"Ah! Aku memang bodoh. Aku sangat ceroboh!" keluh Elena sembari mengikat rambutnya yang berantakan.
"Mengapa aku harus bertemu dengannya?" gumam Elena pada dirinya sendiri, suaranya pelan namun penuh penyesalan. "Sudah lima tahun berlalu, bahkan aku telah menikah." Langkahnya membawa dia ke depan sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi, mencakar awan seperti simbol dari ambisi dan kekuasaan. Gedung itu adalah tujuan pertemuannya hari ini, tempat ia harus bertemu dengan seorang klien penting. Setelah memilih sebuah gaun hitam sederhana yang elegan, Elena menggantinya di ruang ganti dengan tergesa. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, memperbaiki riasan seadanya, dan menyisir rambutnya yang sempat berantakan. Ketika pintu lift terbuka, Elena berjalan cepat menuju ruang rapat. Napasnya sedikit memburu saat ia mendorong pintu dan masuk. "Selamat pagi. Maaf, karena saya datang terlambat—" “Selamat datang, Nona Elena.” Senyum tersungging di wajah Karl—senyum yang tidak hanya sekadar ramah, tetapi penuh arti, seperti rahasia yang disembunyikan di baliknya. Sorot matanya yang tajam menelisik Elena dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat wanita itu menelan ludah dengan berat. Elena berdiri di ambang pintu, mencoba menjaga postur tubuhnya agar tetap terlihat tenang, meski perasaan di dalam dirinya berkecamuk hebat. "Kenapa dunia sempit sekali," gumamnya pelan, tapi cukup jelas untuk Karl mendengarnya. “Aku membiarkanmu pergi karena asistenku memberitahu bahwa kau akan datang menemuiku,” jelasnya memberitahu Elena yang tampak terkejut melihat keberadaannya di sana. "Dunia selalu sempit untuk mereka yang memiliki urusan yang belum selesai," lanjutnya kemudian, suaranya rendah namun sarat dengan makna. Dengan langkah hati-hati, Elena berjalan ke arah meja besar di tengah ruangan dan duduk di hadapan Karl. Ia meletakkan tasnya di pangkuan, tangannya meremas-remas tali tas itu, berusaha menenangkan diri. "Aku rasa urusan kita semalam sudah selesai, Karl. Jangan membahasnya lagi," pinta Elena dengan nada memohon. "Tapi, aku tidak bisa melupakannya. Kau sendiri yang menggodaku, Elena. Lalu, kini kau meminta melupakannya?" Senyum miring tersungging di bibir Karl. "Aku tidak akan melakukannya, Elena!" Hening. Elena tidak bisa mengatakan apa pun selain hanya menatap Karl yang kini sedang mengambil proposal yang sudah diletakkan di mejanya. Di sampul proposal itu tertulis nama restoran milik Elena: Elena’s F&B. Karl membukanya perlahan, matanya menyisir setiap halaman dengan cermat. Waktu seolah melambat di ruangan itu, suara detik jam menjadi satu-satunya hal yang terdengar selain napas Elena yang mulai memburu. "Kau sangat membutuhkan dana dariku, hm?" tanya Karl akhirnya, suaranya tenang tetapi menusuk. Elena terdiam sejenak. Pandangannya jatuh pada proposal itu, lalu beralih ke mata Karl yang tajam seperti mata elang, penuh dengan intimidasi yang tidak terucapkan. "Iya," jawabnya pelan. "Aku sangat membutuhkan dana darimu,” sambungnya seraya menatap wajah Karl yang tengah menatapnya dengan mata hazelnya itu. “Baiklah. Bukankah setelah bekerja sama denganmu, itu artinya kita bisa bertemu setiap saat? For information, aku senang membuatmu menggila seperti semalam." Tangan Elena berkeringat mendengar ucapan Karl tadi. "Apakah kau tidak bisa melupakan kejadian itu, Karl? Kenapa kau selalu membahasnya terus menerus?" tanyanya. "Never, Elena. Kau sendiri yang memintaku untuk tidak melupakannya. Kau ingin disentuh lagi dan lagi." Elena menelan ludah. Jujur saja dia tidak ingat apa saja yang dia katakan saat bercinta dengan Karl semalam. Dia mabuk parah sampai membuatnya lupa segalanya. Elena berharap Karl mau melupakan kejadian itu. Namun, nyatanya tidak semudah itu, Karl tidak mau melupakannya. “Baiklah, terserah padamu saja. Tapi, apa pun itu, sebaiknya segera beri aku penjelasan. Kau menerima proposal dariku?” Karl tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak memiliki kehangatan sama sekali. "Ya," jawabnya singkat, sebelum menghela napas panjang. Ia bersandar di kursinya, lalu berkata tanpa ragu, “Dengan syarat yang harus kau terima tentunya." Mata Karl kembali menatap Elena. "Uang yang kau minta tidak sedikit, Elena. Tidak mungkin aku memberimu secara cuma-cuma, bukan?" “Apa itu?” tanyanya dengan nada penasaran yang melingkup di dalam hatinya. Tatapan datar Karl membuat Elena semakin penasaran. Lantas, pria itu dengan cepat mengatakan, "Ceraikan suami gilamu itu dan jadilah patner-ku di atas ranjang. Aku bisa memuaskanmu setiap hari, seperti yang kau inginkan, Elena!""Apa kau gila?" ucapnya, nadanya meninggi, penuh dengan emosi yang terpendam. Karl mengangkat bahunya dengan santai, lalu mengarahkan matanya kembali pada Elena, tatapannya datar dan tanpa kompromi. "Suamimu yang gila, Elena. Bukan aku," jawabnya singkat, seolah pernyataannya adalah fakta yang tidak perlu diperdebatkan. Elena menarik napas panjang, mencoba menenangkan amarah yang mulai memuncak. "Ya, anggap saja begitu. Suamiku memang gila," katanya akhirnya, suaranya melemah saat rasa lelah meresap ke dalam dirinya. “Tapi, sebagai teman tidurmu … aku rasa kau yang gila, Karl!” ucap Elena dengan raut wajah kesalnya pada pria arogan di hadapannya ini. "Seperti yang kau katakan semalam." Karl mendekat menatap wajah Elena yang tampak tegang. "Kau sangat lihai di atas ranjang, Elena," bisiknya mengingatkan Elena tentang ucapannya semalam. "Dan aku mengakui itu. Selama ini aku tidak pernah menemukan wanita seliar dirimu. Dan aku rasa, kau sangat cocok menjadi teman tidurku."
"Dengar, Karl. Dia memang mengkhianatiku, tapi aku harus mencari tahu lebih dulu apa yang sebenarnya terjadi," ucap Elena dengan nada lirih, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri.Karl menyandarkan tubuhnya ke belakang, menatap Elena dengan senyum mengejek yang penuh makna. "Sekarang jelaskan," katanya, suaranya rendah namun penuh desakan, "apa yang terjadi sebelum kau masuk bar lalu mengajakku bercinta?""Atau sebenarnya kau sudah mencari tahu tentang perselingkuhan itu?" sambung Karl. "Tidak! Aku tidak tahu jika Gio selingkuh," jawab Elena datar. Ia menelan ludah dengan susah payah. Kata-kata Karl seperti cambuk yang menyentak pikirannya kembali ke momen-momen yang ingin ia lupakan. Bayangan itu muncul lagi, menghantam relung hatinya dengan kasar. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri meskipun dadanya terasa sesak."Aku... aku membawakan makan siang untuknya," katanya dengan suara bergetar. "Aku pikir itu kejutan kecil yang menyenangkan. Tapi..." Elena ber
"A-aku...."Elena masih diliputi keraguan.Namun, Karl tidak memberikan gadis itu banyak waktu untuk berpikir. "Terlalu bodoh jika kau tetap bertahan meski sudah diselingkuhi, Elena." Karl menatap wanita itu dengan senyuman penuh arti. "Lagi pula, apa untungnya mempertahankan suami tidak berguna seperti itu? Apa dia bisa menolongmu ketika kau butuh bantuan seperti ini? Atau... kau masih mengharap dapat anak darinya?"Elena langsung terkesiap. "Tidak." Sisi emosinya kembali bergejolak. "Aku pastikan, aku akan bercerai. Aku juga tidak sudi mengandung anaknya." Elena duduk di kursi dengan tubuh yang sedikit tegang, menatap tangan-tangannya yang saling menggenggam erat di atas meja. Ia sudah menimbang-nimbang cukup lama, bahkan terlalu lama. Keputusannya ini akan mengubah segalanya. Ia mengangkat kepala, menatap Karl yang duduk santai di depannya, wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi."Jadi, bagaimana keputusanmu, Elena?" Karl menyilangkan tangan di dada, pandangannya tajam namun p
