"Jawab Yudhi! Kamu jijik padaku?" Jeritnya semakin histeris, pengaruh obat itu benar-benar membuatnya gila untuk mendapatkan sentuhan dari seorang pria. Yudhi kembali memeluk Marrie, menenangkannya agar tidak terus menjerit. Dikecupnya pucuk kepala gadis itu dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang. "Lakukanlah Yudh, aku mohon hapuslah," lirihnya kembali di sela-sela isakan tangisnya. Yudhi menelan salivanya kasar, untuk pertama kali dia harus melakukan hal-hal tidak bermoral ini. Yudhi memejamkan matanya, perlahan mendekatkan bibirnya pada bibir gadis kesayangannya. Menyesapnya, merasakan manisnya bibir itu. Marrie duduk dipangkuan Yudhi, mengalungkan tangannya pada leher Yudhi, meremas rambut pria itu dengan brutal dan menggesekkan kewanitaannya pada celana Yudhi yang mulai terasa menonjol. "Akh, Yudh," desahnya kala bibir Yudhi mulai mencumbunya. Rasa kasar dari lidah pria itu benar-benar memberikan sensasi menggelitik dan merasakan kenikmatan nirwana dunia. Sial, Yudhi benar-benar tidak bisa mengendalikan dirinya. Tubuh gadis itu telah membangkitkan birahinya. "A-aku telah melecehkannya, aku harus bertanggung jawab!" gumamnya dalam hati. Satu malam yang merubah segalanya, Marrie terpaksa bertunangan dengan Yudhistira yang merupakan sahabat dari cinta pertamanya, karena paksaan keluarga besarnya Dapatkah ia bertahan dalam hubungan tanpa rasa? Terlebih saat Dimas tiba-tiba datang dan mencoba merebut hatinya kembali. "Marrie, aku benar-benar mencintaimu. Aku mohon percayalah, hargai perasaanku sebagai tunanganmu."
View MoreSeorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb
Mentari kembali ke peraduannya, menyiratan warna jingga di hamparan luas cakrawala negeri Ratu Elizabeth.Seorang gadis berkulit putih tampak berjalan dengan sangat tergesa-gesa di bandara.Gadis konglomerat itu baru saja kembali dari luar kota untuk mengurus pekerjaan yang terpaksa ditinggalkan kakak pertamanya. Gadis blonde bernama Marrie itu nampak sibuk menerima panggilan telepon, dengan berkas-berkas dan tas yang dijinjingnya. Hingga ia tak memperhatikan langkahnya dan terpeleset karena menginjak lantai yang masih basah. BRAKKKK!!! Seluruh berkas yang berada di tangannya berhamburan. Bukan hanya itu, ia juga terpaksa menahan sakit dan malu karena pandangan orang-orang seketika tertuju padanya.Gadis itu berusaha untuk bangkit, namun terjatuh kembali karena rasa sakit di pergelangan kakinya. Hingga seseorang nampak mengulurkan tangannya untuk membantu Marrie bangkit, membuat gadis itu terperangah bahkan tak berkedip melihat pria gagah ber
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments