“Tidak perlu, Karl,” tolak Elena, suaranya nyaris tenggelam di antara tarikan napasnya yang gelisah.Ia membuang muka, mencoba menghindari tatapan Karl—tatapan yang seolah menyihir, memerangkapnya dalam keinginan liar yang memancar dari lelaki itu. Seperti seekor predator, Karl tampak siap menerkam mangsanya tanpa ampun.“Aku bisa merawatnya andai memang harus. Semoga saja tidak tumbuh,” gumam Elena dengan nada getir, seolah kata-katanya dapat mengubah kenyataan.Namun, hatinya tahu lebih baik. Ia menggigit bibirnya, merasakan gelombang kekhawatiran yang mencengkeram pikirannya.Masa suburnya adalah fakta yang tak bisa ia abaikan—dan mustahil bila benih itu tak akan berakar. Tetapi, ia tak mau terperangkap dalam percakapan ini lebih dalam.“Tatap aku, Elena,” suara Karl dingin, mengalun seperti angin musim dingin yang menggigit.“Katakan bahwa kau benar-benar tidak membutuhkan aku di sisimu.”Elena berbalik perlahan, memandang wajah Karl yang mematung, namun penuh dengan ketegangan.M
"Hai, Karl!" sapa wanita cantik dengan rambut hitam yang berkilau seperti sutra, duduk anggun di sofa ruang tengah.Senyumnya mengembang, begitu lebar hingga tampak seperti bunga yang sedang mekar, menawarkan kehangatan yang hanya terasa dingin bagi Karl.Karl tidak menanggapi, tubuhnya terasa berat ketika ia menjatuhkan diri di kursi berhadapan dengan kedua orang tuanya dan wanita itu. Tatapannya tajam, seperti angin musim dingin yang memotong tanpa ampun."Aku tidak punya banyak waktu. Sebaiknya segera sampaikan apa yang ingin kalian sampaikan," ucap Karl dengan nada sedingin salju yang mencair terlalu lambat.Alma—ibu Karl—menatap anak sulungnya dengan tatapan penuh harap yang berlapis kecewa.Ia yang sudah menghubungi Karl, tepat ketika sesi bercinta Karl dengan Elena hampir mencapai klimaks. Segala hasrat di sore itu terhenti karena panggilan mendesak seorang ibu.Alma menghela napas panjang, udara keluar dari paru-parunya seperti daun yang perlahan jatuh dari pohonnya."Kau tida
Elena membuka pintu rumahnya. Udara dingin malam itu merayap masuk, menyusup ke dalam ruangan kosong yang sepi tanpa suara."Sudah dipastikan Gio belum tiba di rumah," gumamnya, suaranya bergema lembut di lorong yang sunyi.Ia melepaskan heelsnya dengan gerakan malas, lalu membiarkan tubuhnya terhempas ke sofa ruang tengah, seperti kapal yang akhirnya menyerah pada badai.Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan yang terus menghantui pikirannya. Namun, seperti gelombang yang terus memukul pantai, kenangan tentang Karl kembali hadir tanpa permisi.Elena menghela napas panjang, suaranya terdengar berat, seperti menahan beban yang tak terlihat. Ia mengusap wajahnya dengan pelan, jari-jarinya yang halus menyapu kulitnya yang terasa hangat."Apakah aku baru mengalami pelepasan hanya dengan Karl? Tidak biasanya aku terus mengingat itu," bisiknya, suaranya hampir tenggelam oleh detak jantungnya sendiri.Karl. Nama itu kini menggema di kepalanya, membawa kembali setiap sentuhan, setiap d
“Untuk apa kau melakukan itu, Karl?” tanya Elena, suaranya keluar dengan serak seperti melodi yang hilang arah, memantul di antara dinding sunyi ruang kerjanya.Karl menoleh perlahan, matanya menatap Elena seperti mata elang yang mengamati mangsanya. “Kau masih bertanya untuk apa aku melakukan ini? Are you seriously?” Nada bicaranya terkesan terkejut, tetapi tatapannya menyiratkan kepastian yang tak terbantahkan.Elena menghela napas panjang, hembusannya terasa berat seperti membawa beban masa lalu yang tak kunjung lepas.“Mau sampai kapan kau akan ikut campur dengan urusan rumah tanggaku?” tanyanya, suaranya bergetar sedikit, mungkin karena mabuk atau mungkin karena patah hati.Karl mengedikkan bahunya dengan acuh, seolah semua pertanyaan Elena adalah debu yang terbang tak berarti. “Aku tidak yakin. Maybe forever?” jawabnya dengan nada ringan yang membuat darah Elena berdesir, entah karena marah atau cemas.Elena memutar bola matanya, lalu mengusap rambut panjang hitam kecokelatan ya
Bukannya menjawab, Karl justru meraup bibir Elena tanpa ragu, seolah jawaban atas pertanyaan wanita itu hanya bisa ditemukan dalam kecupan penuh hasrat yang ia berikan. Bibir Karl bertaut dengan intensitas mendalam, melumat habis bibir ranum Elena, menghilangkan setiap kata yang mungkin ingin ia ucapkan.“Karl ….” Elena mengucapkannya lirih, suaranya serak, hampir seperti bisikan yang tertahan di tengah napas yang memburu. Ia mendorong tubuh Karl dengan lembut, membuat dirinya beringsut menjauh dari duduknya.Matanya menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketakutan. “Bagaimana jika ada yang melihat kita lalu melaporkannya pada Gio? Bukannya aku yang mendapatkan bukti perselingkuhan Gio, malah aku yang akan dituntut olehnya!” Elena meremas jari-jarinya, dadanya naik turun dalam irama napas yang tak beraturan.Namun, seperti biasanya, Karl tampak tak peduli. Telinganya seperti tertutup oleh keinginan yang membakar, matanya menatap Elena dengan sorot yang penuh dominasi. Dengan
“Tidak!” seru Elena, suaranya seperti sebuah gelombang kecil yang memecah keheningan malam.Ia menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang menyerupai ranting lemah diterpa angin dingin, menghindar dari tatapan Karl yang tajam seperti ujung belati, mata yang seolah mampu menembus kedalaman rahasia jiwanya.Sorot itu, penuh tanya dan ketidaksabaran, mendesak tanpa suara, memaksa jawaban atas ke mana langkah kakinya menjauh tadi sore.“Kau tidak mau pulang? Atau menunggu kabar dari Vincent, apa yang akan mereka lakukan setelah ini?”Karl bertanya sambil menyesap vape-nya, kepulan asapnya bergulung seperti kabut tipis yang meliuk di udara, menghapus jejak ketegangan namun meninggalkan jejak aroma pahit.Elena menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, gerakannya lamban seperti daun kering yang lelah bergelayut sebelum jatuh.Tatapannya kosong menembus ruang, seolah-olah ada sesuatu yang tak terjangkau sedang ia cari di cakrawala yang tidak terlihat.“Entahlah,” ucapnya pelan, nyaris seper
“Urusanmu memang urusanku. Tapi, kau tidak berhak menebak apa yang sedang kupikirkan, Elena!” desis Karl, suaranya tajam seperti bisikan ular di kegelapan.Tangannya yang kuat menahan gerakan Elena, menghentikan jemari wanita itu yang berusaha menyentuh tengkuknya, seolah sentuhan itu bisa membakar kendali yang masih tersisa.Elena menaikkan alisnya, senyumnya terbit seperti bulan sabit yang menggoda, memancarkan cahaya dingin di tengah gelap.“Kenapa? Kau baru saja bertemu dengan seorang wanita dan bercinta dengannya?” tanyanya, nadanya menggantung, seperti angin malam yang membawa bisikan dosa.“Jaga bicaramu!” sergah Karl, suaranya meledak dengan ketegasan yang dingin. “Aku sudah memiliki mainan, tidak membutuhkan mainan yang lain!”Kalimat itu, tajam seperti belati, menembus langsung ke hati Elena. Kata-kata Karl menggantung di udara, menjadi bayangan yang mencabik-cabik perasaannya.Tubuhnya tetap berdiri tegak, tapi jiwanya terasa goyah. Ia terdiam, hanya senyum miris yang tersi
“Jangan melamun, Elena.”Maia menepuk pundak Elena yang duduk termenung di depan meja kayu dengan tumpukan kertas dan buku menu di atasnya. Elena menoleh perlahan, menghela napas panjang seperti ingin mengusir beban berat di dadanya.“Ada apa? Kau menunggu kehadiran sang investor yang sudah dua minggu ini tidak pernah datang menemuimu?” tebak Maia, bibirnya melengkung dengan senyum tipis.Elena menatap Maia sejenak sebelum mengusap wajahnya perlahan. “Aku hanya bingung, kenapa dia tidak pernah datang? Padahal hobinya itu merusak mood-ku setiap kali muncul.”Maia terkekeh pelan. “Pertanyaanku belum kau jawab, Elena. Kau menaruh hati padanya?”Elena mendengus pelan, mencoba menahan senyuman yang hampir tersungging di wajahnya. “Kenapa kau berpikir aku menaruh hati padanya?” tanyanya, suaranya sedikit lebih tegas kali ini.“Tidak ada yang salah di saat sepasang suami istri yang mulai renggang untuk mencari penggantinya,” jawab Maia, setengah bercanda, namun nadanya terdengar serius.Ele
“Kau mau membawaku ke mana, Karl?” tanya Elena, suaranya sedikit terangkat untuk melawan suara deru mesin speedboat yang membelah permukaan laut biru.Karl menoleh sejenak, matanya yang tajam namun hangat memandang Elena sebelum kembali fokus pada kemudi.“Pergi ke beach club yang tak jauh dari pulau ini,” jawabnya ringan.Elena terdiam. Ia memandangi buih ombak yang terpecah di sisi speedboat, sementara angin membawa aroma asin laut yang khas.Beach club… sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Kesibukannya mengelola restoran miliknya seolah telah menelan seluruh waktunya.Bertahun-tahun ia larut dalam ambisi dan kerja keras hingga melupakan hal sederhana seperti menikmati hidup.Setengah jam berlalu. Perlahan, di hadapan mereka mulai terlihat bangunan berarsitektur tropis dengan atap jerami yang menjulang, diapit oleh deretan pohon kelapa yang menari-nari di bawah belaian angin.Musik chill-out berdentum lembut dari kejauhan, berpadu dengan suara tawa dan
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini
“Kau tidak ingin bangun, hm?”Bisikan Karl meluncur lembut di udara, suaranya sarat dengan kemanjaan dan ketertarikan yang menguar begitu dekat.Jemarinya yang besar dan hangat melingkar di perut Elena, menahan tubuh mungil itu di dalam dekapan paginya.Bibirnya yang sedikit kasar akibat semalaman penuh ciuman mengusik wajah Elena berkali-kali, menelusuri pipinya, kelopak matanya, hingga sudut bibir yang masih tertutup rapat dalam kantuk.Elena menggeliat pelan, tubuhnya seakan tenggelam dalam ranjang yang masih dipenuhi kehangatan sisa semalam.“Eum…” Suara lirihnya lebih mirip desahan malas daripada jawaban.Perlahan, matanya yang kecokelatan membuka, lalu menoleh ke samping, di mana Karl masih terbaring dengan mata mengamati setiap pergerakannya.“Pukul berapa ini?” tanyanya dengan suara serak, lebih mirip gumaman yang terseret di antara kesadarannya yang masih berkabut.Karl tersenyum kecil, jemarinya bermain di helaian rambut Elena yang sedikit berantakan. “Pukul satu siang.”“Wh