Kedua mata Yudhi membulat sempurna kala melihat seorang pria mengeluarkan koper serta barang-barang miliknya dari dalam bagasi mobil.
"I-itu?" ucapnya gugup.Jhon tertawa terbahak-bahak dan menepuk pundak pria beralis tebal itu. "Hei, selama kau berada di London, kau tinggal di sini. Kau harus bertanggung jawab!" titah Jhon dengan menekankan perkataan terakhirnya.
Yudhi nampak masih mencerna ucapan Jhon, salah apa dia sampai harus bertanggung jawab.
Apakah harus menikahi Marrie? Kalau seperti itu dengan senang hati dia pasti akan dengan lantang menyetujuinya.Pikiran pria itu lagi-lagi melayang kemana-mana, memikirkan sesuatu yang konyol dan membayangkan dirinya dinikahkan dadakan dengan Marrie."Hehehe," Tiba-tiba Yudhi tertawa dengan tatapan mata yang masih kosong, Marrie menepuk jidatnya melihat tingkah ketiga laki-laki beda usia di hadapannya. Yang satu tengah bertolak pinggang, yang satu sedang dalam mode posesive, dan yang satu lagi sedang t
Dengan terburu-buru Max mengenakan pakaiannya kembali. Jhon masih terus mengetuk pintu kamarnya dengan keras.Cklek"Whats up?" tanya Max panik sesaat setelah membulatkan pintu kamarnya.Tanpa berkata apa-apa, Jhon segera menarik tangan adik laki-lakinya dan membawanya ke ruang keluarga.Max tampak mengeryitkan keningnya, karena ia hanya melihat Yudhi yang tengah duduk dengan papan catur yang telah ditata rapih.Pandangannya beralih kepada Jhon, yang sedang sekuat tenaga menahan tawanya."Hahahaha kau harus menemaniku! Enak aja aku lagi dihukum istriku, sementara kau malah asik-asik dengan istrimu," tutur Jhon dengan santai, pria itu sangat puas telah mengerjai Max habis-habisan terlebih saat dia melihat hickey pada leher Max, ia sangat yakin telah mengganggu adiknya pada saat dan waktu yang tepat."Jadi, kau teriak-teriak hanya untuk memintaku menyaksikanmu yang sedang main catur?" tanya Max menahan kesal, demi apapun kepalanya sakit buk
"Eh."Marrie dan Yudhi tersadar kala bibir mereka nyaris bertemu, memang benar adanya jika wanita dan pria yang bukan muhrimnya berduaan dalam ruangan tertutup, maka yang ketiga adalah setan.Wajah mereka nampak bersemu merona tingkah kala menatap satu sama lainnya."Y-yuk su-sudah setengah delapan," ucap Yudhi gugup, otaknya masih saja memikirkan rasa bibir gadis yang nyaris ia kecup."Astaga, Yudh kenapa otakmu jadi kotor sekali!" rutuknya dalam hati, bersumpah serapah dengan pikiran liarnya.Hampir 30 menit perjalanan mereka tempuh, akhirnya mereka sampai pada sebuah hotel berbintang lima dipusat kota London.Marrie dan Yudhi turun dari mobil Ferarri yang mereka gunakan, memberikan kunci mobil kepada petugas valet lalu melangkah di atas red carpet yang membentang hingga ballroom hotel tersebut.Pria beralis tebal itu terperangah, untuk yang pertama kali seumur hidupnya, dia menghadiri sebuah acara reuni pada kaum high class.Marrie
Gadis itu sekuat tenaga memberontak, melawan segala hasrat yang mulai bergejolak di dalam tubuhnya. Marrie mungkin akan memilih untuk mati daripada harus menyerahkan mahkotanya pada laki-laki seperti Raymond. "Mo fo! Katakan dimana kamar atas nama Raymond!" pekik Yudhi yang tengah membuat keributan di Lobby hotel, pria itu menodongkan senjata api tiruannya agar resepsionis hotel itu menuruti kemauannya.(Kenapa tiruan, karena kalo asli jatuhnya ilegal ya gaes hehehe)Suasana lobby begitu kacau, pria itu mengamuk bagai orang yang kehilangan akal. "Hurry up! Jangan sampai besok hotel ini sudah rata dengan tanah! Kalian tau siapa yang disekap di kamar itu? Nona besar dari keluarga Larry, cepat!"pekik Yudhi murka, pikirannya kalut memikirkan hal yang tidak-tidak. Mendengar nama keluarga Larry, dengan cepat mereka segera memberitahukan kamar Raymond. Mereka sudah tidak peduli walapun Ray adalah anak salah satu pemilik saham hotel tersebut, karena mereka tahu
"Katakan, siapa lelaki brengsek itu?" Jhon mencengkram bahu Yudhi dengan tatapan siap membunuhnya. Sekilas ia melihat hickey pada leher dan dada Yudhi yang sedikit terbuka, menambah pikiran-pikiran negatifnya dengan apa yang baru saja adiknya alami."Aku hanya mengetahui namanya Raymond , Rose, dan Vyon. Mereka semua mantan teman sekolah Marrie," jawabnya mengingat-ingat.Jhon mengepalkan tangannya erat, ia begitu sangat familiar dengan nama-nama tersebut. Nama deretan anak-anak pengusaha di Inggris yang bersekolah di sekolah yang sama dengan Marrie dan tidak pernah jera untuk mengganggu Marrie.Jhon segera mengambil ponselnya, perbuatan mereka sudah sangat keterlaluan dan harus diberi pelajaran.Jhon menelepon Frans, sang asisten dan juga David untuk mengeksekusi ketiga tersangka.Tiba-tiba seseorang menepuk pundak Yudhi yang tengah termenung, sontak ia menoleh kebelakang dan melihat seorang pria tua yang tidak lain adalah Tuan Andrew."Nak, bisa
Yudhi termenung di balkon kamarnya, ia terus-menerus menatap dan membolak-balikkan kotak berisi cincin pertunangan di tangan kanannya.Pikirannya melayang kemana-mana, egois kah jika ia mengikat Marrie yang sama sekali tidak memiliki perasaan kepadanya. Namun, dirinya tetap harus melakukannya sebagai bentuk tanggung jawab dan janjinya kepada Tuan Andrew.Bukankah seorang pria sejati adalah pria yang dapat dipegang perkataannya? TOK TOK TOK Pintu kamarnya diketuk beberapa kali, Yudhi beranjak bermaksud untuk membukanya. Cklek "Yudhi, aku ingin bicara denganmu!" Marrie segera menarik Yudhi kedalam kamar dan menutup pintunya rapat-rapat, gadis itu seketika menggenggam kedua tangan pria tersebut dengan mata berkaca-kaca."Yudh, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak menginginkan pertanggung jawaban apapun darimu, kamu tidak salah. Yudh, tolong tolak permintaan konyol keluargaku." "..." "Aku tau, kita sama-sama gak ada rasa.
WARNING! Part ini mengandung adegan dewasa!"Kamu mau kemana?" tanya Tuan Andrew terkejut melihat Yudhi sudah begitu terlihat rapih dengan barang-barang miliknya yang sudah di masukan dalam koper dengan baik.Yudhi tersenyum dan mencium punggung tangan Tuan Andrew serta istrinya."Aku mau kembali ke hotel saja, namun besok aku akan kembali lagi untuk menemui Marrie," tuturnya sopan. Yudhi bertekad tidak akan sedikitpun menikmati fasilitas mewah keluarga Larry walaupun sebatas tempat tinggal. Dia akan membuktikan pada gadis kesayangannya, bahwa ia sama sekali tidak seperti yang Marrie tuduhkan."Hati-hati, Nak! Maafkan sikap anak Mommy, Marrie memang seperti itu jika sikap paranoidnya muncul," tutur Nyonya Anna lembut, terbersit rasa kasihan kepada pemuda di hadapannya Nyonya Anna yang selama ini terlihat diam sesungguhnya sangat merasakan ketulusan hati Yudhi kepada putri bungsunya.Yudhi mengangguk dan tersenyum lalu berpamitan melanjutkan per
Pagi hari di Mansion keluarga Larry, hampir seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Namun Marrie masih nampak belum menunjukan batang hidungnya."Mom, Dad, aku gak sarapan ya. Aku ada meeting di kantor," tutur Marrie mencium pipi kedua orang tuanya.Kedua manik mata birunya melirik sejenak, mencari sosok seseorang yang tidak ia dapati keberadaanya."Semalam Yudhi kembali ke hotel," ceplos Maxim tanpa mengalihkan pandangan dari piring makannya. Gadis itu tampak bungkam dan langsung pergi bersama dengan Albert sang asisten yang telah menunggunya.Sepanjang perjalanan menuju perusahaan, gadis itu terus termenung. Pikirannya terus-menerus menerka-nerka alasan Yudhi pergi dengan tiba-tiba.Waktu terus berputar, menunjukan jam makan siang. Marrie masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya hingga seperti biasa, gadis itu selalu saja melewatkan jam makan siang.Tok Tok TokPintu ruangannya diketuk beberapa kali, dan terbuka.M
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb
Seorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb