“Tidak!” seru Elena, suaranya seperti sebuah gelombang kecil yang memecah keheningan malam.Ia menggelengkan kepalanya dengan gerakan yang menyerupai ranting lemah diterpa angin dingin, menghindar dari tatapan Karl yang tajam seperti ujung belati, mata yang seolah mampu menembus kedalaman rahasia jiwanya.Sorot itu, penuh tanya dan ketidaksabaran, mendesak tanpa suara, memaksa jawaban atas ke mana langkah kakinya menjauh tadi sore.“Kau tidak mau pulang? Atau menunggu kabar dari Vincent, apa yang akan mereka lakukan setelah ini?”Karl bertanya sambil menyesap vape-nya, kepulan asapnya bergulung seperti kabut tipis yang meliuk di udara, menghapus jejak ketegangan namun meninggalkan jejak aroma pahit.Elena menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, gerakannya lamban seperti daun kering yang lelah bergelayut sebelum jatuh.Tatapannya kosong menembus ruang, seolah-olah ada sesuatu yang tak terjangkau sedang ia cari di cakrawala yang tidak terlihat.“Entahlah,” ucapnya pelan, nyaris seper
“Urusanmu memang urusanku. Tapi, kau tidak berhak menebak apa yang sedang kupikirkan, Elena!” desis Karl, suaranya tajam seperti bisikan ular di kegelapan.Tangannya yang kuat menahan gerakan Elena, menghentikan jemari wanita itu yang berusaha menyentuh tengkuknya, seolah sentuhan itu bisa membakar kendali yang masih tersisa.Elena menaikkan alisnya, senyumnya terbit seperti bulan sabit yang menggoda, memancarkan cahaya dingin di tengah gelap.“Kenapa? Kau baru saja bertemu dengan seorang wanita dan bercinta dengannya?” tanyanya, nadanya menggantung, seperti angin malam yang membawa bisikan dosa.“Jaga bicaramu!” sergah Karl, suaranya meledak dengan ketegasan yang dingin. “Aku sudah memiliki mainan, tidak membutuhkan mainan yang lain!”Kalimat itu, tajam seperti belati, menembus langsung ke hati Elena. Kata-kata Karl menggantung di udara, menjadi bayangan yang mencabik-cabik perasaannya.Tubuhnya tetap berdiri tegak, tapi jiwanya terasa goyah. Ia terdiam, hanya senyum miris yang tersi
“Jangan melamun, Elena.”Maia menepuk pundak Elena yang duduk termenung di depan meja kayu dengan tumpukan kertas dan buku menu di atasnya. Elena menoleh perlahan, menghela napas panjang seperti ingin mengusir beban berat di dadanya.“Ada apa? Kau menunggu kehadiran sang investor yang sudah dua minggu ini tidak pernah datang menemuimu?” tebak Maia, bibirnya melengkung dengan senyum tipis.Elena menatap Maia sejenak sebelum mengusap wajahnya perlahan. “Aku hanya bingung, kenapa dia tidak pernah datang? Padahal hobinya itu merusak mood-ku setiap kali muncul.”Maia terkekeh pelan. “Pertanyaanku belum kau jawab, Elena. Kau menaruh hati padanya?”Elena mendengus pelan, mencoba menahan senyuman yang hampir tersungging di wajahnya. “Kenapa kau berpikir aku menaruh hati padanya?” tanyanya, suaranya sedikit lebih tegas kali ini.“Tidak ada yang salah di saat sepasang suami istri yang mulai renggang untuk mencari penggantinya,” jawab Maia, setengah bercanda, namun nadanya terdengar serius.Ele
Malam itu, Elena terkejut ketika melihat Gio berdiri di depan rumahnya, menunggunya. Ia bahkan belum sempat mengunci pintu saat pria itu memanggilnya.“Kenapa menjemputku? Aku bisa datang sendiri ke sana,” ucap Elena dengan nada datar, sembari mengamati ekspresi Gio yang tampak tegang.“Memangnya kenapa?” Gio membalas dengan nada yang terdengar tajam. “Aku rasa, rata-rata istri selalu ingin dijemput jika akan pergi keluar. Tapi, tidak denganmu. Justru sepertinya enggan aku jemput. Ada apa? Kau menyembunyikan sesuatu dariku?”Elena mengerutkan keningnya, sedikit tersentak dengan tuduhan itu. Ia mencoba menutupi perasaannya, lalu menyunggingkan senyum tipis. “Kau mencurigaiku?”Gio tidak membalas dengan kata-kata. Ia hanya mengarahkan tatapan tajam, seolah mencari jawaban dalam diam. “Aku sedang tidak ingin berdebat. Sebaiknya masuk ke mobilku!” ucapnya dengan nada perintah.Elena mendesah pelan. Tanpa berkata apa-apa, ia melangkah masuk ke dalam mobil Gio. Namun, pikirannya segera dipe
“Ya. Aku mengenalnya,” jawab Karl, tatapan matanya tidak lepas dari Elena yang hanya diam mematung.“Oh, ya? Siapa dia, Karl? Kenapa kenalan wanitamu banyak sekali,” ujar Ericka, mendesah kesal sambil menyilangkan tangan di depan dada.Wajahnya menunjukkan ketidaksenangan. Sudah biasa baginya menemukan Karl berbincang dengan wanita lain, mengingat reputasi pria itu sebagai seorang casanova.Elena menarik napas panjang, mencoba meredakan kegelisahan yang mulai menguasai pikirannya.“Bukan siapa-siapa. Aku hanya teman kuliah Karl. Kebetulan kami satu kelas,” jawab Elena, menyunggingkan senyum tipis yang lebih terlihat dipaksakan.“Ah, hanya teman kuliah,” balas Ericka dengan nada sinis, senyumnya sedikit menantang. “Aku Ericka, calon tunangan Karl.”Kalimat itu seperti petir di siang bolong. Karl menoleh perlahan ke arah Ericka, matanya menunjukkan keterkejutan yang tak mampu ia sembunyikan. Calon tunangan? Bagaimana bisa Ericka menyebut dirinya begitu?Elena mendengar pengakuan itu dan
Elena menggelengkan kepalanya dengan cepat, matanya penuh kemarahan bercampur ketakutan."Tidak!" teriaknya lantang, suaranya bergetar namun penuh tekad. "Aku tidak mau memiliki anak denganmu!" tambahnya, menatap Gio dengan pandangan tajam.Gio mengerutkan kening, wajahnya memerah oleh amarah. "Kenapa? Apa kau tidak lelah terus-menerus ditanyakan kapan memberi cucu oleh orang tuaku?" desaknya, tangannya mencoba memaksa membuka pakaian Elena."Aku tidak peduli!" Elena berteriak, tubuhnya meronta-ronta, mencoba melawan cengkeraman Gio. "Aku tidak mau memiliki anak denganmu!"Gio semakin gelap, suaranya berubah menjadi desisan dingin. "Karena kau mencintai Karl? Kau selingkuh dengannya, kan? Sejak pertama kali aku melihatnya di restoranmu, aku sudah tahu ada sesuatu antara kalian!"Elena menatap Gio dengan sorot mata yang penuh rasa muak. "Kau gila, huh? Karl sudah memiliki tunangan! Untuk apa aku selingkuh dengannya?" ucapnya dengan suara lantang, meski tubuhnya terus berusaha melawan k
Elena terduduk di lantai, tubuhnya bergetar menahan emosi. Air mata terus mengalir di pipinya yang memerah.Dia mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, lalu mengumpat dengan suara penuh luka.“Brengsek!” suaranya pecah, penuh kemarahan dan kepedihan.Gio, yang berdiri tak jauh darinya, menoleh dengan ekspresi dingin. Matanya menatap Elena seperti singa yang siap menerkam.“Menurut saja padaku apa susahnya, Elena? Jika kita memiliki anak, kau juga yang untung,” katanya tanpa emosi, seolah-olah semuanya adalah hitungan logis belaka.Elena mendongak, menatap Gio dengan penuh kebencian. “Aku tidak membutuhkan itu, Gio! Kau yang terobsesi menginginkan segalanya. Namun, ayahmu tidak percaya padamu. Seharusnya kau paham itu,” ucapnya tajam, suaranya bergetar penuh keberanian.Plak!Tangan Gio melayang cepat, menampar wajah Elena dengan keras. Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat Elena tersentak mundur.Pipinya memerah, panas akibat kekuatan tamparan Gio. Wanita itu meringis kesak
“Halo, Maia?”Suara itu, dalam dan penuh wibawa, menusuk keheningan pagi seperti petir yang menyambar langit cerah.Maia menoleh dengan gerakan lambat, hampir enggan. Matanya membulat saat mendapati Karl berdiri di sana, sosoknya memancarkan aura maskulin yang dingin namun memikat, seperti patung pualam yang baru saja hidup.“Selamat pagi, Tuan Karl. Ada yang bisa dibantu?” tanyanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya di balik nada sopan yang nyaris sempurna.Tetapi di dalam dadanya, jantungnya berdegup seperti genderang perang. Kehadiran Karl, yang begitu lama menghilang seperti kabut musim gugur, kini tiba-tiba kembali seperti badai yang tak terduga.“Apa Elena ada di dalam?” tanyanya, suaranya berat seperti langit sebelum hujan.Maia menggeleng pelan, gerakannya seperti daun yang berguguran. “Sudah dua hari ini Elena tidak datang ke restoran, Tuan. Bahkan pesan yang kukirim pun tidak dia balas,” katanya, suaranya nyaris tenggelam dalam gelombang kecemasan yang tak terucapkan.Kar
Dua hari telah berlalu sejak Karl mengklarifikasi semua tuduhan yang Gio lemparkan padanya. Semua telah berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan.Tidak ada lagi tatapan curiga dari orang-orang, tidak ada lagi bisik-bisik di belakangnya. Segala fitnah yang pernah menyesakkan dadanya kini telah menguap bersama kenyataan.“Hari ini kau yakin tidak ingin kuantar?” tanya Karl, yang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan menyilang di dada. Tatapannya penuh perhatian, meski tersirat nada pasrah dalam suaranya.Elena menoleh dan tersenyum kecil. “Aku yakin. Di sana ada Maia dan staf lainnya. Lagipula, aku bisa menjaga diri.”Karl menghela napas, lalu berjalan mendekat, mengusap lembut pipi istrinya. “Aku tahu kau bukan anak kecil yang harus kujaga dua puluh empat jam, tapi tetap saja… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”Elena menepuk lembut tangan Karl yang masih bertengger di pipinya. “Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”Karl masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangg
“Argh! Berengsek! Karl sialan!”Gio menghantam vas bunga ke dinding, pecahannya beterbangan, menghiasi lantai apartemennya yang sudah berantakan.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam gelombang amarah yang tak terbendung. Meja di depannya dihantam dengan satu pukulan keras, menyebabkan gelas dan piring berhamburan, pecah menjadi serpihan kecil."Bajingan!" pekiknya penuh amarah, matanya merah menyala seperti bara api.Tangannya meraih bingkai foto yang ada di rak, dilemparkannya dengan kasar hingga kaca fotonya pecah berantakan. Rahangnya mengeras, otaknya terus dipenuhi satu pertanyaan: Dari mana Karl tahu?Selama ini, ia menyimpan rapat-rapat fakta bahwa ia mandul. Tak ada seorang pun yang tahu, tak ada seorang pun yang seharusnya tahu! Namun entah bagaimana Karl menemukan kelemahannya. Berengsek!“Kau sudah menyulutkan api dalam hidupku, Karl. Apa kau tahu, aku sangat membencimu, semakin membencimu karena sudah membuatku hancur!” pekiknya dengan dada naik turun karena amarahny
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu