Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah milik Indah, tepatnya rumah yang pernah Mikha dan keluarganya tempati di Tabalong.
Keluarlah sosok pria bertubuh tegap dan seketika di sambut oleh seorang scurity bernama Fajar."Pagi mas Dimas, wah apa kabar nih? Sudah lama gak keliatan," tanya Fajar dengan ramah, dan di balas senyuman oleh Dimas."Alhamdulillah baik, iya belakangan ini saya sibuk. Oh ya, Nona Indah ada?" tanyanya kembali, yang belum mengetahui jika Indah telah menikah dan mengikuti sang suami untuk kembali tinggal di Inggris.
Fajar mengulas seutas senyuman dan mulai membuka mulutnya, "Wah ketinggalan berita, Nona Indah sudah menikah mas dan sekarang tinggal di London dengan suaminya. Jadi rumah ini kosong, cuma kami para pekerja yang menempatinya," tuturnya.
"Boleh saya minta nomor ponsel Indah atau Mikha?" pintanya kembali karena sepertinya dua wanita itu telah mengganti nomer ponselnya. Namun Fajar nampak bergeming dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ng-Nganu mas, aduh gimana ya. Nganu, kata suaminya Nona Indah, kami gak boleh kasih tau privasinya kemana-mana," tuturnya kembali dengan gugup karena merasa tidak enak hati, Jhon dan Maxim yang terlampau posesif memang sengaja bertitah seperti itu.
"Tapi saya ada nomer ponsel suaminya Nona Indah, mungkin mas Dimas mau?" tanyanya kembali dan mengeluarkan benda pipih ajaib itu dari saku celananya."Boleh, saya sangat membutuhkannya," Dimas nampak kembali tersenyum, setidaknya ia sama sekali tidak kehilangan jejak gadis yang ia cari.
Dimas kembali menuju asramanya, pria itu nampak menghela napasnya kasar dan menatap jejeran nominal yang tertulis pada buku tabungannya.
"Uangku hanya cukup untuk membeli tiket perginya saja, sedangkan sekarang ibu sedang sakit dan pasti membutuhkan biaya lebih," gumamnya lirih, mengingat harga pesawat kelas ekonomi saja mencapai 10 juta lebih dalam'' sekali penerbangan, untuk sampai ke negeri Ratu Elizabeth tersebut.Kini pandangannya beralih pada sepucuk surat yang berada di atas koper yang tersimpan rapih di samping ranjangnya. Dimas nampak begitu frustasi, berkali-kali ia mengusap kasar wajah tampannya.
Hari itu adalah hari terakhir ia bertugas di Tabalong karena besok ia akan di mutasi ke Markas besar yang berada di Jakarta.
Walaupun seluruh keluarganya berada di Jakarta namun entah mengapa, ia sangat berat meningalkan tanah Borneo yang telah mengukir banyak kenangan untuknya.Cklek
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, Yudhi melangkahkan kakinya masuk dengan pandangan menatap sahabatnya yang tengah merenung.
"Kenapa? Masih galau lagi?" tanyanya seraya duduk di tepian ranjang tepat di samping Dimas."Bro, Lu boleh kecewa tapi dalam kasus ini memang perasaan lu yang salah. Gak seharusnya lu cinta sama istri orang dan sekarang malah dendam ke adik iparnya, itu sangat kekanak-kanakan," tutur Yudhi dan mengambil sebuah lollipop berbentuk kaki dari dalam sakunya.
Dimas masih bergeming, dia memang sudah menyesali sikapnya kepada Marrie namun apa boleh buat, kini jarak memisahkan mereka.
"Iya gue sadar, sekarang gue bingung harus bagaimana. Gue sama sekali gak punya kontaknya, mau menyusul tapi tabungan gue gak cukup," lirihnya menatap buku tabungan yang berada di tangannya.
Yudhi tersenyum dan menepuk pundak sahabatnya, "Cinta itu butuh perjuangan, kalau lu menyesal dan ingin memperbaiki semuanya. Maka, berjuanglah! Gue yakin lu bisa," tuturnya menyemangati Dimas.
................
Tiga hari berlalu. Setelah mendarat di negara tujuan, tanpa ingin membuang waktu Marrie segera menuju sebuah asrama militer yang menjadi tempat tinggal Dimas selama ini di Kalimantan. Baru saja ia menuju pos penjaga, gadis blonde itu berpapasan dengan Yudhi yang berkebutulan mengenali dirinya.
"Maaf, Nona," sapa Yudhi, dengan senyuman ramah.
Marrie menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke sosok pria yang tengah berdiri di belakangnya dengan sebuah koper besar di sisi kanannya."Anda mencari Dimas?" tanyanya kembali dengan permen lollipop berbentuk kaki yang setia berada di mulutnya.
Gadis blonde itu mengeryitkan keningnya lalu berjalan menghampiri Yudhi.Yudhi mengulurkan tangan kanannya dan mengulas sebuah senyuman, "Saya Yudhi, sahabat Dimas.""Saya Marrie," jawab Marrie tersenyum seraya membalas jabatan tangan Yudhi.
"Saya dan Dimas di pindahkan tugaskan di Jakarta. Dimas sudah terlebih dahulu kesana berhubung ibunya juga lagi sakit dan saya baru ingin berangkat," ucapnya tanpa berbasa basi, karena ia paham bahwa gadis blonde di hadapannya itu pasti tengah ingin menemui sahabatnya.
"Apa kamu bisa mengantarkan saya menemui Dimas?" tanya Marrie antusias. Yudhi tersenyum dan menganggukkan kepalanya, hingga akhirnya mereka berangkat bersama menuju Ibukota menggunakan pesawat komersial. Marrie memang sengaja tidak menggunakan pesawat pribadinya ke Ibukota, karena ia tidak ingin identitasnya ketahuan yang selalu membuat sebagian orang-orang memanfaatkannya dan sebagian lagi merasa tidak percaya diri dan berakhir menjauhinya.
Sepanjang perjalanan gadis blonde itu tiada henti-hentinya berceloteh, menceritakan awal muasal pertemuannya dengan Dimas hingga penantian tidak jelasnya hingga bertahun-tahun. Yudhi pun tampak nyaman berbincang dengannya karena Marrie memanglah gadis yang supel dan sangat menyenangkan.
"Kalau yang menolongmu itu aku, apa kau akan jatuh cinta padaku?" canda Yudhi yang tiada henti-hentinya tertawa.
Marrie nampak pura-pura berpikir dan mengetuk-ngetuk keningnya, "Hmmmm maybe.""Really, wah sayang sekali waktu itu aku gak ikut Dimas ke toilet," ucap Yudhi menimpali, gadis berlensa biru itu mengetuk-ngetuk keningnya kembali den melanjutkan perkataannya, "Maybe, hmmmm maybe, No!"
Canda dan tawa terus terlontar dari keduanya hingga akhirnya mereka sampai di ibukota. Yudhi berulang kali mencoba menghubungi Dimas, namun nampaknya dari kemarin ponsel pria itu tidak dapat dihubungi. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk datang langsung ke rumah Dimas di Jakarta.Keadaan rumah Dimas terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat tengah bersih-bersih.
"Assalamualaikum," ucap Yudhi memberi salam.Tampak seorang pria paruh baya menjawab dan menghampiri Yudhi dan Marrie."Waalaikumsalam, eh tong di kira siape," ucap Encang Sabeni, yang tidak lain adalah kakak dari ibunya Dimas.
*Entong/tong, sebutan untuk anak laki-laki*Encang, sebutan untuk Paman dalam bahasa BetawiKeluarga Dimas adalah keluarga campuran, ibunya berasal dari Jakarta sedangkan ayahnya berasal dari Surabaya dengan sedikit garis keturunan Tionghoa.
"Dimas mana, cang? Ada yang mau ketemu sama dia nih," tanya Yudhi sambil melirik kepada Marrie yang berada di sampingnya.
Encang Sabeni tampak menggaruk-garuk tengkuk lehernya, terlebih ketika ia melihat Marrie. Ia sepertinya paham bila gadis blonde itu mempunyai sesuatu yang spesial dengan keponakannya."Emmm gimane ya, ntong. Sini dah!" titah Encang Sabeni, agar Yudhi mendekat padanya.
Entah apa yang ia bisikan pada Yudhi, seketika mata pria muda itu membulat sempurna hingga membuat Marrie semakin penasaran.Yudhi menarik tangan gadis blonde itu dan menaiki sebuah taksi hingga sampai di depan sebuah masjid, terlihat suasana di masjid yang begitu ramai seperti sedang ada sebuah acara.
"Marrie kamu yakin ingin bertemu Dimas, apapun yang tengah terjadi?" tanyanya meyakinkan, terbersit rasa kasihan pada gadis yang sudah jauh-jauh pergi dari negara asalnya hanya untuk menemui sahabatnya.Marrie nampak menganggukkan kepalanya, dan masih bingung dengan sifat dan sikap Yudhi yang tiba-tiba berubah.
Dengan sebuah buku sketsa ditangannya, Marrie mengikuti langkah Yudhi untuk memasuki pekarangan Masjid yang cukup besar tersebut.Hingga tatapannya terkunci, pada sosok pria yang ia cari. Pria yang telah bertahun-tahun bertahta khusus di hatinya.
Air muka Marrie tiba-tiba berubah menjadi pias, tubuhnya begitu gemetar menahan segala emosi yang berkecamuk di dalam hatinya."Dimas," lirihnya menahan air mata yang kian mengenang di pelupuk matanya.Apakah yang terjadi kepada Dimas? Akankah mereka bersatu?
"...dengan emas kawin tersebut di bayar tunai!"Sah! Alhamdulillah!Suara hamdalah terdengar serentak memenuhi sebuah Masjid di ibukota Jakarta. Kini, sepasang anak manusia baru saja resmi menjadi sepasang suami istri.Sang mempelai pengantin pria terlihat menyematkan sebuah cincin pernikahan pada jari manis mempelai wanita dan di balas ciuman di punggung tangan oleh istrinya.Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, pria itu telah berhasil menyakiti relung hati Marrie yang paling dalam. Seketika tubuh gadis itu terasa lemas, otaknya benar-benar tidak bisa untuk berpikir. Lolos sudah air mata dari kedua mata berlensa birunya, cinta yang sudah ia cari dan tunggu bertahun-tahun kini hancur hanya dalam waktu 5 menit saja."Marrie," Yudhi memperhatikan gadis di sampingnya, hatinya benar-benar ikut merasakan sakit kala melihat wajah Marrie yang benar-benar telah berubah pias.Tanpa berkata apa-apa, Marrie berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalka
Tok...Tok...Tok..."Marrie, kamu sudah tidur belum?" Mikha mengetuk pintu kamar adik iparnya, memastikan gadis itu sudah tertidur atau masih terjaga. Marrie yang masih berdiri di balkon kamar segera berjalan menuju pintu kamarnya.CklekPintu terbuka, Mikha nampak membawa segelas susu hangat di atas nampan."Kirain kakak, kamu udah tidur. Nih kakak bawain susu buat kamu," tuturnya lembut dan menyerahkan susu tersebut kepada Marrie."Terima kasih, Kak. Maaf, kedatanganku malah jadi ngerepotin kakak padahal kakak lagi hamil dan udah capek ngurusin Kak Max dan kembar," ucapnya lirih, merasa tidak enak hati dengan kakak iparnya.Mikha hanya mengulas senyuman dengan adik iparnya, wanita berhati lembut itu sudah menyayangi Marrie seperti Rika, adik kandungnya sendiri."Kamu itu ngomong apa? Kayak baru kenal Kakak sehari dua hari aja. Marrie, kamu itu adiknya kakak, sama seperti Rika. Jadi, kakak harap jika ada sesuatu yang mengganggu hati
Air langit mulai turun membasahi bumi, menyebarkan aroma tanah basah yang begitu menenangkan indera penciuman.Yudhi terlihat asik bersenandung seraya melenggak lenggokan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tak lupa permen kaki yang setia menemaninya di manapun dan kapanpun."Am I supposed to leave you now, when you're looking like that? I can't believe what I just gave away now I can't take it back," Yudhi bersenandung ria dengan earphone yang terpasang di telinganya."Yudhi, Dhi! Yudhi! Yudhistira Galih Wardhana!" teriak Joko dengan suara medoknya tepat di samping telinga Yudhi.Yudhi terperanjat kaget dan mengusap-ngusap telinganya yang berdenging, "Bujug buset, kuping gue bisa budeg Jokoooooooooo!" protes Yudhi kepada rekan seprofesinya. Joko hanya menyengir mendengar celotehan Yudhi, "Habisnya Kowe, tak panggil ora krungu."*Habisnya kamu, saya panggil tidak dengar."Kan lu bisa nepuk pundak gue, Joko saswito priyadi sadewo arya dininggrat wija
Flashback ONDimas tampak menatap wajah ibunya yang tengah terbaring lemah, wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat karena penyakit kista yang tertanam di tubuhnya."Dimas, ibu ingin melihatmu menikah," ucapnya lemah namun membuat Dimas benar-benar terkejut dengan permintaan ibunya."Bu, sabar ya. Dimas pasti akan menikah, Dimas akan secepatnya memperkenalkan calon istri Dimas pada ibu," jawabnya lirih dan lembut seraya menggenggam tangan ibunya, namun reaksi sang ibu sungguh tak di duga. Wanita itu menarik genggaman tangan sang putra dan memalingkan pandangannya."Ah tidak, ibu hanya ingin kau menikahi gadis pilihan ibu. Secepatnya," pintanya memaksa."Tapi bu," Dimas mencoba berkilah namun ucapannya segera disanggah oleh sang ibu."Tapi apa? Kalau tidak menurut, Ibu tidak ingin di operasi, lebih baik ibu mati saja!" ancam wanita tua itu dengan memaksa.Flashback Off................"Hari-hariku seperti di neraka, k
"Get your hands off her!" Pekik seorang pria yang langsung mendekat kearah Marrie.Marrie tampak mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, guna memastikan kalau penglihatannya tak salah. "Damn! Who are you?" Raymond berdecak kesal dengan pria yang kini berada tepat di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam dan menusuk, membuatnya begidik ngeri kala beradu pandang dengannya. "She's my GIRLFRIEND!" ucap pria misterius itu dengan menekankan kalimat Grilfriend, membuat Marrie terkejut dan terperangah. "Hahaha I dont care, aku hanya ingin bersenang-senang dengannya. Betul kan sayang?" Raymond berkata dengan nada mengejek dan menyentuh wajah Marrie yang terlihat ketakutan. "Damn it!" BRUKKK!!! Yudhi yang geram seketika memukul Raymond dengan brutal.Perkelahian tak dapat terelakkan, namun karena kemampuan bela diri Yudhi yang sangat terlatih membuatnya dengan mudah melumpuhkan Ray hingga babak belur. "Pergi!" Yudhi berteri
"Ayo masuk!" titah Marrie, menyadarkan Yudhi dari lamunan tak berujung. Beberapa pelayan nampak menyambut kepulangan Marrie hingga sampai di pintu masuk, Jhon telah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Bagus, jam segini baru pulang!" Kini mereka telah berada di ruangan tamu, posisi Yudhi dan Marrie sudah bagaikan terdakwa yang bersiap untuk diadili. Gadis itu terus saja mengumpat dalam hati karena keposesifan kakaknya. "Wah Wah ada apa ini, Jhon?" Lagi dan lagi, Yudhi di buat terkejut oleh sosok Maxim yang tiba-tiba datang. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang idola adalah kakak kedua dari Marrie dan merupakan mantan rival sahabatnya, Dimas. Marrie menjelaskan secara detail dan rinci tentang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Sementara Jhon dan Maxim mendengarkan dengan seksama, mencari kebohongan di mata sang adik yang tak kunjung mereka temukan. Lalu mereka beralih pada Yudhi, mengintrogasi secara detail hingga
Di tempat berbeda, seorang wanita cantik tengah menunggu seseorang di sebuah cafe.Tak berselang lama datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, tersenyum penuh arti kepadanya. "Sayang, aku rindu padamu!" ucap pria itu dengan melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita.Sang wanita membalasnya dengan memberikan sebuah kecupan pada bibir pria tersebut. "Aku juga sangat rindu padamu, sabar ya setelah kita mendapatkan itu semua maka aku akan meninggalkannya," ucap wanita bertubuh bak gitar spanyol tersebut. "Aku lelah menghadapi kemunafikannya setiap hari! Lagi pula aku merindukan kepunyaaku," bisiknya kembali seraya menggigit kecil daun telinga pria itu. Pria yang bernama Anthony itu tersenyum seringai dan segera menggendong tubuh wanita yang telah berstatus istri orang tanpa rasa malu."Katakan pada suamimu kalau kau menginap di rumah orang tuamu. Hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, Shintaku tersayang." ................
Yudhi memejamkan matanya, entah apa yang ada di dalam pikiran pria tampan itu. Dadanya begitu bergemuruh ria menantikan moment-moment yang dia inginkan, hembusan napas gadis itu begitu terasa hangat dan terasa semakin mendekat, membuat perasaannya semakin tidak terkendali. "Bulu matamu jatuh," ucap Marrie seraya mengambil sesuatu dari pipi Yudhi. Yudhi segera membuka matanya, rasanya ia ingin memendam wajahnya di dalam pasir karena sudah berpikir hal yang tidak-tidak.Tersirat semburat merah jambu pada kedua pipinya. "E-Emm Ki-kita ma-kan yuk!" tuturnya gugup dan segera menarik lengan Marrie. Mereka memilih sebuah restoran seafood bertemakan outdoor di tepi pantai, beratapkan suasana langit bertabur bintang dengan lampion-lampion yang menghiasi sudut-sudutnya. Sepasang anak manusia itu begitu menikmati hidangan yang tersedia, hingga kini berbincang-bincang setelah mereka menuntaskan makan malam."Marrie, boleh aku bertanya sesuatu?" tany
Seorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb