Rani
Menikah dengan Mas Iyan, aku seperti mendapatkan anugerah yang sangat besar, menjadi ratu dalam rumahnya. Kulihat Mas Agam orang yang sangat baik.mapan, memiliki gaji yang lebih besar dari suamiku. Hal itu menerbitkan sebuah ide dari Ibu dan Bapak untuk membeli sebuah jimat pengasihan pada seorang dukun beraliran ilmu hitam.
Tidak ada hal yang mudah untuk sebuah usaha, meskipun kita melakukannya menggunakan jalan pintas. Bapak harus mengambil tanaha ku buran dari sesepuh keluarga Mas Iyan. Juga membeli sebuah tulang hewan harimau yang katanya itu ampuh.
Tujuannya agar aku bisa hidup sejahtera di bawah perlindungan kakak iparku. Dan nyatanya berhasil.
Suatu hari, aku kembali mendatangi dukun itu untuk meminta jimat penglaris usaha mie ayam yang kujalani. Beliau tersenyum, menyambut dengan gembira atas kedatanganku untuk yang kedua kalinya.
“Letakkan di bawah tempat tidurmu!”
“Apa ini, Mbah?”
“Itu raja
Berjalan beriringan seperti tadi, melewati pintu besar yang berkilauan seperti terbuat dari emas. Sekelabat bayangan muncul di depan sana, dia adalah dukun yang aku mintai jimat waktu itu. Memandangku dengan tatapan yang aku tidak bisa mengartikan. Ingin memanggil dan meminta tolong tapi, tetap saja, lidah ini tidak bisa bergerak.Dukun itu pergi begitu saja, tanpa berniat mengajak aku kembali ke rumah. Dan sebuah pukulan yang sangat sakit, menyadarkan diriku untuk segera berjalan kembali.Dapur besar lagi, dengan panci-panci yang kosong. Di sana, di tempatku berdiri seperti biasanya, telah ada lagi setumpuk daging. Sesaat, aku seperti lengah dari kegiatan mengiris daging. Sayup-sayup, suara orang mengaji terdengar di telinga ini. Dan aku mendengar Mas Iyan memanggil-manggil namaku. Suara orang membaca surah-surah pendek kian terdengar keras di telinga ini. Dan aku berhasil melihat mereka, anggota keluargaku berkumpul di ruang televisi.Kulihat tubuhku terbaring
“Apa uang kita habis untuk mengobati aku?”“Kamu bertanya apa sih, dek? Jangan pikirkan itu! Yang penting kamu sembuh …”“Aku takut, uangku habis, Mas …”“Besok kita cari lagi …”“Gerobak mie ayamnya masih ‘kan, Mas?”“Iya, masih …”“Aku ingin segera sembuh dan berdagang kembali …”“Makanya, kamu jangan sakit lagi!”“Iya, Mas … aku ingin mengunpulkan uang yang banyak …”“Iya, besok Mas bantu,, ya? Kamu jangan mikir itu dulu!”Tak berapa lama, ibu Rani datang dengan membawa Aira. Rani langsung memeluk tubuh anak kami yang semakin kurus dan tidak terurus.“Ibu, Aira takut dibawa ular … ularnya besar sekali …”Kutinggalkan Rani yang kini ditemani ibunya dan Aira, untuk menemui Ustadz Mirza dan tiga s
Lama kami terdiam, meresapi rasa yang hadir menyeruak dalam dada ini. Mengapa, di saat Rani kembali, aku kehilangan hal lain?“Iyan …” Bapak memanggil lirih. Aku menengadahkan wajah, mengamati kulit yang mulai keriput.“Ya, pak …” jawabku lemas.“Kita ke rumah Anti untuk menemui Agam, mungkin, kamu harus meminta maaf pada dia.”“Tidak akan pernah, pak! Apa yang Mas Agam lakukan terhadapku sangat keterlaluan. Dia sudah menyakiti Rani, dan mengambil uangku. Kemarin, merusak barang-barang yang ada di kamar kami.” Bapak terdiam, terlihat kosong pandangannya.“Kamu juga barangkali punya salah sama Mas-mu, Yan … siapa tahu, apa yang menimpamu karena kelakuan kalian terhadap Agam.”“Kelakuan yang mana, Pak? Coba tunjukkan! Kesalahan besarku sama Mas Agama pa? Mas Agam cerai dari Mbak Nia, itu kalian yang menyuruh, Pak! Rani tidak pernah ikut campur dalam rumah ta
BapakSebagai orang tua, doa terbaik selalu kupanjatkan untuk anak-anakku. Tapi, harapanku kepada Agam harus pupus, saat dia berubah perangai. Dari yang semula bisa menjadi pengayom untuk kami, kini seakan memusuhi.Mungkin, inilah saatnya ujian dalam keluarga ini dimulai. Agam yang sudah tidak nurut lagi, Iyan yang mengalami kehancuran keuangan, dan menantu kesayangan kami Rani mengalami penderitaan yang sangat besar. Ditambah lagi, Eka yang sepertinya pusing mencari uang untuk usaha suaminya di Kalimantan sana. Jadi, dalam kondisi yang serumit seperti sekarang, aku harus memikirkan segala solusinya sendiri.Mendapati Aira yang sangat merindukan Agam, tentu membuat hati ini seperti teriris sembilu. Berkali-kali, mencoba membujuk Iyan, namun tidak bisa.Akhirnya, kuputuskan saja untuk membawa Aira ke rumah Anti untuk bertemu Agam.Bertiga dengan istriku, kami berangkat. Sekalian menjenguk Anti yang sedang hamil. Sengaja berangkat dari rumah jam tig
“Boneka, boneka, cepat ambil boneka, Mbah. Mbah yang ambil bonekanya …” Aira terus merengek.“Makanya, Pak, suruh diam cucu kesayangan Bapak, biar saya bisa menjelaskan.” Anti berujar sewot. Nusri bangun dari tempat duduknya dan hendak mengambil boneka yang ada di lemari.“Bu! Jangan sembarangan. Jangan ambil boneka itu. Itu milik anakku. Yang membelikan ayahnya dulu. Bukan Mas Agam. Jadi, Ibu tidak berhak main ambil sembarangan.”“Daripada Aira nangis, Anti. Saya juga ingin mendengar penjelasan kamu.” Anti terlihat pasrah. Nusri benar-benar mengambil boneka itu dari lemari dan memberikannya pada Aira. Anak itu berteriak kegirangan. Dan segera bermain dengan mainan khas anak perempuan berwarna pink itu.“Main di situ jangan nangis ya, Aira!” Nusri meninggalkan Aira yang duduk di lantai bersandar tembok.“Mas Agam hanya sekitar satu bulan saja di sini. Setelah itu, Mas Ag
Malam harinya, aku bermain ke rumah Udin, hendak membicarakan informasi dari Anti bahwa Agam sudah tidak ada di sana. Sekaligus menanyakan, barangkali Udin tahu tentang hal ini. Mengingat, dari dulu Agam paling dekat dengan adik bungsuku itu.Sampai di sana, aku sangat terkejut dengan jawaban Udin. Berbeda dengan apa yang disampaikan Anti. Tapi, aku lebih percaya Agam. Bagaimanapun, Agam anakku. Yang harus aku bela.“Makanya, Kang, jangan seperti itu sama Agam. Kasihan dia. Bayangkan, harus menjalani semuanya sendiri. Kemarin sudah aku suruh tinggal di sini, tapi dia tidak mau.”“Lhah, Agam itu maunya ya bikin bingung kami. Masa iya, Rani disuruh pergi dari sana? Apa tidak bisa, dia tinggal bersama Rani dan Iyan seperti dulu?”“Ya tidak bisa, Kang. Pasti tidak bisa. Karena keadaannya jauh berbeda. Agam sendiri sakit hati dengan apa yang dilakukan Rani. Apalagi, menurut Agam, bahkan Rani dipinjemi uang saja dia gak mau kasih.
Siang hari, Udin datang ke rumah, dan mengatakan siap menemani aku bertemu Agam.“Aira diajak ya, Din? Dia selalu tanya Pakde-nya terus.”“Tidak usah, Kang! Ini bukan waktu yang tepat. Kalau dibawa juga, belum tentu Agam mau seperti dulu sama Aira. Kalau sikap Agam tidak sesuai dengan apa yang sampean harapkan, apa tidak semakin kasihan Aira-nya? Dia juga belum sembuh total ‘kan? Takutnya nambah penyakit.”Setelah menunggu lama, aku yang menunggu tentunya. Kang Hanif hanya duduk sambil memilin jenggotnya, akhirnya, diputuskanlah untuk kami berangkat hanya berdua.Menembus jalan di tengah hutan yang masih asri, terasa sangat menyegarkan pandangan untuk diriku yang setiap hari berkutat dengan deru suara mesin jahit. Jalan beraspal dengan kanan kirinya berjajar pohon pinus, juga tanaman liar lainnya, semakin menghadirkan kedamaian dalam hati.Sejenak berpikir, pantas saja Agam yang memang sedang dirundung masalah sangat b
Kulempar pandangan mata menembus jendela besar. Nampak di sana, gugusan pegunungan yang berwarna hijau. Dengan sebuah tower menjulang tinggi, menandakan bahwa, di sana ada kehidupan. Panas matahari yang menyengat seolah terserap oleh hembusan udara yang dingin, menjadikan sinarnya terasa hangat bila menyapu kulit. Agam benar-benar menolak untuk pulang ke rumah. Meski aku juga berusaha membujuknya. Bukan tanpa alasan, hanya ingin agar dirinya tidak hidup dalam kesendirian yang sepi.“Apa rencanamu terhadap Anti, Gam?” Tanyaku memecah kesunyian. Hanya gelengan kepala yang kudapat sebagai jawabannya.“Memangnya kamu kenapa sampai seperti itu sama Anti, Gam?” Kang Hanif ikut bertanya.“Bila aku katakan apa itu alasannya, akankah Bapak peduli? Bukankah selama ini, aku seperti anak yang terbuang? Jadi, apa pun yang menimpaku sekarang, akan aku tanggung sendiri, Pak …”“Agam, apa kamu benar-benar tidak peduli lagi