Dimas melangkahkan kakinya menuju kamar tidurnya, pria itu melepaskan baret yang ia kenakan lalu duduk di pinggir ranjangnya.
Pandangan beralih pada totebag yang ia bawa lalu membukanya perlahan. sebuah kotak makan yang berisi nasi goreng spesial dengan sepucuk surat berwarna merah muda.Dimas memandangi sejenak surat tersebut lalu mulai membacanya.Hai Dimas,
Aku buatkan nasi goreng spesial untukmu, semoga kamu suka ya.Maaf kalau tidak enak, karena sejujurnya ini adalah kali kedua aku memasak.Aku jadi pengen cerita, dulu pertama kali aku masak karena permintaan Kak Mikha waktu sedang hamil si kembar, Aku buat nasi goreng bermodalkan video YouTube, dan bodohnya aku malah memasukan gula bubuk bukannya garam hahaha
Tapi kalau dipikir-pikir, untung aku memasukkan gula. Bayangkan saja kalau aku memasukkan garam yang gak ditakar. Bisa-bisa yang makan langsung kena tekanan darah tinggi.Dan sialnya, alih-alih memakannya eh Kak Mikha malah memaksa Kak Max yang makan dan harus menghabiskannya, aku masih kebayang betapa lucunya mimik wajah Kak Max saat itu.Tapi kamu tenang aja ya, nasi goreng kali ini sudah di pastikan semua dengan takaran pas, karena aku sudah mengulangnya sampai 3 kali hihihi Untung saja Bi Konah sabar mengajariku.
Dimas, walaupun kamu lupa denganku, aku tidak masalah. Namaku Marrie Edelweiss Larry, mari kita berteman! 😊
Salam kenal,
MarrieDimas melipat surat tersebut dan meletakkannya di atas nakas. Terbersit rasa bersalah pada gadis itu. Karena keegoisan dan obsesinya, ia malah menyakiti hati seorang gadis baik yang tidak mempunyai salah apapun.
Pria bertubuh tegap itu, menghela napas kasar dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang. Dimas mengusap kasar wajahnya, memikirkan hati dan isi kepalanya yang saling bersitegang.
"Aku harus bagaimana ya Tuhan?" keluhnya, bermonolog sendiri.Semenjak kejadian malam itu, Marrie sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Gadis itu menghilang bak ditelan bumi.
Rasa sunyi menyeruak di hati seorang Letnan muda berwajah tampan itu, bagaikan ada sesuatu yang hilang dari dirinya."Dim, kenapa? Bengong sore-sore di bawah pohon beringin, kesambet lu!" tanya Yudhi diiringi candaannya, kala melihat Dimas tengah termenung di bawah sebuah pohon beringin.
Dimas tersenyum simpul dan menoleh ke arah sahabatnya."Gue merasa bersalah sama Marrie, gue sadar kalau ucapan gue keterlaluan," ucap Dimas dengan senyuman getir. Yudhi menghela napasnya, ia memang melihat sendiri kelakuan buruk sahabatnya.
Wanita mana yang akan tahan setelah dihina seperti itu oleh pria yang ia sukai?"Lu datangi rumahnya, minta maaf," tutur Yudhi memberikan saran.
................
Di tempat dan zona waktu berbeda, seorang gadis blonde berparas cantik tengah menatap nanar ke jendela sebuah ruangan.
Kedua matanya nampak memerah dengan kristal-kristal air mata yang tiada henti-hentinya berseluncur dari pelupuk matanya.Tatapannya tiada henti-hentinya memandangi seorang pria yang tergeletak tidak berdaya dengan berbagai alat penunjang kehidupan yang terpasang di tubuhnya.
Pria yang beberapa waktu lalu meregang nyawa karena kecelakaan yang dialaminya, seorang pria kesayangannya yang tengah tertidur lebih dari 1 bulan lamanya"Marrie, istirahat yuk," ucap Rika seraya menepuk lembut pundak Marrie.
Namun tangisan gadis itu semakin pecah, seketika ia memeluk Rika dengan begitu erat."Rika, kenapa Kak Maxim tak kunjung bangun? Aku takut Rika, aku takut kejadian kemarin terulang lagi huhuhu," ucapnya menumpahkan segala keresahannya pada seorang dokter muda sekaligus sahabatnya.
Gadis itu benar-benar takut, terlebih mengingat kala Max dinyatakan meninggal dunia. Beruntung Tuhan berkehendak lain, Tuhan mengembalikan kehidupan sang Kakak walaupun hingga kini Maxim belum membuka matanya.Rika menghela napasnya, ia sangat mengerti perasaan Marrie. Maxim adalah sosok pria yang penyayang serta lembut tutur dan prilakunya, hingga membuat Rika menyayanginya seperti menyayangi kakaknya sendiri.
"Sabar Marrie, jangan pernah lelah untuk berdoa," tuturnya bijak.
Marrie mengangguk lalu memandang sosok wanita tegar yang setia menjaga kakaknya.
Wanita yang tengah mengandung ditrimester awal namun tidak pernah sekalipun mengeluh menemani sang suami yang masih setia dalam tidur panjangnya.Keadaan Max yang tengah koma, memang membuat Marrie melupakan perasaannya. Wanita itu sibuk memikirkan kesembuhan sang kakak dari pada harus galau memikirkan seorang pria yang tidak peduli kepada dirinya.
................
Waktu terus berputar, hari berganti hari, bulan berganti bulan. Hingga tak terasa 2 bulan berlalu, begitu banyak kejadian yang dialami Marrie membuatnya benar-benar melupakan rasa sakit hatinya.
Dimulai dari pernikahan Jhon, kakak pertamanya dengan salah satu sahabat Mikha, hingga Max yang akhirnya sadar walaupun kini dalam kondisi lumpuh, hingga segudang pekerjaan yang harus dia kerjakan.
Semua cukup menyibukkan dan mengalihkan perhatiannya.Hanya saja sakit hati yang ia alami, cukup membuatnya membatasi diri dari pria yang ingin dekat dengannya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk pekerjaan dan keluarganya.Malam itu, di sebuah gedung perkantoran di kota London. Marrie terlihat sibuk dengan berkas-berkas di mejanya. Gadis blonde itu selalu menyibukkan diri dengan pekerjaannya hingga nyaris setiap hari ia lembur bekerja.
Cklek
Pintu ruangan terbuka, tampak Jhon di balik pintu dan berjalan menghampiri adik perempuannya.
"Marrie, mengapa kau mau lembur lagi?" tanya Jhon menyelidik, mengingat sikap dan sifat Marrie yang berubah belakangan ini.
Jhon yang sebenarnya telah mengetahui permasalahan adiknya dari istrinya hanya mampu mengulas senyuman tipis.
"Kejarlah cintamu jika itu bisa mengembalikan sosok adik kecilku yang manja," tutur Jhon yang membuat Marrie terperangah.Gadis itu menatap sang kakak dengan mimik wajah bertanya-tanya, sedangkan Jhon mengacak-acak puncak kepala adiknya.
"Gak usah banyak tanya. Kau boleh cuti lama, mumpung aku lagi baik," tutur Jhon dengan tawanya yang masih terdengar.Seutas senyuman tergambar di wajah cantiknya, gadis blonde itu memeluk erat kakak pertamanya.
"Terima kasih, Kak Jhon!" pekiknya dan segera merapikan barang-barang miliknya.................
Mentari kian beranjak dari peraduannya, gadis berlensa biru itu tengah sibuk mengemas barang-barang miliknya.
Karena hari itu ia berencana untuk pergi ke Indonesia, negara yang sudah seperti rumah kedua untuknya."Sipp, semuanya sudah siap. Kali ini aku gak akan nyerah walau kamu jutekin aku hihihi," ucapnya seraya memandangi sosok gambar pria pada sebuah buku sketsa.Marrie beranjak, dengan menarik sebuah koper di tangannya, gadis blonde itu berpamitan terlebih dahulu dengan keluarganya.
"Sudah mau jalan, sayang?" tanya Nyonya Anna, kala melihat putrinya muncul dihadapannya. Marrie memeluk ayah dan ibunya bergantian lalu beralih pada kakak pertamanya dan kakak iparnya."Hati-hati ya," tutur Indah lembut. Indah merupakan istri dari Jhon, kakak pertama Marrie. Wanita yang beasal dari kota Banjarmasin di Indonesia dan merupakan putri satu-satunya penguasa batu bara disana.
Gadis itu melangkahkan kakinya dengan segudang harapan, harapan yang entah akan terwujud atau tidak.Sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah milik Indah, tepatnya rumah yang pernah Mikha dan keluarganya tempati di Tabalong.Keluarlah sosok pria bertubuh tegap dan seketika di sambut oleh seorang scurity bernama Fajar."Pagi mas Dimas, wah apa kabar nih? Sudah lama gak keliatan," tanya Fajar dengan ramah, dan di balas senyuman oleh Dimas."Alhamdulillah baik, iya belakangan ini saya sibuk. Oh ya, Nona Indah ada?" tanyanya kembali, yang belum mengetahui jika Indah telah menikah dan mengikuti sang suami untuk kembali tinggal di Inggris.Fajar mengulas seutas senyuman dan mulai membuka mulutnya, "Wah ketinggalan berita, Nona Indah sudah menikah mas dan sekarang tinggal di London dengan suaminya. Jadi rumah ini kosong, cuma kami para pekerja yang menempatinya," tuturnya."Boleh saya minta nomor ponsel Indah atau Mikha?" pintanya kembali karena sepertinya dua wanita itu telah mengganti nomer ponselnya. Namun Fajar nampak bergeming dan menggaruk-garuk kepa
"...dengan emas kawin tersebut di bayar tunai!"Sah! Alhamdulillah!Suara hamdalah terdengar serentak memenuhi sebuah Masjid di ibukota Jakarta. Kini, sepasang anak manusia baru saja resmi menjadi sepasang suami istri.Sang mempelai pengantin pria terlihat menyematkan sebuah cincin pernikahan pada jari manis mempelai wanita dan di balas ciuman di punggung tangan oleh istrinya.Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, pria itu telah berhasil menyakiti relung hati Marrie yang paling dalam. Seketika tubuh gadis itu terasa lemas, otaknya benar-benar tidak bisa untuk berpikir. Lolos sudah air mata dari kedua mata berlensa birunya, cinta yang sudah ia cari dan tunggu bertahun-tahun kini hancur hanya dalam waktu 5 menit saja."Marrie," Yudhi memperhatikan gadis di sampingnya, hatinya benar-benar ikut merasakan sakit kala melihat wajah Marrie yang benar-benar telah berubah pias.Tanpa berkata apa-apa, Marrie berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalka
Tok...Tok...Tok..."Marrie, kamu sudah tidur belum?" Mikha mengetuk pintu kamar adik iparnya, memastikan gadis itu sudah tertidur atau masih terjaga. Marrie yang masih berdiri di balkon kamar segera berjalan menuju pintu kamarnya.CklekPintu terbuka, Mikha nampak membawa segelas susu hangat di atas nampan."Kirain kakak, kamu udah tidur. Nih kakak bawain susu buat kamu," tuturnya lembut dan menyerahkan susu tersebut kepada Marrie."Terima kasih, Kak. Maaf, kedatanganku malah jadi ngerepotin kakak padahal kakak lagi hamil dan udah capek ngurusin Kak Max dan kembar," ucapnya lirih, merasa tidak enak hati dengan kakak iparnya.Mikha hanya mengulas senyuman dengan adik iparnya, wanita berhati lembut itu sudah menyayangi Marrie seperti Rika, adik kandungnya sendiri."Kamu itu ngomong apa? Kayak baru kenal Kakak sehari dua hari aja. Marrie, kamu itu adiknya kakak, sama seperti Rika. Jadi, kakak harap jika ada sesuatu yang mengganggu hati
Air langit mulai turun membasahi bumi, menyebarkan aroma tanah basah yang begitu menenangkan indera penciuman.Yudhi terlihat asik bersenandung seraya melenggak lenggokan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tak lupa permen kaki yang setia menemaninya di manapun dan kapanpun."Am I supposed to leave you now, when you're looking like that? I can't believe what I just gave away now I can't take it back," Yudhi bersenandung ria dengan earphone yang terpasang di telinganya."Yudhi, Dhi! Yudhi! Yudhistira Galih Wardhana!" teriak Joko dengan suara medoknya tepat di samping telinga Yudhi.Yudhi terperanjat kaget dan mengusap-ngusap telinganya yang berdenging, "Bujug buset, kuping gue bisa budeg Jokoooooooooo!" protes Yudhi kepada rekan seprofesinya. Joko hanya menyengir mendengar celotehan Yudhi, "Habisnya Kowe, tak panggil ora krungu."*Habisnya kamu, saya panggil tidak dengar."Kan lu bisa nepuk pundak gue, Joko saswito priyadi sadewo arya dininggrat wija
Flashback ONDimas tampak menatap wajah ibunya yang tengah terbaring lemah, wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat karena penyakit kista yang tertanam di tubuhnya."Dimas, ibu ingin melihatmu menikah," ucapnya lemah namun membuat Dimas benar-benar terkejut dengan permintaan ibunya."Bu, sabar ya. Dimas pasti akan menikah, Dimas akan secepatnya memperkenalkan calon istri Dimas pada ibu," jawabnya lirih dan lembut seraya menggenggam tangan ibunya, namun reaksi sang ibu sungguh tak di duga. Wanita itu menarik genggaman tangan sang putra dan memalingkan pandangannya."Ah tidak, ibu hanya ingin kau menikahi gadis pilihan ibu. Secepatnya," pintanya memaksa."Tapi bu," Dimas mencoba berkilah namun ucapannya segera disanggah oleh sang ibu."Tapi apa? Kalau tidak menurut, Ibu tidak ingin di operasi, lebih baik ibu mati saja!" ancam wanita tua itu dengan memaksa.Flashback Off................"Hari-hariku seperti di neraka, k
"Get your hands off her!" Pekik seorang pria yang langsung mendekat kearah Marrie.Marrie tampak mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, guna memastikan kalau penglihatannya tak salah. "Damn! Who are you?" Raymond berdecak kesal dengan pria yang kini berada tepat di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam dan menusuk, membuatnya begidik ngeri kala beradu pandang dengannya. "She's my GIRLFRIEND!" ucap pria misterius itu dengan menekankan kalimat Grilfriend, membuat Marrie terkejut dan terperangah. "Hahaha I dont care, aku hanya ingin bersenang-senang dengannya. Betul kan sayang?" Raymond berkata dengan nada mengejek dan menyentuh wajah Marrie yang terlihat ketakutan. "Damn it!" BRUKKK!!! Yudhi yang geram seketika memukul Raymond dengan brutal.Perkelahian tak dapat terelakkan, namun karena kemampuan bela diri Yudhi yang sangat terlatih membuatnya dengan mudah melumpuhkan Ray hingga babak belur. "Pergi!" Yudhi berteri
"Ayo masuk!" titah Marrie, menyadarkan Yudhi dari lamunan tak berujung. Beberapa pelayan nampak menyambut kepulangan Marrie hingga sampai di pintu masuk, Jhon telah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Bagus, jam segini baru pulang!" Kini mereka telah berada di ruangan tamu, posisi Yudhi dan Marrie sudah bagaikan terdakwa yang bersiap untuk diadili. Gadis itu terus saja mengumpat dalam hati karena keposesifan kakaknya. "Wah Wah ada apa ini, Jhon?" Lagi dan lagi, Yudhi di buat terkejut oleh sosok Maxim yang tiba-tiba datang. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang idola adalah kakak kedua dari Marrie dan merupakan mantan rival sahabatnya, Dimas. Marrie menjelaskan secara detail dan rinci tentang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Sementara Jhon dan Maxim mendengarkan dengan seksama, mencari kebohongan di mata sang adik yang tak kunjung mereka temukan. Lalu mereka beralih pada Yudhi, mengintrogasi secara detail hingga
Di tempat berbeda, seorang wanita cantik tengah menunggu seseorang di sebuah cafe.Tak berselang lama datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, tersenyum penuh arti kepadanya. "Sayang, aku rindu padamu!" ucap pria itu dengan melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita.Sang wanita membalasnya dengan memberikan sebuah kecupan pada bibir pria tersebut. "Aku juga sangat rindu padamu, sabar ya setelah kita mendapatkan itu semua maka aku akan meninggalkannya," ucap wanita bertubuh bak gitar spanyol tersebut. "Aku lelah menghadapi kemunafikannya setiap hari! Lagi pula aku merindukan kepunyaaku," bisiknya kembali seraya menggigit kecil daun telinga pria itu. Pria yang bernama Anthony itu tersenyum seringai dan segera menggendong tubuh wanita yang telah berstatus istri orang tanpa rasa malu."Katakan pada suamimu kalau kau menginap di rumah orang tuamu. Hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, Shintaku tersayang." ................
Seorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb