Tok...Tok...Tok...
"Marrie, kamu sudah tidur belum?" Mikha mengetuk pintu kamar adik iparnya, memastikan gadis itu sudah tertidur atau masih terjaga. Marrie yang masih berdiri di balkon kamar segera berjalan menuju pintu kamarnya.Cklek
Pintu terbuka, Mikha nampak membawa segelas susu hangat di atas nampan.
"Kirain kakak, kamu udah tidur. Nih kakak bawain susu buat kamu," tuturnya lembut dan menyerahkan susu tersebut kepada Marrie."Terima kasih, Kak. Maaf, kedatanganku malah jadi ngerepotin kakak padahal kakak lagi hamil dan udah capek ngurusin Kak Max dan kembar," ucapnya lirih, merasa tidak enak hati dengan kakak iparnya.
Mikha hanya mengulas senyuman dengan adik iparnya, wanita berhati lembut itu sudah menyayangi Marrie seperti Rika, adik kandungnya sendiri.
"Kamu itu ngomong apa? Kayak baru kenal Kakak sehari dua hari aja. Marrie, kamu itu adiknya kakak, sama seperti Rika. Jadi, kakak harap jika ada sesuatu yang mengganggu hatimu jangan sungkan untuk bercerita. Ya sudah kamu beristirahatlah," Mikha tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak gadis blonde yang berada di hadapannya. Ia segera berbalik namun seketika langkahnya terhenti mendengar ucapan Marrie.
"Kak, aku mau cerita"
................
Marrie menceritakan semua yang ia alami saat mencari Dimas. Menceritakan secara spesifik dan detail tanpa ada sesuatu yang terlewat.
Hingga tanpa terasa air mata begitu saja lolos dari kedua netranya, hatinya benar-benar sakit namun dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Karena ia sadar, sejak awal Dimas memang tidak menginginkan kehadirannya.Ia hanya merutuki kebodohannya karena terlalu berharap banyak pada cinta yang belum tentu menyambut dirinya.Terbersit rasa bersalah pada hari Mikha, ia sadar bahwa sikap buruk Dimas pada Marrie semuanya berawal dari dirinya. Seandainya saja dia tidak kabur dan pergi bertahun-tahun meninggalkan Max, mungkin semuanya tidak terjadi. Namun semua sudah terjadi, ia percaya di balik semua ini pasti ada rencana Tuhan yang lebih Indah.
"Marrie, dengar kakak. Apapun yang terjadi percayalah, di balik semua ini rencana Tuhan lebih Indah. Tuhan mungkin tidak selalu memberikan apa yang kamu inginkan tapi, Tuhan akan memberikan apa yang kau butuhkan. Jangan terus tenggelam dalam kesedihan, karena siapa tau saja kalau Tuhan sedang mempersiapkan pria yang terbaik untukmu. Jadilah Marrie yang seperti dulu, yang ceria. Kami selalu ada untukmu," tutur Mikha lembut seraya membelai rambut coklat adik iparnya.
Marrie memeluk kakaknya iparnya dengan erat hingga akhirnya, gadis itu tertidur karena terlalu lelah menangis.Cklek
Mikha membuka pintu kamarnya, kepalanya masih di penuhi pertanyaan-pertanyaan janggal yang terus menerus berputar.
"Bagaimana bisa Dimas menikah secepat itu? Segitu sakit hati kah dia denganku hingga membalasnya dengan menyakiti Marrie seperti ini? Keterlaluan!" Mikha terus merancau dalam hati.
"Sayang, kamu kenapa?" tanya Max penasaran dengan sikap aneh istrinya. Akhirnya Mikha menjelaskan seluruh perkara yang membuat sikap Marrie berubah akhir-akhir ini, Max nampak menyimak dengan serius tiap ucapan yang dilontarkan istrinya.
"Setauku, Dimas itu tidak pernah berhubungan spesial dengan wanita manapun. Makanya aku merasa janggal dengan pernikahannya yang tiba-tiba," rancau Mikha terus menerus tanpa sadar bahwa sang suami tengah menyelidikinya, memastikan bahwa aduan dari Shine tentang Dimas, benar adanya.
"Kenapa kamu bisa yakin? Bisa saja kan, Dimas memang sudah pacaran jarak jauh dengan wanita itu?" selidik Max kembali.
"Ah aku yakin 100% karena selama 4 tahun itu Dimas selalu mencoba melam....," ucapan Mikha terputus, ia baru tersadar kalau terlalu kesal hingga bersemangat bercerita. Wanita itu melirik wajah suaminya yang tengah memandang tajam padanya. Mikha menyengir dan tertawa renyah kala Max terus menerus menatap tajam padanya, seolah menuntut penjelasan darinya.
"He...he...he..., S-sayang a-aku pijitin mau gak?"
................
Disebuah rumah sakit di kota London, Rika yang baru aja menyelesaikan tugasnya nampak terduduk lemas dan sesekali mengelap peluh di keningnya.
Rika adalah adik ipar dari kakak kedua Marrie, yang merupakan doker muda berwajah manis sekaligus menjadi sahabat Marrie. Banyaknya persamaan sifat antara Rika dan Marrie, membuat mereka cepat akrab dan dekat sejak pertama kali bertemu."Capek ya Bu Dokter," Suara yang begitu familiar tiba-tiba terdengar dari ambang pintu, Rika menoleh dan tersenyum melihat seseorang yang datang menemuinya.
"Kak Ryan! Ini sudah hampir tengah malam," ucapnya terkejut, seraya melihat jam yang melingkar sempurna di pergelangan tangan kirinya.
Ryan mendekat dan duduk pada sebuah kursi di depan meja kerja Rika."Aku baru selesai pemotretan, tiba-tiba teringat kamu deh. Nih aku bawain makanan, kamu pasti belum makan malam kan?" tutur Ryan memberikan sebuah paper bag pada gadis di hadapannya.Namun, alih-alih senang. Wajah gadis itu terlihat masam, Rika teringat kejadian tak mengenakkan kala dia menemani Ryan saat pemotretan.
"Hei, Kenapa kau malah cemberut? Kau gak suka makanannya?" tanya Ryan bingung."Huh, pasti foto sama model perempuan itu lagi," Tanpa sadar Rika merancau dan terdengar oleh Ryan.
Pletakk
Ryan menyentil kening Rika, hingga membuatnya tersadar dan seketika mengusap-usap keningnya.
"Kau ini mikir apa? Aku tadi hanya pemotretan untuk produk sepatu olahraga. Rika, apa benar dugaanku, kalau... kau cemburu?" tanya Ryan dengan satu alis terangkat. Wajah gadis itu mendadak merona bagai kepiting rebus.Tanpa menjawab, Rika segera membuka paper bag dihadapannya dan langsung memakan makanan yang diberikan Ryan dengan tergesa-gesa, hingga kedua pipinya menggembung sempurna bagaikan pipi hamster.................
Selepas tugas, Dimas terpaksa harus pulang ke rumahnya. Rumah yang ia tempati bersama wanita yang telah menjadi istrinya. Sudah beberapa hari pria itu memilih tidur di rumah orang tuanya, namun karena ibunya marah dan terus memaksanya maka dengan terpaksa pria berahang tegas itu kembali ke rumah yang bagaikan neraka untuknya.
"Sayang, akhirnya kamu pulang," sapa Shinta dan segera mencium punggung tangan suaminya.
Tanpa perduli, Dimas segera masuk menuju kamarnya dan bersiap membersihkan tubuhnya. Bayang-bayang gadis blonde itu terus memenuhi kepalanya, rasa menyesal dan bersalah semakin meluap di hatinya. Andai saja sang ibu tidak memaksanya menikahi wanita itu pasti kehidupannya tidak semakin suram seperti ini.
Seusai mandi, Dimas membuka laci nakas samping ranjangnya. Ia kembali menatap buku sketsa milik Marrie yang dia temukan di pelataran Masjid tempatnya melangsungkan akad nikah, kilatan dan kilasan wajah gadis itu terus berputar. Bahkan ia mengingat dengan jelas saat pertemuannya dengan gadis bermanik biru itu di bandara.
"Maaf," ucapnya lirih, menyesali segala sikapnya.
Tok...Tok...Tok...
"Mas, makan dulu yuk," Shinta memanggil dari balik pintu kamar.
Dimas dan Shinta memang tinggal seatap namun tidur di kamar yang berbeda.Tanpa menjawab, seketika Dimas membuka pintu kamarnya dan melihat Shinta berdiri dengan lingerie merah yang nyaris transparan membalut tubuhnya.Makan malam berlangsung tanpa sepatah katapun, namun pria berahang tegas itu merasakan sesuatu yang aneh dengan tubuhnya. Sebuah rasa asing yang belum pernah ia rasakan.
Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang, tubuhnya tiba-tiba terasa panas dan ia merasakan lonjakan hasrat yang tiba-tiba saja muncul.Shinta beranjak dari kursinya, perlahan menyentuh pundak suaminya dan tidak ada penolakan sama sekali dari Dimas. Seutas senyuman tersungging di bibirnya sensualnya, dan dengan cepat Shinta terus-menerus memberikan sentuhan-sentuhan yang semakin membangkitkan hasrat birahi suaminya.
Tanpa malu, wanita bertubuh sexy itu duduk di pangkuan Dimas dan mencium bibirnya dengan rakus.
Tangannya terus menerus bergerilya menyentuh tubuh atletis suaminya hingga membuat Dimas mengeram dan membalas tindakannya."Dasar laki-laki bodoh!" cebik Shinta dalam hatinya, dengan semburat senyuman seringai menghiasi wajahnya.
................
"Aku membawakannya makanan, kata Kak Mikha kamu sangat menyukai nasi goreng," ucap seorang gadis berkulit putih itu dengan senyuman yang mengembang di wajahnya.
Dimas hanya tersenyum sinis dan menatap gadis itu lekat-lekat dan berkata, "Aku tidak mengenalmu, dan kau tak perlu repot-repot melakukan ini semua!".
"Tapi aku ingin sekali mengenalmu," ucap Marrie lirih.
"Lebih baik kau segera pergi, daripada kau semakin terlihat seperti wanita yang tidak mempunyai harga diri, menjijikan!" cebik Dimas meninggalkan gadis itu begitu saja.
"Dimas apa salahku padamu? KAMU JAHAT! KAMU JAHAT! KAMU JAHAT! KAMU JAHAT! KAMU JAHAT!KAMU JAHAT! KAMU JAHAT!"
Dimas membuka matanya dengan napas terengah-engah. Entah mengapa, pekikan suara Marrie di mimpinya begitu berdenging di otaknya.
Setelah kesadaran perlahan pulih, ia merasakan sesuatu yang janggal pada tubuhnya.Pria itu mendapati lengan Shinta melingkar sempurna di tubuhnya, tepatnya di tubuh polosnya.
"Tu-tunggu, apa yang terjadi?" Dimas bertanya-tanya dalam hatinya, mencoba mengumpulkan pecahan-pecahan puzzle ingatan di kepalanya yang terasa berdenyut.
Dimas tersentak, seingatnya sesuai makan ia merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya dan ia melihat Marrie yang menggoda dan mencumbunya, hingga akhirnya terjadilah hubungan intim antara keduanya.
"Sial!" Dimas merutuki kecerobohannya, biasa-biasa ia melihat Shinta menjadi sosok gadis yang dirindukannya. Pria itu segera bangkit dengan pikiran yang semakin kalut, karena ia sadar akan semakin sulit langkahnya untuk menceraikan Shinta.
Tanpa ia sadari, Shinta yang sudah terbangun mengulas sebuah senyuman seringai seraya mengusap perut rampingnya, "Akhirnya, sayang."
................
Air langit mulai turun membasahi bumi, menyebarkan aroma tanah basah yang begitu menenangkan indera penciuman.Yudhi terlihat asik bersenandung seraya melenggak lenggokan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tak lupa permen kaki yang setia menemaninya di manapun dan kapanpun."Am I supposed to leave you now, when you're looking like that? I can't believe what I just gave away now I can't take it back," Yudhi bersenandung ria dengan earphone yang terpasang di telinganya."Yudhi, Dhi! Yudhi! Yudhistira Galih Wardhana!" teriak Joko dengan suara medoknya tepat di samping telinga Yudhi.Yudhi terperanjat kaget dan mengusap-ngusap telinganya yang berdenging, "Bujug buset, kuping gue bisa budeg Jokoooooooooo!" protes Yudhi kepada rekan seprofesinya. Joko hanya menyengir mendengar celotehan Yudhi, "Habisnya Kowe, tak panggil ora krungu."*Habisnya kamu, saya panggil tidak dengar."Kan lu bisa nepuk pundak gue, Joko saswito priyadi sadewo arya dininggrat wija
Flashback ONDimas tampak menatap wajah ibunya yang tengah terbaring lemah, wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat karena penyakit kista yang tertanam di tubuhnya."Dimas, ibu ingin melihatmu menikah," ucapnya lemah namun membuat Dimas benar-benar terkejut dengan permintaan ibunya."Bu, sabar ya. Dimas pasti akan menikah, Dimas akan secepatnya memperkenalkan calon istri Dimas pada ibu," jawabnya lirih dan lembut seraya menggenggam tangan ibunya, namun reaksi sang ibu sungguh tak di duga. Wanita itu menarik genggaman tangan sang putra dan memalingkan pandangannya."Ah tidak, ibu hanya ingin kau menikahi gadis pilihan ibu. Secepatnya," pintanya memaksa."Tapi bu," Dimas mencoba berkilah namun ucapannya segera disanggah oleh sang ibu."Tapi apa? Kalau tidak menurut, Ibu tidak ingin di operasi, lebih baik ibu mati saja!" ancam wanita tua itu dengan memaksa.Flashback Off................"Hari-hariku seperti di neraka, k
"Get your hands off her!" Pekik seorang pria yang langsung mendekat kearah Marrie.Marrie tampak mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, guna memastikan kalau penglihatannya tak salah. "Damn! Who are you?" Raymond berdecak kesal dengan pria yang kini berada tepat di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam dan menusuk, membuatnya begidik ngeri kala beradu pandang dengannya. "She's my GIRLFRIEND!" ucap pria misterius itu dengan menekankan kalimat Grilfriend, membuat Marrie terkejut dan terperangah. "Hahaha I dont care, aku hanya ingin bersenang-senang dengannya. Betul kan sayang?" Raymond berkata dengan nada mengejek dan menyentuh wajah Marrie yang terlihat ketakutan. "Damn it!" BRUKKK!!! Yudhi yang geram seketika memukul Raymond dengan brutal.Perkelahian tak dapat terelakkan, namun karena kemampuan bela diri Yudhi yang sangat terlatih membuatnya dengan mudah melumpuhkan Ray hingga babak belur. "Pergi!" Yudhi berteri
"Ayo masuk!" titah Marrie, menyadarkan Yudhi dari lamunan tak berujung. Beberapa pelayan nampak menyambut kepulangan Marrie hingga sampai di pintu masuk, Jhon telah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Bagus, jam segini baru pulang!" Kini mereka telah berada di ruangan tamu, posisi Yudhi dan Marrie sudah bagaikan terdakwa yang bersiap untuk diadili. Gadis itu terus saja mengumpat dalam hati karena keposesifan kakaknya. "Wah Wah ada apa ini, Jhon?" Lagi dan lagi, Yudhi di buat terkejut oleh sosok Maxim yang tiba-tiba datang. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang idola adalah kakak kedua dari Marrie dan merupakan mantan rival sahabatnya, Dimas. Marrie menjelaskan secara detail dan rinci tentang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Sementara Jhon dan Maxim mendengarkan dengan seksama, mencari kebohongan di mata sang adik yang tak kunjung mereka temukan. Lalu mereka beralih pada Yudhi, mengintrogasi secara detail hingga
Di tempat berbeda, seorang wanita cantik tengah menunggu seseorang di sebuah cafe.Tak berselang lama datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, tersenyum penuh arti kepadanya. "Sayang, aku rindu padamu!" ucap pria itu dengan melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita.Sang wanita membalasnya dengan memberikan sebuah kecupan pada bibir pria tersebut. "Aku juga sangat rindu padamu, sabar ya setelah kita mendapatkan itu semua maka aku akan meninggalkannya," ucap wanita bertubuh bak gitar spanyol tersebut. "Aku lelah menghadapi kemunafikannya setiap hari! Lagi pula aku merindukan kepunyaaku," bisiknya kembali seraya menggigit kecil daun telinga pria itu. Pria yang bernama Anthony itu tersenyum seringai dan segera menggendong tubuh wanita yang telah berstatus istri orang tanpa rasa malu."Katakan pada suamimu kalau kau menginap di rumah orang tuamu. Hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, Shintaku tersayang." ................
Yudhi memejamkan matanya, entah apa yang ada di dalam pikiran pria tampan itu. Dadanya begitu bergemuruh ria menantikan moment-moment yang dia inginkan, hembusan napas gadis itu begitu terasa hangat dan terasa semakin mendekat, membuat perasaannya semakin tidak terkendali. "Bulu matamu jatuh," ucap Marrie seraya mengambil sesuatu dari pipi Yudhi. Yudhi segera membuka matanya, rasanya ia ingin memendam wajahnya di dalam pasir karena sudah berpikir hal yang tidak-tidak.Tersirat semburat merah jambu pada kedua pipinya. "E-Emm Ki-kita ma-kan yuk!" tuturnya gugup dan segera menarik lengan Marrie. Mereka memilih sebuah restoran seafood bertemakan outdoor di tepi pantai, beratapkan suasana langit bertabur bintang dengan lampion-lampion yang menghiasi sudut-sudutnya. Sepasang anak manusia itu begitu menikmati hidangan yang tersedia, hingga kini berbincang-bincang setelah mereka menuntaskan makan malam."Marrie, boleh aku bertanya sesuatu?" tany
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Bu Etty tiada henti-hentinya menggerutu seolah perasaan kesalnya kepada Dimas belum berkurang sedikitpun.Fafa hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang ibu, dia juga tidak mengerti mengapa ibunya sangat mudah marah dengan Dimas padahal Dimas adalah sosok anak yang baik dan selalu menuruti keinginannya."Bu, ibu kenapa sih sama Kak Dimas? Kak Dimas itu selalu menuruti kemauan ibu tapi kalau Kak Dimas melakukan sedikit saja kesalahan, pasti ibu meluap-luap kaya gini," tanya Fafa dengan suara lembut sbil tetap fokus mengemudi mobil miliknya."Ibu, kok diam aja. Gak baik loh Bu bersikap seperti tadi," tuturnya kembali saat Bu Etty hanya diam dan tidak menanggapi perkataannyaLagi-lagi Fafa menggelengkan kepalanya, sudut matanya sedikit melirik pada ibunya yang masih saya merancau tanpa suara."Memang seharusnya dia mengikuti semua kemauanku, anggap saja sebagai imbalan kalau aku sudah berbaik hati merawatnya.
Kedua mata Yudhi membulat sempurna kala melihat seorang pria mengeluarkan koper serta barang-barang miliknya dari dalam bagasi mobil."I-itu?" ucapnya gugup.Jhon tertawa terbahak-bahak dan menepuk pundak pria beralis tebal itu. "Hei, selama kau berada di London, kau tinggal di sini. Kau harus bertanggung jawab!" titah Jhon dengan menekankan perkataan terakhirnya.Yudhi nampak masih mencerna ucapan Jhon, salah apa dia sampai harus bertanggung jawab.Apakah harus menikahi Marrie? Kalau seperti itu dengan senang hati dia pasti akan dengan lantang menyetujuinya.Pikiran pria itu lagi-lagi melayang kemana-mana, memikirkan sesuatu yang konyol dan membayangkan dirinya dinikahkan dadakan dengan Marrie."Hehehe," Tiba-tiba Yudhi tertawa dengan tatapan mata yang masih kosong, Marrie menepuk jidatnya melihat tingkah ketiga laki-laki beda usia di hadapannya. Yang satu tengah bertolak pinggang, yang satu sedang dalam mode posesive, dan yang satu lagi sedang t
Seorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb