“Aku tidak pernah merasa dicintai olehnya. Dia hanya memikirkan karir dan pekerjaannya,” ucap Elena akhirnya, suara serak itu seolah membawa beban yang terpendam selama bertahun-tahun, membuncah keluar seperti air yang tumpah dari bendungan.Ia menatap Karl dengan sorot mata yang berkabut, rapuh namun tegar, mencari pengertian di wajah pria di hadapannya.Karl menaikkan satu alisnya, sikapnya terkesan acuh namun mengandung tanda tanya yang menusuk. “Atas cinta atau perjodohan?”“Pernikahan kami? Atas dasar cinta,” jawab Elena, bibirnya melengkung pahit seperti menelan pil yang getir.“Aku dan Gio menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun sebelum memutuskan untuk menikah.” Kata-katanya menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang menolak untuk pergi, menyisakan keheningan yang menghantui.Karl menghela napas panjang, aroma red wine yang kaya dan asam menyusup di antara mereka.Ia membawa gelas kristal ke bibirnya, lalu menyesap dengan perlahan, matanya menatap Elena seperti
“Elena. Aku masih tidak menyangka jika investor kita adalah Tuan Karl—pemilik The Blue Company yang lebih sering berkolaborasi dengan restoran bintang lima!”Maia berseru penuh semangat, suaranya riang seperti lonceng kecil yang bergemerincing di udara.Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya berbinar-binar seolah dunia baru saja membuka pintu penuh keajaiban di hadapannya.Elena hanya tersenyum tipis sambil terus memotong bahan-bahan untuk menu baru yang sedang ia persiapkan.Udara di dapur terasa hangat oleh aroma rempah-rempah yang menggoda, namun pikirannya terasa dingin, seperti beban berat yang menekan hatinya tanpa henti.“Dia teman kuliahku lima tahun yang lalu, Maia,” ucap Elena, nada suaranya tenang namun penuh lapisan yang sulit ditebak. “Jadi, tidak ada salahnya membantu sesama teman.”Namun, kenyataan yang sebenarnya tersembunyi jauh di balik kata-kata itu. Karl, dengan tatapan matanya yang tajam dan caranya berbicara yang selalu terukur, tidak pernah benar-ben
“Kalaupun iya, apa yang ingin kau lakukan?” Karl balik bertanya, suaranya mengalun seperti arus sungai yang tersembunyi, dingin namun membawa ancaman.Elena terdiam. Tubuhnya kaku seperti patung marmer yang dihantam badai, hanya suara kecil salivanya yang tertelan memecah keheningan. Dia terdiam, bukan karena tidak tahu jawabannya, tetapi karena Karl, seperti biasa, tidak memberinya ruang untuk sebuah kepastian.“Sebaiknya tidak perlu membahas itu lagi, Karl. Ada apa meneleponku?” katanya, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan suara selembut kapas yang disapu angin.“Apa kau sudah melakukan perintahku?” Suara Karl menjadi lebih tajam, menusuk seperti ujung pisau yang baru diasah. “Menambah menu dan membuang menu yang jarang dipesan oleh konsumen?”“Ya,” jawab Elena dengan nada yang hampir pudar, seperti lilin kecil yang berjuang melawan tiupan angin. “Aku sudah melakukannya sesuai dengan perintahmu. Aku sedang memasak beberapa menu yang kau berikan padaku saat makan malam itu.”“Goo
“Elena? Ada Tuan Karl di ruang kerjamu. Sejak kapan dia ada di sana?” Maia bertanya, menghampiri Elena yang baru saja hendak memasuki ruangannya.Suaranya ringan, tapi pertanyaannya menghempas seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk tengkuk Elena.“Entahlah,” jawab Elena dengan nada yang berusaha terdengar netral, meski dadanya terasa seperti drum yang dipukul tanpa henti.“Dia memang sudah menguasai restoran ini. Akan selalu datang semau hatinya.” Ia berusaha menetralisir detak jantungnya yang terasa semakin menggila, seperti sedang berlomba dengan waktu.Maia terkekeh pelan, suaranya lembut seperti angin musim semi yang hangat. “Begitu rupanya. Ya sudah, sebaiknya temui dia. Investor terbesar harus dilayani dengan baik,” ucap Maia dengan senyum yang terbit di bibirnya, membuat kesannya seolah-olah Karl hanyalah pria dengan kuasa biasa.Namun, kata-kata ‘melayani’ itu menghantam Elena seperti petir di langit cerah. Merinding tiba-tiba menyelimuti tubuhnya.Mendengar istilah itu d
“Kau benar-benar gila, Karl!” desis Elena, suaranya seperti angin yang berhembus dari celah-celah dingin di musim dingin.Tatapannya penuh ketidakpercayaan, berusaha memahami pria di depannya yang dengan entengnya mengakui telah menanamkan benih di rahimnya.“Kau ingin menyalahkanku, hm?” Karl menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat dalam senyum yang lebih menyerupai seringai tajam.“Seharusnya, sebelum menyeretku ke dalam kamarmu, kau siapkan pengaman untukku. Kau pikir aku selalu membawa barang itu setiap hari?”Setiap kata yang keluar dari mulut Karl adalah peluru, menembus tanpa ampun. Elena merasa semakin tersudut, dadanya sesak oleh rasa bersalah dan marah yang bercampur aduk.Ia sontak menepuk keningnya, seperti mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya. Ia menundukkan kepala, kedua matanya terpejam erat, seolah ingin menghilang dari kenyataan yang begitu kejam.Tubuhnya sedikit bergetar, dan dari bibirnya keluar umpatan pelan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.“Aku me
“Tidak perlu, Karl,” tolak Elena, suaranya nyaris tenggelam di antara tarikan napasnya yang gelisah.Ia membuang muka, mencoba menghindari tatapan Karl—tatapan yang seolah menyihir, memerangkapnya dalam keinginan liar yang memancar dari lelaki itu. Seperti seekor predator, Karl tampak siap menerkam mangsanya tanpa ampun.“Aku bisa merawatnya andai memang harus. Semoga saja tidak tumbuh,” gumam Elena dengan nada getir, seolah kata-katanya dapat mengubah kenyataan.Namun, hatinya tahu lebih baik. Ia menggigit bibirnya, merasakan gelombang kekhawatiran yang mencengkeram pikirannya.Masa suburnya adalah fakta yang tak bisa ia abaikan—dan mustahil bila benih itu tak akan berakar. Tetapi, ia tak mau terperangkap dalam percakapan ini lebih dalam.“Tatap aku, Elena,” suara Karl dingin, mengalun seperti angin musim dingin yang menggigit.“Katakan bahwa kau benar-benar tidak membutuhkan aku di sisimu.”Elena berbalik perlahan, memandang wajah Karl yang mematung, namun penuh dengan ketegangan.M
"Hai, Karl!" sapa wanita cantik dengan rambut hitam yang berkilau seperti sutra, duduk anggun di sofa ruang tengah.Senyumnya mengembang, begitu lebar hingga tampak seperti bunga yang sedang mekar, menawarkan kehangatan yang hanya terasa dingin bagi Karl.Karl tidak menanggapi, tubuhnya terasa berat ketika ia menjatuhkan diri di kursi berhadapan dengan kedua orang tuanya dan wanita itu. Tatapannya tajam, seperti angin musim dingin yang memotong tanpa ampun."Aku tidak punya banyak waktu. Sebaiknya segera sampaikan apa yang ingin kalian sampaikan," ucap Karl dengan nada sedingin salju yang mencair terlalu lambat.Alma—ibu Karl—menatap anak sulungnya dengan tatapan penuh harap yang berlapis kecewa.Ia yang sudah menghubungi Karl, tepat ketika sesi bercinta Karl dengan Elena hampir mencapai klimaks. Segala hasrat di sore itu terhenti karena panggilan mendesak seorang ibu.Alma menghela napas panjang, udara keluar dari paru-parunya seperti daun yang perlahan jatuh dari pohonnya."Kau tida
Elena membuka pintu rumahnya. Udara dingin malam itu merayap masuk, menyusup ke dalam ruangan kosong yang sepi tanpa suara."Sudah dipastikan Gio belum tiba di rumah," gumamnya, suaranya bergema lembut di lorong yang sunyi.Ia melepaskan heelsnya dengan gerakan malas, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke sofa ruang tengah, seperti kapal yang akhirnya menyerah pada badai.Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan yang terus menghantui pikirannya. Namun, seperti gelombang yang terus memukul pantai, kenangan tentang Karl kembali hadir tanpa permisi.Elena menghela napas panjang, suaranya terdengar berat, seperti menahan beban yang tak terlihat. Ia mengusap wajahnya dengan pelan, jari-jarinya yang halus menyapu kulitnya yang terasa hangat."Apakah aku baru mengalami pelepasan hanya dengan Karl? Tidak biasanya aku terus mengingat itu," bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.Karl. Nama itu kini menggema di kepalanya, membawa kembali setiap sentuhan, setiap d
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini
“Kau tidak ingin bangun, hm?”Bisikan Karl meluncur lembut di udara, suaranya sarat dengan kemanjaan dan ketertarikan yang menguar begitu dekat.Jemarinya yang besar dan hangat melingkar di perut Elena, menahan tubuh mungil itu di dalam dekapan paginya.Bibirnya yang sedikit kasar akibat semalaman penuh ciuman mengusik wajah Elena berkali-kali, menelusuri pipinya, kelopak matanya, hingga sudut bibir yang masih tertutup rapat dalam kantuk.Elena menggeliat pelan, tubuhnya seakan tenggelam dalam ranjang yang masih dipenuhi kehangatan sisa semalam.“Eum…” Suara lirihnya lebih mirip desahan malas daripada jawaban.Perlahan, matanya yang kecokelatan membuka, lalu menoleh ke samping, di mana Karl masih terbaring dengan mata mengamati setiap pergerakannya.“Pukul berapa ini?” tanyanya dengan suara serak, lebih mirip gumaman yang terseret di antara kesadarannya yang masih berkabut.Karl tersenyum kecil, jemarinya bermain di helaian rambut Elena yang sedikit berantakan. “Pukul satu siang.”“Wh
“Selera Karl terlalu rendah jika menyukai Elena, wanita yang bahkan oleh Gio pun dibuang!” Suara Jesika meluncur tajam seperti belati yang terhunus di udara, sarat dengan ejekan dan kepedihan tersembunyi.Matanya menyala penuh perlawanan, bibirnya menipis dalam kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga.Federick, alih-alih tersinggung, justru meledak dalam tawa. Tawa rendah yang menggema di dalam ruangan, bergetar dengan nada mengejek.“Justru Gio salah pilih lawan, Jesika.” Ia mengangkat dagunya, menatap Jesika seolah sedang menikmati kejatuhan lawannya.“Dia telah mengkhianati Elena, dan ternyata Elena memiliki pria dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari Gio.”Ia menyipitkan matanya, membiarkan kata-katanya menancap di benak Jesika sebelum mengakhirinya dengan senyum penuh kemenangan. “See? Jangan berharap kau bisa merebut Karl dari Elena!”Jesika mengepalkan tangannya erat, jemarinya bergetar dalam amarah yang berusaha ia tekan. Rahangnya mengeras, menahan keinginannya untuk melaya