"Dari mana saja kau, Elena? Kenapa kau tidur di luar lagi?" tanya Gio dengan nada yang mencampurkan rasa khawatir dan kesal.Malam itu, Elena baru saja tiba di rumah setelah seharian sibuk. Wajahnya terlihat lelah, namun sikap dinginnya semakin terasa begitu ia melangkah masuk.Elena menoleh pelan, menatap Gio dengan tatapan dingin yang tak bisa disembunyikannya. "Meeting dengan klienku," jawabnya tanpa emosi. "Kau pun tahu restoranku sedang di ambang bangkrut."Gio berkacak pinggang, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Sudah kukatakan padamu, Elena. Aku akan membantumu—""Tapi, kapan?" potong Elena cepat, suaranya mengandung nada tajam yang selama ini jarang ia tunjukkan. Wajahnya tetap datar, namun matanya memperlihatkan kekecewaan yang mendalam."Kau hanya menjanjikan, tapi tidak pernah kau lakukan. Harus menunggu restoranku gulung tikar dulu, baru kau akan membantuku?" lanjutnya tanpa memberi Gio kesempatan berbicara.Elena menggeleng pelan, seolah tak percaya dengan janji-jan
“Silakan duduk,” titah Elena, suaranya terdengar datar namun berusaha tetap sopan.Karl menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan postur santai. Ia menyilangkan kakinya dengan elegan, lalu menatap Gio dan Elena yang duduk berdampingan. Pandangannya terfokus pada tangan Gio yang melingkar di pinggang Elena.“Kau sangat mencintai istrimu, ya?” tanya Karl dengan nada dingin yang hampir seperti ejekan. “Sampai-sampai kau tidak ingin melepaskan tanganmu di pinggangnya?”Gio menaikkan alis, jelas merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Namun, ia menjaga nadanya tetap tenang. “Tentu saja,” jawabnya pendek, berusaha tidak terpancing.“Oh!” Karl menyunggingkan senyum kecil yang tampak lebih seperti provokasi. “Kedatanganku ke sini hanya untuk satu hal. Mengantarkan kontrak kerja sama dengan restoran Elena.”Gio mengerutkan keningnya, terkejut. “What? Tunggu dulu. Perusahaan sebesar milikmu—The Blue Company—benarkah ingin bekerja sama dengan restoran kecil seperti milik Elena?”Karl mendonga
“Apa kau akan menuntut hal itu terus-menerus padaku, Karl?” tanya Elena dengan suara bergetar, meski matanya tetap mencoba menentang sorot mata tajam pria di depannya.Karl tetap duduk di sampingnya, wajahnya tak menunjukkan belas kasih. “Dan kau sudah tahu jawabannya. Kenapa masih bertanya seolah aku akan melupakan apa yang sudah kita lewati, hm?”Nada suaranya rendah, namun setiap kata yang terucap bagaikan belati dingin yang menggores sisi rapuh hati Elena.Seolah tak puas dengan hanya kata-kata, Karl mengangkat tangan, jemarinya yang kokoh menggenggam dagu Elena dengan tegas namun penuh kendali.Mata mereka bertemu—mata hitam Karl seperti jurang tak berdasar yang menelan segala logika. “Jangan pernah berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja,” bisiknya pelan, nyaris seperti janji gelap yang bergetar di udara.Ketika tangan Karl akhirnya melepaskan dagunya, Elena merasakan jantungnya berdegup tak beraturan, seakan baru lepas dari cengkeraman sesuatu yang menakutkan dan menggetarka
“Dari mana kau mendapatkan foto itu?” suara Elena menggema pelan namun tajam ketika langkahnya berakhir di ambang restoran yang remang dengan cahaya lilin. Wajahnya mengeras, matanya berkilat oleh campuran cemas dan ketakutan.Karl menyambut kehadirannya dengan angkuh, seolah waktu dan masalah adalah sekadar angin yang lewat di tepi kesadarannya.Alis pria itu terangkat, mencerminkan rasa penasaran yang nyaris sinis. “Kenapa? Kau terlihat begitu terguncang,” ujarnya ringan, seulas senyum bermain di bibirnya yang dingin, sedingin hati yang tampaknya tak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia Elena.“Karl,” suara Elena sedikit bergetar, menggambarkan perjuangan batin yang nyaris tak tertahankan, “kau masih sendiri, dan aku—aku sudah bersuami. Jika foto itu tersebar, semua orang akan menganggapku wanita murahan yang tidak tahu malu. Aku mohon, bantu aku sekali ini saja.”Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti berkonspirasi dengan kegelisahan yang tak terucapkan.Karl mengulurkan
“Aku tidak pernah merasa dicintai olehnya. Dia hanya memikirkan karir dan pekerjaannya,” ucap Elena akhirnya, suara serak itu seolah membawa beban yang terpendam selama bertahun-tahun, membuncah keluar seperti air yang tumpah dari bendungan.Ia menatap Karl dengan sorot mata yang berkabut, rapuh namun tegar, mencari pengertian di wajah pria di hadapannya.Karl menaikkan satu alisnya, sikapnya terkesan acuh namun mengandung tanda tanya yang menusuk. “Atas cinta atau perjodohan?”“Pernikahan kami? Atas dasar cinta,” jawab Elena, bibirnya melengkung pahit seperti menelan pil yang getir.“Aku dan Gio menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun sebelum memutuskan untuk menikah.” Kata-katanya menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang menolak untuk pergi, menyisakan keheningan yang menghantui.Karl menghela napas panjang, aroma red wine yang kaya dan asam menyusup di antara mereka.Ia membawa gelas kristal ke bibirnya, lalu menyesap dengan perlahan, matanya menatap Elena seperti
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini
“Kau tidak ingin bangun, hm?”Bisikan Karl meluncur lembut di udara, suaranya sarat dengan kemanjaan dan ketertarikan yang menguar begitu dekat.Jemarinya yang besar dan hangat melingkar di perut Elena, menahan tubuh mungil itu di dalam dekapan paginya.Bibirnya yang sedikit kasar akibat semalaman penuh ciuman mengusik wajah Elena berkali-kali, menelusuri pipinya, kelopak matanya, hingga sudut bibir yang masih tertutup rapat dalam kantuk.Elena menggeliat pelan, tubuhnya seakan tenggelam dalam ranjang yang masih dipenuhi kehangatan sisa semalam.“Eum…” Suara lirihnya lebih mirip desahan malas daripada jawaban.Perlahan, matanya yang kecokelatan membuka, lalu menoleh ke samping, di mana Karl masih terbaring dengan mata mengamati setiap pergerakannya.“Pukul berapa ini?” tanyanya dengan suara serak, lebih mirip gumaman yang terseret di antara kesadarannya yang masih berkabut.Karl tersenyum kecil, jemarinya bermain di helaian rambut Elena yang sedikit berantakan. “Pukul satu siang.”“Wh
“Selera Karl terlalu rendah jika menyukai Elena, wanita yang bahkan oleh Gio pun dibuang!” Suara Jesika meluncur tajam seperti belati yang terhunus di udara, sarat dengan ejekan dan kepedihan tersembunyi.Matanya menyala penuh perlawanan, bibirnya menipis dalam kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga.Federick, alih-alih tersinggung, justru meledak dalam tawa. Tawa rendah yang menggema di dalam ruangan, bergetar dengan nada mengejek.“Justru Gio salah pilih lawan, Jesika.” Ia mengangkat dagunya, menatap Jesika seolah sedang menikmati kejatuhan lawannya.“Dia telah mengkhianati Elena, dan ternyata Elena memiliki pria dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari Gio.”Ia menyipitkan matanya, membiarkan kata-katanya menancap di benak Jesika sebelum mengakhirinya dengan senyum penuh kemenangan. “See? Jangan berharap kau bisa merebut Karl dari Elena!”Jesika mengepalkan tangannya erat, jemarinya bergetar dalam amarah yang berusaha ia tekan. Rahangnya mengeras, menahan keinginannya untuk melaya