"Ceraikan suamimu, dan jadi milikku selamanya!" Elena tak pernah menyangka pria yang bersumpah mencintainya akan mengkhianatinya. Hatinya hancur, hingga langkah kaki yang linglung membawanya ke sebuah bar—tempat ia bertemu dengan Karl, pria tampan yang dulu pernah mengisi hatinya lima tahun lalu. Dalam pelarian emosionalnya, satu malam bersama Karl berubah menjadi jerat yang sulit dilepaskan. Karl, dengan tatapan dingin penuh obsesi, menginginkan Elena hanya untuk dirinya. Namun cinta ini tak semudah itu. Saat masa lalu dan janji yang pernah diucapkan bertabrakan dengan hasrat yang baru, Elena harus memilih: melawan ketertarikan berbahaya yang Karl tawarkan atau menyerahkan dirinya pada cinta yang penuh risiko. Saat batas antara cinta dan obsesi semakin kabur, akankah Elena menemukan jalan keluar, atau justru tenggelam lebih dalam bersama Karl?
View More“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini
“Kau tidak ingin bangun, hm?”Bisikan Karl meluncur lembut di udara, suaranya sarat dengan kemanjaan dan ketertarikan yang menguar begitu dekat.Jemarinya yang besar dan hangat melingkar di perut Elena, menahan tubuh mungil itu di dalam dekapan paginya.Bibirnya yang sedikit kasar akibat semalaman penuh ciuman mengusik wajah Elena berkali-kali, menelusuri pipinya, kelopak matanya, hingga sudut bibir yang masih tertutup rapat dalam kantuk.Elena menggeliat pelan, tubuhnya seakan tenggelam dalam ranjang yang masih dipenuhi kehangatan sisa semalam.“Eum…” Suara lirihnya lebih mirip desahan malas daripada jawaban.Perlahan, matanya yang kecokelatan membuka, lalu menoleh ke samping, di mana Karl masih terbaring dengan mata mengamati setiap pergerakannya.“Pukul berapa ini?” tanyanya dengan suara serak, lebih mirip gumaman yang terseret di antara kesadarannya yang masih berkabut.Karl tersenyum kecil, jemarinya bermain di helaian rambut Elena yang sedikit berantakan. “Pukul satu siang.”“Wh
“Selera Karl terlalu rendah jika menyukai Elena, wanita yang bahkan oleh Gio pun dibuang!” Suara Jesika meluncur tajam seperti belati yang terhunus di udara, sarat dengan ejekan dan kepedihan tersembunyi.Matanya menyala penuh perlawanan, bibirnya menipis dalam kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga.Federick, alih-alih tersinggung, justru meledak dalam tawa. Tawa rendah yang menggema di dalam ruangan, bergetar dengan nada mengejek.“Justru Gio salah pilih lawan, Jesika.” Ia mengangkat dagunya, menatap Jesika seolah sedang menikmati kejatuhan lawannya.“Dia telah mengkhianati Elena, dan ternyata Elena memiliki pria dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari Gio.”Ia menyipitkan matanya, membiarkan kata-katanya menancap di benak Jesika sebelum mengakhirinya dengan senyum penuh kemenangan. “See? Jangan berharap kau bisa merebut Karl dari Elena!”Jesika mengepalkan tangannya erat, jemarinya bergetar dalam amarah yang berusaha ia tekan. Rahangnya mengeras, menahan keinginannya untuk melaya
Jesika melangkah memasuki gedung The Union dengan penuh keyakinan, sepatu hak tingginya beradu dengan lantai marmer yang mengilap, menciptakan dentingan halus yang berpadu dengan suara detak jam di dinding.Tangannya menggenggam map berisi CV lamaran, seakan itu adalah kunci menuju masa depannya.Matanya menelusuri koridor megah dengan lampu kristal bergelayut di langit-langit, memancarkan cahaya keemasan yang berkilau seperti serpihan bintang.Saat dia akhirnya tiba di depan pintu berukir elegan bertuliskan CEO, hatinya bergetar samar.Jemarinya yang ramping mengetuk permukaan kayu mahoni dengan ritme ragu, seolah mencoba menyesuaikan diri dengan napasnya yang tiba-tiba terasa lebih berat.Namun, yang menyambutnya bukanlah Karl.Seorang pria dengan rahang tegas dan mata sekelam badai berdiri di sana, sorot matanya menusuk seperti belati yang menyusup ke dalam ruang pribadi seseorang tanpa izin.Dingin, berwibawa, dan penuh teka-teki. Jas hitam yang dikenakannya tampak begitu pas, mem
“Hi, Gio? Bagaimana sidang ceraimu? Apakah berjalan dengan lancar?” Jesika membuka percakapan dengan suara yang terdengar ringan, tetapi matanya mengabarkan badai yang mengendap di sudut-sudut jiwanya.Gio, yang duduk di balik meja kerja dengan bahu sedikit menegang, mengangkat kepalanya. Tatapannya kelam, sekelam kabut yang menyelimuti fajar yang enggan datang.“Aku akan memperbaiki semuanya dengan Elena,” katanya datar, nyaris tanpa nyawa, seakan kalimat itu bukan miliknya, melainkan sebuah keputusan yang telah diukir takdir di atas batu dingin.Jesika, yang baru saja meletakkan beberapa dokumen di hadapan pria itu, hanya menatapnya sekilas, sekilas saja.“Ya, aku tahu.” Suaranya lirih, tapi bukan karena rapuh—melainkan karena terlalu lelah untuk menyampaikan lebih dari yang seharusnya.Gio mengerutkan kening. Ada sesuatu yang tidak biasa di sana—sebuah nada yang begitu asing hingga terasa mengganggu."Apa maksudmu?" tanyanya, curiga merayapi dadanya seperti bayangan panjang di sore
“Kurang ajar! Pria tidak tahu diri. Berani sekali kau mengkhianatiku. Argh!” Elena terus mengoceh dalam keadaan mabuk di sebuah minibar yang ada di hotel bintang lima tersebut. Wanita cantik berusia tiga puluh tahun itu tidak terima diselingkuhi oleh sang suami.“Apa yang kau lakukan di sini, Elena?”Wanita itu menoleh pelan setelah mendengar suara dari samping. Penglihatannya yang sudah memudar akibat mabuk, sontak menyipitkan mata menatap sosok pria tegap yang duduk di sampingnya. “Apa kau mengenaliku?” la menatap pria itu yang meski samar-samar, terlihat tampan.“Ada apa denganmu, Elena?” tanya pria itu dengan nada datarnya sembari membantu Elena agar duduk dengan tegap.“Aku ….” Elena menghela napas berat. Baru saja ia hendak berdiri, namun, kakinya terasa lemas hingga akhirnya hanya menatap wajah pria itu. “Apa kau mau menemaniku malam ini?” tanyanya dengan nada menggoda.Pria yang dengan paras wajah yang nyaris sempurna itu mengerutkan keningnya. Ia lalu menggeleng, tak menyik...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments