?” Aku bertanya penasaran.“Itu bambu, tadi siang sudah diisi salah satu dayang Ratu Pantai Selatan untuk menjaga rumah ini. Pasanglah di setiap pintu keluar, sama pintu kamar Aira.” Aku membukanya, dan benar saja, bilahan bambu seukuran panjang lima belas cm dan lebar lima cm yang bau bunga melati, ada di dalamnya.Sejenak hati ini ragu karena, entahlah, rasanya begitu merinding memegang benda ini. Apalagi kalau dipasang?“Sudah dapat air cucian jempol kaki Agam?” Pertanyaannya membuyarkan lamunan ini.“Be-belum. Nunggu saat yang tepat.”“Jangan lama-lama, kasihan istrimu.”“Baiklah, besok akan aku coba.”“Ya sudah, saya mau pamit pulang,, ya? Istri saya sudah menunggu di rumah.”“Maaf, apa keluarga anda tahu, Pak Ustadz, kalau anda beristrikan makhluk ghaib?” Rupa-rupanya, rasa penasaran bapakku belum hil
“Pulang ke kantor? lho, apa kamu tidak pulang ke rumah istrimu?” Lik Mira bertanya heran. Aduh, baru sadar, ternyata tadi aku keceplosan. Netra ini juga tidak bisa diajak kompromi. Mendadak mengeluarkan banyak air mata.“Kamu kenapa, Gam? Ada masalah apa sama Anti?” Lik Udin bertanya penasaran. Akhirnya, kuceritakan semua hal yang kualami selepas menikah dengan Anti. Mereka berdua menatap tak percaya.“Kok bisa seperti itu, Gam? Padahal kan, dulu baik-baik saja?” Lik Mira bertanya heran.“Lha kamu juga, Gam, menikah kok gak kasih kabar? Kang Hanif juga, gak kasih kabar.” Tidak kujawab pernyataan Lik Udin barusan, karena menghindari luka lama.“Terus bagaimana, Gam? Kamu mau bertahan seperti ini?” Lik Mira bertanya lagi.“Gak tahu, Lik. Lihat besok saja, menunggu anak Anti lahir. Aku harus sabar, memastikan apakah sikapnya kali ini ada hubungan dengan istilah bawaan bayi yang membenci
“Keterlaluan kamu, Mas! Tidak ada yang menyuruhmu ke mari. Enyah kau dari sini!”“Oh, pasti! Aku pasti pergi dari sini, tapi, sebelumnya, aku akan membuat perhitungan sama kamu, lebih tepatnya kalian.”“Agam ... hentikan, Gam … sudah, sudah! Malu sama tetangga, kalian rebut terus seperti ini …” Ibu merengek sambil sesekali menyeka air mata menggunakan lengan baju.“Iya, Gam, jangan emosi! Sabar, duduk! Dibicarakan baik-baik bila ada sesuatu yang membuat kamu tidak enak hati.” Bu Lik ikut memohon padaku dengan mengelus pundak, mencoba mengajakku untuk duduk. Kuhempaskan tangannya dengan kasar. Sepertinya, tujuanku untuk mengumpulkan setan agar membantuku marah, berhasil.“Selama ini aku kurang apa sama kamu, Rani? Segala hal aku berikan, bahkan dengan mengorbankan keluargaku sendiri. Ternyata, di belakangku, kamu bermain hal yang menjijikan. Oh, atau, jangan-jangan, apa yang menimpak
Tak kuhiraukan tangis Ibu, biarlah, toh, aku tidak durhaka kepada beliau. Bahkan dalam hati ini bertekad, meskipun Ibu begitu tidak adilnya terhadapku, namun, diri ini masih akan terus berbakti menjaganya, hingga tua kelak. Bila umurku panjang.“Maafkan aku, Bu. izinkan aku membalaskan sakit hatiku melalui ini,” ucapku sebelum masuk ke dalam.Dengan membabibuta, kasur tempat tidur Rani dan Iyan yang dulu aku belikan, kubacok-bacok menggunakan parang. Tujuannya, supaya tidak lagi bisa digunakan. Terdengar riuh tangis dari arah ruang tengah.Usai kasur rusak, gantian lemari yang menjadi sasaran amukanku. Karena itu juga milikku sewaktu masih membujang. Kubeli dari Jepara, asli kayu jati, Ibu meminta ditukar dengn punya Iyan sebelum dirinya menikah, lemari yang hanya berbahan partikel. Namun sebelumnya, kukeluarkan semua baju Iyan dan meletakkan asal di dalam lantai. Sedangkan baju Rani, aku masukkan ke dalam plastik yang kebetulan ada di atas meja rias
RaniMenikah dengan Mas Iyan, aku seperti mendapatkan anugerah yang sangat besar, menjadi ratu dalam rumahnya. Kulihat Mas Agam orang yang sangat baik.mapan, memiliki gaji yang lebih besar dari suamiku. Hal itu menerbitkan sebuah ide dari Ibu dan Bapak untuk membeli sebuah jimat pengasihan pada seorang dukun beraliran ilmu hitam.Tidak ada hal yang mudah untuk sebuah usaha, meskipun kita melakukannya menggunakan jalan pintas. Bapak harus mengambil tanaha ku buran dari sesepuh keluarga Mas Iyan. Juga membeli sebuah tulang hewan harimau yang katanya itu ampuh.Tujuannya agar aku bisa hidup sejahtera di bawah perlindungan kakak iparku. Dan nyatanya berhasil.Suatu hari, aku kembali mendatangi dukun itu untuk meminta jimat penglaris usaha mie ayam yang kujalani. Beliau tersenyum, menyambut dengan gembira atas kedatanganku untuk yang kedua kalinya.“Letakkan di bawah tempat tidurmu!”“Apa ini, Mbah?”“Itu raja
Berjalan beriringan seperti tadi, melewati pintu besar yang berkilauan seperti terbuat dari emas. Sekelabat bayangan muncul di depan sana, dia adalah dukun yang aku mintai jimat waktu itu. Memandangku dengan tatapan yang aku tidak bisa mengartikan. Ingin memanggil dan meminta tolong tapi, tetap saja, lidah ini tidak bisa bergerak.Dukun itu pergi begitu saja, tanpa berniat mengajak aku kembali ke rumah. Dan sebuah pukulan yang sangat sakit, menyadarkan diriku untuk segera berjalan kembali.Dapur besar lagi, dengan panci-panci yang kosong. Di sana, di tempatku berdiri seperti biasanya, telah ada lagi setumpuk daging. Sesaat, aku seperti lengah dari kegiatan mengiris daging. Sayup-sayup, suara orang mengaji terdengar di telinga ini. Dan aku mendengar Mas Iyan memanggil-manggil namaku. Suara orang membaca surah-surah pendek kian terdengar keras di telinga ini. Dan aku berhasil melihat mereka, anggota keluargaku berkumpul di ruang televisi.Kulihat tubuhku terbaring
“Apa uang kita habis untuk mengobati aku?”“Kamu bertanya apa sih, dek? Jangan pikirkan itu! Yang penting kamu sembuh …”“Aku takut, uangku habis, Mas …”“Besok kita cari lagi …”“Gerobak mie ayamnya masih ‘kan, Mas?”“Iya, masih …”“Aku ingin segera sembuh dan berdagang kembali …”“Makanya, kamu jangan sakit lagi!”“Iya, Mas … aku ingin mengunpulkan uang yang banyak …”“Iya, besok Mas bantu,, ya? Kamu jangan mikir itu dulu!”Tak berapa lama, ibu Rani datang dengan membawa Aira. Rani langsung memeluk tubuh anak kami yang semakin kurus dan tidak terurus.“Ibu, Aira takut dibawa ular … ularnya besar sekali …”Kutinggalkan Rani yang kini ditemani ibunya dan Aira, untuk menemui Ustadz Mirza dan tiga s
Lama kami terdiam, meresapi rasa yang hadir menyeruak dalam dada ini. Mengapa, di saat Rani kembali, aku kehilangan hal lain?“Iyan …” Bapak memanggil lirih. Aku menengadahkan wajah, mengamati kulit yang mulai keriput.“Ya, pak …” jawabku lemas.“Kita ke rumah Anti untuk menemui Agam, mungkin, kamu harus meminta maaf pada dia.”“Tidak akan pernah, pak! Apa yang Mas Agam lakukan terhadapku sangat keterlaluan. Dia sudah menyakiti Rani, dan mengambil uangku. Kemarin, merusak barang-barang yang ada di kamar kami.” Bapak terdiam, terlihat kosong pandangannya.“Kamu juga barangkali punya salah sama Mas-mu, Yan … siapa tahu, apa yang menimpamu karena kelakuan kalian terhadap Agam.”“Kelakuan yang mana, Pak? Coba tunjukkan! Kesalahan besarku sama Mas Agama pa? Mas Agam cerai dari Mbak Nia, itu kalian yang menyuruh, Pak! Rani tidak pernah ikut campur dalam rumah ta
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”