"...dengan emas kawin tersebut di bayar tunai!"
Sah! Alhamdulillah!
Suara hamdalah terdengar serentak memenuhi sebuah Masjid di ibukota Jakarta. Kini, sepasang anak manusia baru saja resmi menjadi sepasang suami istri.
Sang mempelai pengantin pria terlihat menyematkan sebuah cincin pernikahan pada jari manis mempelai wanita dan di balas ciuman di punggung tangan oleh istrinya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, pria itu telah berhasil menyakiti relung hati Marrie yang paling dalam. Seketika tubuh gadis itu terasa lemas, otaknya benar-benar tidak bisa untuk berpikir. Lolos sudah air mata dari kedua mata berlensa birunya, cinta yang sudah ia cari dan tunggu bertahun-tahun kini hancur hanya dalam waktu 5 menit saja.
"Marrie," Yudhi memperhatikan gadis di sampingnya, hatinya benar-benar ikut merasakan sakit kala melihat wajah Marrie yang benar-benar telah berubah pias.
Tanpa berkata apa-apa, Marrie berbalik dan melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu."Marrie, kamu mau kemana dengan kondisimu seperti?" tanya Yudhi lembut, ia benar-benar khawatir dengan kondisi Marrie, dia takut jika gadis itu akan melakukan hal bodoh.
"Aku ingin pulang ke negara asalku. Kau tidak perlu khawatir, aku bukanlah seseorang yang berpikiran sempit," Marrie berucap dengan lantang dan langsung menaiki taksi yang baru saja ia berhentikan.
Yudhi menatap nanar kepergian gadis itu, kemudian menaiki taksi lain dan mengikuti gadis itu, guna memastikan Marrie baik-baik saja dan benar-benar sampai di bandara.Setelah prosesi akad nikah selesai, kini pengantin dan rombongannya mulai meninggalkan area masjid.
Sang pengantin pria tampak berjalan ke arah mobil, namun langkahnya terhenti kala melihat sebuah buku sketsa yang begitu saja tergeletak di jalan, tepat di samping mobilnya.Pria itu perlahan mengambilnya, hingga tak sengaja melihat sebuah sketsa wajah seorang pria yang sangat mirip dengan wajahnya, dengan sebuah catatan kecil di bawahnya.
My first Love "Dimas"
Aku selalu berharap Tuhan akan mempertemukan kita kembali, walaupun aku harus menunggu bertahun-tahun lamanya.Deg!
Jantungnya berdetak kencang, pandangannya menelisik keseluruh penjuru namun sayang, ia tidak menemukan siapapun.
Sedangkan di sisi lain, gadis berlensa biru itu nampak menangis di dalam sebuah taksi. Pupus sudah cinta yang sudah bertahun-tahun ia cari, karena kini telah dimiliki oleh orang lain.
Hatinya begitu sakit bagai tertusuk beribu duri tak kasat mata, perjalanan panjang yang harus melewati antar benua kini semuanya sia-sia.................
Dua bulan berlalu, di apartemen mewah milik kakak kedua Marrie di London nampak begitu ramai dan ricuh. Apalagi penyebabnya kalau bukan ulah keponakan kembar Marrie yang selalu bertengkar setiap waktu.
"Gak mau! Ini punya aku, kamu ngalah dong!" pekik Sunny yang tengah berebut sepotong paha ayam goreng dengan Shine, adik kembarnya.
Tidak mau mengalah lagi-lagi Shine merebut kembali paha ayam yang kini berada di tangan kakaknya, "Kau sudah makan 1, yang ini jatah aku!""Kamu kan bisa milih yang lain, kamu harus mengalah dengan yang lebih tua!" Lagi-lagi' Sunny mengeluarkan jurus andalannya, mengatasnamakan statusnya sebagai anak pertama untuk membuat adiknya mengalah padanya.
"Cih, kau hanya beda semenit denganku namun selalu merasa tua! Tidak, aku tidak akan mengalah lagi padamu, dasar cengeng!" cebik Shine yang kini tidak mau mengalah, ia langsung mengigit paha ayam goreng tersebut hingga membuat kakaknya menangis.
"Huaaa... Papa, Shine nakal!" Sunny menangis histeris dan kini nampak memukul-mukul adiknya.
Hemm...Hemmm...
Mikha berdehem seraya mengatuk-ngatukan jemarinya di atas meja makan. Kedua anak itu seketika terdiam, terlebih kala melihat kedua bola mata sang ibu yang sudah seperti mau meloncat keluar.
"Kalian ini, kenapa tidak bisa sehari saja tidak bertengkar! Papa baru keluar dari rumah sakit, tapi bisa-bisa Mama yang gantian masuk rumah sakit gara-gara darah tinggi lihat tingkah kalian berdua," omel Mikha dengan intonasi suara begitu menekan hingga membuat kedua anaknya tertunduk.
"Maaf ma," ucap Shine dan Sunny serentak.
"Sabar sayang, sabar. Inget lagi hamil jangan marah-marah," tutur Max mengelus-elus punggung istrinya, ia paham istrinya begitu lelah mengurus dirinya dan kedua anaknya.
Ting Tong
Tiba-tiba bel berbunyi, Mikha segera beranjak untuk membukakan pintu.
"Marrie," sapanya kala melihat adik iparnya dengan wajah super kusut seperti cucian belum di setrika.Semenjak kepulangannya dari Indonesia dua bulan yang lalu, sikap gadis itu benar-benar berubah. Ia terlihat lebih banyak diam dan menghabiskan waktunya dengan setumpuk pekerjaan.
"Kak, aku boleh menginap disini? Aku bosan di rumah," ucapnya lesu, Mikha tersenyum dan menggandeng lengan adik iparnya untuk masuk dan mengajaknya menuju ruang makan.
"Makan dulu, kebetulan tadi kakak masak banyak, eh tau-tau Rika harus balik ke rumah sakit. Katanya ada panggilan emergency, besok kakak akan buatkan cake kesukaan kamu" tutur Mikha kembali setidaknya membuat senyaman gadis blonde di sampingnya sedikit merekah.
................
Di waktu dan tempat berbeda seorang pria tampan berseragam tentara tengah menikmati waktu istirahatnya. Pria tampan beralis tebal itu sibuk mencari sebuah nama disetiap aplikasi sosial media namun tidak kunjung ia temukan."Yud," sapa Dimas seraya mendaratkan bokongnya di kursi samping Yudhi. Yudhi yang tampak asik dengan ponsel dan permen lollipop di mulutnya hanya melirik sejenak lalu mengalihkan pandangannya kembali pada ponselnya.
Entah mengapa, semenjak kejadian hari itu Yudhi seperti menghindar dari sahabatnya. Perasaan kesal, kecewa dan amarah selalu ia rasakan kala melihat wajah Dimas. Hingga pada akhirnya ia tidak peduli dengan penjelasan alasan Dimas yang tiba-tiba menikah.
"Yud, lu kenapa sama gue?" tanya Dimas yang sampai detik itu tidak tahu bahwa Yudhi menemani Marrie untuk mencari dirinya. Yudhi mengeluarkan sebuah earphone dari saku celananya, dan memasangnya di kedua telinganya. Sedangkan Dimas hanya menggelengkan kepalanya melihat sikap Yudhi.
"Sayang," suara wanita tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Shinta tiba-tiba datang dan memeluk Dimas dengan manja tanpa rasa malu sedikitpun.
Dimas tersentak dan menoleh kepada wanita tersebut.
"Untuk apa kau kesini?" ucap Dimas yang mencoba menahan intonasi suaranya, sedangkan Yudhi yang jengah nampak memutar bola matanya lalu pergi begitu saja.Selepas kepergian Yudhi, Dimas mendorong tubuh istrinya hingga menjauh dari hadapannya. Semenjak mereka menikah, Dimas memang enggan untuk berdekatan dan bersentuhan dengan Shinta. Walaupun Shinta memiliki wajah yang sangat cantik dan bentuk tubuh yang begitu menggoda.
"Kamu kenapa sih? Salah aku apa sama kamu?" Shinta berteriak tanpa rasa malu sedikitpun. Alih-alih menenangkannya, pria itu malah pergi meninggalkan istrinya yang masih terus merancau.
"Sh*t! Ini sudah gak bisa dibiarkan lebih lama lagi, aku akan melakukan cara terakhir," gumam Shinta disertai senyuman seringainya, entah apa yang ia rencanakan. Nampaknya ia ingin Dimas masuk dalam perangkapnya.
Tok...Tok...Tok..."Marrie, kamu sudah tidur belum?" Mikha mengetuk pintu kamar adik iparnya, memastikan gadis itu sudah tertidur atau masih terjaga. Marrie yang masih berdiri di balkon kamar segera berjalan menuju pintu kamarnya.CklekPintu terbuka, Mikha nampak membawa segelas susu hangat di atas nampan."Kirain kakak, kamu udah tidur. Nih kakak bawain susu buat kamu," tuturnya lembut dan menyerahkan susu tersebut kepada Marrie."Terima kasih, Kak. Maaf, kedatanganku malah jadi ngerepotin kakak padahal kakak lagi hamil dan udah capek ngurusin Kak Max dan kembar," ucapnya lirih, merasa tidak enak hati dengan kakak iparnya.Mikha hanya mengulas senyuman dengan adik iparnya, wanita berhati lembut itu sudah menyayangi Marrie seperti Rika, adik kandungnya sendiri."Kamu itu ngomong apa? Kayak baru kenal Kakak sehari dua hari aja. Marrie, kamu itu adiknya kakak, sama seperti Rika. Jadi, kakak harap jika ada sesuatu yang mengganggu hati
Air langit mulai turun membasahi bumi, menyebarkan aroma tanah basah yang begitu menenangkan indera penciuman.Yudhi terlihat asik bersenandung seraya melenggak lenggokan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tak lupa permen kaki yang setia menemaninya di manapun dan kapanpun."Am I supposed to leave you now, when you're looking like that? I can't believe what I just gave away now I can't take it back," Yudhi bersenandung ria dengan earphone yang terpasang di telinganya."Yudhi, Dhi! Yudhi! Yudhistira Galih Wardhana!" teriak Joko dengan suara medoknya tepat di samping telinga Yudhi.Yudhi terperanjat kaget dan mengusap-ngusap telinganya yang berdenging, "Bujug buset, kuping gue bisa budeg Jokoooooooooo!" protes Yudhi kepada rekan seprofesinya. Joko hanya menyengir mendengar celotehan Yudhi, "Habisnya Kowe, tak panggil ora krungu."*Habisnya kamu, saya panggil tidak dengar."Kan lu bisa nepuk pundak gue, Joko saswito priyadi sadewo arya dininggrat wija
Flashback ONDimas tampak menatap wajah ibunya yang tengah terbaring lemah, wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat karena penyakit kista yang tertanam di tubuhnya."Dimas, ibu ingin melihatmu menikah," ucapnya lemah namun membuat Dimas benar-benar terkejut dengan permintaan ibunya."Bu, sabar ya. Dimas pasti akan menikah, Dimas akan secepatnya memperkenalkan calon istri Dimas pada ibu," jawabnya lirih dan lembut seraya menggenggam tangan ibunya, namun reaksi sang ibu sungguh tak di duga. Wanita itu menarik genggaman tangan sang putra dan memalingkan pandangannya."Ah tidak, ibu hanya ingin kau menikahi gadis pilihan ibu. Secepatnya," pintanya memaksa."Tapi bu," Dimas mencoba berkilah namun ucapannya segera disanggah oleh sang ibu."Tapi apa? Kalau tidak menurut, Ibu tidak ingin di operasi, lebih baik ibu mati saja!" ancam wanita tua itu dengan memaksa.Flashback Off................"Hari-hariku seperti di neraka, k
"Get your hands off her!" Pekik seorang pria yang langsung mendekat kearah Marrie.Marrie tampak mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali, guna memastikan kalau penglihatannya tak salah. "Damn! Who are you?" Raymond berdecak kesal dengan pria yang kini berada tepat di hadapannya. Tatapan pria itu begitu tajam dan menusuk, membuatnya begidik ngeri kala beradu pandang dengannya. "She's my GIRLFRIEND!" ucap pria misterius itu dengan menekankan kalimat Grilfriend, membuat Marrie terkejut dan terperangah. "Hahaha I dont care, aku hanya ingin bersenang-senang dengannya. Betul kan sayang?" Raymond berkata dengan nada mengejek dan menyentuh wajah Marrie yang terlihat ketakutan. "Damn it!" BRUKKK!!! Yudhi yang geram seketika memukul Raymond dengan brutal.Perkelahian tak dapat terelakkan, namun karena kemampuan bela diri Yudhi yang sangat terlatih membuatnya dengan mudah melumpuhkan Ray hingga babak belur. "Pergi!" Yudhi berteri
"Ayo masuk!" titah Marrie, menyadarkan Yudhi dari lamunan tak berujung. Beberapa pelayan nampak menyambut kepulangan Marrie hingga sampai di pintu masuk, Jhon telah berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada."Bagus, jam segini baru pulang!" Kini mereka telah berada di ruangan tamu, posisi Yudhi dan Marrie sudah bagaikan terdakwa yang bersiap untuk diadili. Gadis itu terus saja mengumpat dalam hati karena keposesifan kakaknya. "Wah Wah ada apa ini, Jhon?" Lagi dan lagi, Yudhi di buat terkejut oleh sosok Maxim yang tiba-tiba datang. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa sang idola adalah kakak kedua dari Marrie dan merupakan mantan rival sahabatnya, Dimas. Marrie menjelaskan secara detail dan rinci tentang kejadian yang baru saja terjadi padanya. Sementara Jhon dan Maxim mendengarkan dengan seksama, mencari kebohongan di mata sang adik yang tak kunjung mereka temukan. Lalu mereka beralih pada Yudhi, mengintrogasi secara detail hingga
Di tempat berbeda, seorang wanita cantik tengah menunggu seseorang di sebuah cafe.Tak berselang lama datanglah seorang laki-laki berwajah tampan, tersenyum penuh arti kepadanya. "Sayang, aku rindu padamu!" ucap pria itu dengan melingkarkan tangannya di pinggang sang wanita.Sang wanita membalasnya dengan memberikan sebuah kecupan pada bibir pria tersebut. "Aku juga sangat rindu padamu, sabar ya setelah kita mendapatkan itu semua maka aku akan meninggalkannya," ucap wanita bertubuh bak gitar spanyol tersebut. "Aku lelah menghadapi kemunafikannya setiap hari! Lagi pula aku merindukan kepunyaaku," bisiknya kembali seraya menggigit kecil daun telinga pria itu. Pria yang bernama Anthony itu tersenyum seringai dan segera menggendong tubuh wanita yang telah berstatus istri orang tanpa rasa malu."Katakan pada suamimu kalau kau menginap di rumah orang tuamu. Hari ini kita akan menghabiskan waktu bersama, Shintaku tersayang." ................
Yudhi memejamkan matanya, entah apa yang ada di dalam pikiran pria tampan itu. Dadanya begitu bergemuruh ria menantikan moment-moment yang dia inginkan, hembusan napas gadis itu begitu terasa hangat dan terasa semakin mendekat, membuat perasaannya semakin tidak terkendali. "Bulu matamu jatuh," ucap Marrie seraya mengambil sesuatu dari pipi Yudhi. Yudhi segera membuka matanya, rasanya ia ingin memendam wajahnya di dalam pasir karena sudah berpikir hal yang tidak-tidak.Tersirat semburat merah jambu pada kedua pipinya. "E-Emm Ki-kita ma-kan yuk!" tuturnya gugup dan segera menarik lengan Marrie. Mereka memilih sebuah restoran seafood bertemakan outdoor di tepi pantai, beratapkan suasana langit bertabur bintang dengan lampion-lampion yang menghiasi sudut-sudutnya. Sepasang anak manusia itu begitu menikmati hidangan yang tersedia, hingga kini berbincang-bincang setelah mereka menuntaskan makan malam."Marrie, boleh aku bertanya sesuatu?" tany
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Bu Etty tiada henti-hentinya menggerutu seolah perasaan kesalnya kepada Dimas belum berkurang sedikitpun.Fafa hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang ibu, dia juga tidak mengerti mengapa ibunya sangat mudah marah dengan Dimas padahal Dimas adalah sosok anak yang baik dan selalu menuruti keinginannya."Bu, ibu kenapa sih sama Kak Dimas? Kak Dimas itu selalu menuruti kemauan ibu tapi kalau Kak Dimas melakukan sedikit saja kesalahan, pasti ibu meluap-luap kaya gini," tanya Fafa dengan suara lembut sbil tetap fokus mengemudi mobil miliknya."Ibu, kok diam aja. Gak baik loh Bu bersikap seperti tadi," tuturnya kembali saat Bu Etty hanya diam dan tidak menanggapi perkataannyaLagi-lagi Fafa menggelengkan kepalanya, sudut matanya sedikit melirik pada ibunya yang masih saya merancau tanpa suara."Memang seharusnya dia mengikuti semua kemauanku, anggap saja sebagai imbalan kalau aku sudah berbaik hati merawatnya.
Seorang pria menatap nanar pemandangan Ibukota dari balik jendela kamar hotel yang ia tempati. Sudah semalaman suntuk ia terjaga, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan nasib rumah tangganya dan hatinya.Pikirannya terus menerus berandai-andai, menyesali segala sifatnya yang terlalu lemah.Andai ia tidak egois dan menyia-nyiakan ketulusan gadis yang benar-benar mencintainya, andai ia berani menolak perjodohan yang telah diatur oleh ibunya, mungkin semuanya takkan seperti ini.Terbelenggu jeratan takdir yang menjerumuskannya ke dalam neraka rumah tangga.Dimas terus-menerus merutuki kebodohannya, ia berjalan keluar menuju balkon kamar yang terletak di lantai dua puluh sebuah gedung pencakar langit.Pria putus asa itu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya, mengambil sebatang rokok lalu menyulutnya dengan sebuah pemantik.Dimas menyesap benda candu yang sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, pikiran kacau tak mampu berpikir jernih."A
"Ampun Tuan! Saya mohon maafkan kesalahan anak saya," suara seorang pria paruh baya, memenuhi sebuah rumah mewah yang berada di sudut kota London.Terlihat Jhon tersenyum kecut seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Hahahaha apa? Ampun? Apa anak kalian yang otaknya kosong itu berpikir sebelum bertindak?" cibir Jhon, mata birunya menyorot tajam seorang pemuda yang tengah dipaksa berlutut oleh kedua orang tuanya. Jhon melangkah perlahan lalu berdiri tepat di hadapan pemuda itu. Kaki kanannya berayun menyentuh dagu pemuda itu hingga mendongakkan wajahnya."Kau! Lancangnya mencelakai adikku!" Brak! "Raymond!" pekik kedua orang tua pemuda itu histeris, Jhon yang murka tidak segan-segan memandang wajah Raymond hingga hidungnya mengeluarkan darah.Setelah puas menyiksa orang-orang yang terlibat dalam penjebakan Marrie malam itu, tanpa berkata apapun lagi Jhon melangkahkan kakinya keluar rumah. "Frans, cabut saham kita di perusah
Dimas melangkah masuk menuju pintu rumahnya, beberapa kali ia ketuk pintu tetapi sama sekali tidak ada jawaban dari Shinta.Pria itu mengambil ponsel saku celananya, mencoba menelpon keberadaan sang istri karena walau bagaimanapun ia khawatir karena Shinta tengah mengandung.Beberapa kali ia mencoba menghubungi sang istri, tapi nihil. Tidak ada jawaban sama sekali, dengan panik ia segera mengambil kunci cadangan, takut terjadi apa-apa dengan Shinta di dalam rumah."Shinta! Shinta!"Dimas mengedarkan pandangannya keseluruhan arah, mencoba menelisik keberadaan sang istri di setiap ruangan."Shinta! Ya ampun, kemana lagi dia?" ucapnya frustasi, lagi dan lagi Shinta pergi tanpa meminta izin kepadanya terlebih dahulu.Dimas mencoba menghubungi mertua dan ibunya, mencoba mencari tahu keberadaan istrinya. Namun, Shinta tak berada di manapun, membuatnya semakin berada di ambang kepanikan.Pria itu menajamkan pendengarannya saat mendengar deru mes
Hari itu Dimas mencari keberadaan Yudhi, tetapi nihil. Pria itu tak kunjung ditemukan. Beberapa kali pula ia mencoba menelpon sahabatnya tapi lagi-lagi ponsel milik Yudhi sama sekali tidak dapat dihubungi."Joko!" pekik Dimas kala melihat Joko yang berjalan jauh di depannya."Joko, tunggu!"Joko menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah sumber suara. Terlihat Dimas berlari kecil mendekatinya dengan napas yang sedikit terengah-engah."Ada apa? Wes kaya wong dikejar setan," tanya Joko bingung.Dimas diam sejenak, mencoba mengatur napas dan intonasi suaranya sebelum bertanya kepada Joko."Yudhi mana? Aku telepon gak bisa.""Piye kamu ini, satu kompi lagi ada tugas bantuan evakuasi ke daerah yang dilanda gempa," jawab Joko santai."Ah astaga! Aku lupa tapi, sampean gak ikut?" tanya Dimas kembali.Seketika Joko menepuk keningnya dan berdecak pinggang, "Kowe ora liat, kaki aku di perban gara-gara sopo? Aku kemarin 'kan terkilir ga
Selepas bertugas, Yudhi melajukan motornya menuju alamat yang sudah diberitahu oleh John.dengan senyuman yang mengembang, pria tampan beralis alis tebal itu melajukan sepeda motornya membelah hiruk pikuk kota Jakarta.Sejenak ia menepikan kendaraannya di sebuah toko bunga, melihat-lihat hamparan bunga-bunga yang terpajang dengan indahnya."Ada yang bisa saya bantu, Mas?" tanya seorang pegawai toko bunga tersebut."Saya mau sebuket bunga rose yang warna merah jambu ya. Tolong di susun yang cantik," ucapnya seraya mengusapkan tengkuk lehernya, karena sejujurnya ini adalah kali pertama ia membeli bunga untuk seorang wanita.Segala perasaan berkecamuk di dadanya, Yudhi sudah tidak sabar untuk menemui Marrie.Rasa rindu semakin mendominasi memenuhi relung sanubarinya."Ini, Mas! Sudah jadi," ucap pelayan tersebut seraya menyerahkan sebuket mawar berwarna pink."Oh, ok Mbak! Berapa?" tanya Yudhi seraya mengeluarkan dompet yang tersimpan di
Wajah Marrie seketika ditekuk kala mendengar perkataan Maxim.Ketiga pria di rumahnya benar-benar kompak dan sama sekali tidak ada yang membelanya."Ih, ya sudah aku mau packing! Besok berangkat," tutur Marrie pasrah.Jhon dan Tuan Andrew tersenyum seringai, melihat rencana mereka yang berjalan mulus.Di kamar Mikha yang sebenarnya keberatan, hanya bisa protes kepada suaminya. Walaupun ia setuju Marrie dijodohkan dengan Yudhi, tetapi membiarkan mereka tinggal satu atap bukanlah pilihan yang tepat."Max, aku tuh takut kalau kejadian Indah dan Kak Jhon terulang! Namanya tinggal bareng, apalagi mereka belum menikah!" protesnya kala mengingat kejadian beberapa tahun silam, saat Jhon dulu pernah menghamili sahabatnya di luar ikatan pernikahan dan berujung tragis.Sedangkan Max hanya menyengir kuda menanggapi ocehan sang istri yang seakan tiada habisnya. Ucapan Mikha memang benar, tetapi ia juga tidak bisa berbuat banyak jika itu sudah merupakan kehendak
"Yudhi!" "Maaf Nona, anda tidak dapat masuk," ucap seorang pegawai bandara, menahan pergerakan Marrie yang memaksa untuk masuk.Namun, gadis itu tidak peduli, ia terus saja berteriak memanggil nama Yudhi, dengan tubuh memberontak meminta dibebaskan. "Lepaskan! Saya ingin bertemu tuangan saya!" "Maaf, anda bisa menunjukan tiket jika ingin masuk," ucap petugas bandara tersebut.Sementara sosok pria yang diduga Yudhi sudah semakin jauh dan menghilang dari pandangan. Marrie terkulai lemas, tubuhnya merosot begitu saja. Sungguh ia ingin meminta maaf atas segala prilaku buruknya kepada Yudhi.Ia menghapus cairan bening yang keluar dari sudut matanya dengan kedua punggung tangannya, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kakak!" pekik gadis blonde itu kala melihat kedua kakaknya dari kejauhan. Marrie segera bangkit dan berlari tergopoh-gopoh, dengan napas yang su
Marrie bergeming menatap surat yang ia baca.Wanita mana yang tidak luluh dengan sikap manis dan hangat yang di berikan seorang pria, Marrie terpesona. Pandangannya menatap wajah pria yang tengah tersenyum manis kepadanya. "E-Emm, aku mau pulang," ucapnya, mencoba menarik kembali kesadarannya. "Marrie, please! Kali ini saja, besok aku harus kembali ke Indonesia," tutur Yudhi memohocn dengan sebelah tangannya yang terus menggenggam tangan gadis itu. "Aku tidak peduli!"Gadis berkulit putih itu menepis tangan Yudhi lalu meninggalkannya seorang diri. "Marrie, please! Tolong berikan aku kesempatan sekali saja untuk membuktikan kesungguhanku padamu." Gadis itu menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Yudhi yang terus saja mengekor padanya."Yudh, cinta itu gak bisa di paksakan! Kau tidak cinta padaku dan aku tidak cinta padamu!" pekik gadis itu seraya menunjuk-nunjuk dada Yudhi dengan jari telunjuknya. Yudhi terdiam, hatinya
Dimas nampak bersiap dengan seragam yang telah membalut tubuh tegapnya, dilihatnya jam yang menempel pada dinding kamarnya, sudah menunjukan pukul 7 tepat. Dimas keluar kamar menuju meja makan."Shinta, sarapanku mana?" tanyanya bingung, karena sama sekali tidak ada makanan bahkan air putih di meja tersebut."Shinta?" panggilannya sekali lagi.Shinta datang dengan pakaian yang tampak rapih, dipadu makeup bold yang menghias wajahnya."Aduh maaf ya mas, aku ada janji sama ibu," ucapnya santai sambil menenteng hells di tangannya."Sepagi ini? Mau kemana?" tanya Dimas bingung."Mau Arisan, pulangnya jalan-jalan dulu ke mall. Bagi duir dong mas," pintanya tanpa sopan. Dimas hanya menghela napasnya lalu mengeluarkan dompet miliknya. Ia malas untuk bertengkar pagi-pagi, terlebih jika nanti ibu harus ikut campur. Tidak akan ada yang membelanya dan hanya membuang tenaga.Dimas memberanikan 5 lembar uang 100 ribuan dari dalam dompetnya, lalu memb