“Silakan duduk,” titah Elena, suaranya terdengar datar namun berusaha tetap sopan.
Karl menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan postur santai. Ia menyilangkan kakinya dengan elegan, lalu menatap Gio dan Elena yang duduk berdampingan. Pandangannya terfokus pada tangan Gio yang melingkar di pinggang Elena.
“Kau sangat mencintai istrimu, ya?” tanya Karl dengan nada dingin yang hampir seperti ejekan. “Sampai-sampai kau tidak ingin melepaskan tanganmu di pinggangnya?”
Gio menaikkan alis, jelas merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Namun, ia menjaga nadanya tetap tenang. “Tentu saja,” jawabnya pendek, berusaha tidak terpancing.
“Oh!” Karl menyunggingkan senyum kecil yang tampak lebih seperti provokasi. “Kedatanganku ke sini hanya untuk satu hal. Mengantarkan kontrak kerja sama dengan restoran Elena.”
Gio mengerutkan keningnya, terkejut. “What? Tunggu dulu. Perusahaan sebesar milikmu—The Blue Company—benarkah ingin bekerja sama dengan restoran kecil seperti milik Elena?”
Karl mendongakkan kepala sedikit, ekspresinya tetap datar. “Kau menghina perusahaan istrimu sendiri, ya?” tanyanya dengan nada penuh sindiran, menatap Gio dengan intens.
Elena menoleh ke arah Gio, matanya memancarkan kekecewaan mendalam. Ucapan suaminya tadi seolah meremehkan segala usahanya selama ini.
“Maksudku…” Gio tergagap, menyadari kesalahannya. “Maksudku adalah, perusahaanmu selalu bekerja sama dengan bisnis besar. Kau tidak membutuhkan keuntungan kecil seperti ini. Bukankah itu tidak masuk akal?”
Karl menghela napas panjang, seolah bersabar menghadapi kebodohan Gio. “Kau rupanya tidak tahu moto di perusahaanku, Gio. Perusahaan mana pun akan kuberi jalan, jika mereka mau tumbuh bersamaku. Elena datang kepadaku, meminta bantuan. Aku memberinya jalan. Sesederhana itu.”
Nada Karl terdengar santai, namun setiap katanya bagaikan tombak yang menusuk ego Gio.
Gio mengepalkan tangannya di atas paha, berusaha menahan emosi. Ucapan Karl jelas memancing amarahnya, seolah-olah dirinya tidak mampu membantu Elena keluar dari keterpurukan.
“Batalkan kontrak kerja sama itu!” suara Gio memecah keheningan, dingin dan penuh otoritas, namun juga mengandung kemarahan yang terpendam.
Elena sontak menoleh, matanya membelalak penuh keterkejutan. “Gio! Apa maksudmu? Kau memang ingin membuatku bangkrut, huh?” ucapnya, suaranya bergetar antara kecewa dan tak percaya.
Gio melangkah maju, wajahnya tegang. “Tentu saja tidak, Elena! Karl hanya ingin memanfaatkanmu. Dia akan mengambil restoranmu begitu kau lengah!” tuduhnya tanpa pertimbangan, matanya menyiratkan keyakinan akan setiap katanya.
“Kau pikir aku sebodoh itu?” balas Elena, suaranya kini lebih tegas. “Kalau begitu, apa kau bisa membantuku? Perusahaanmu sendiri sedang goyah, Gio! Apa yang bisa kau lakukan untukku?”
Tantangan Elena membuat Gio terdiam sesaat, rahangnya mengeras. Namun, sebelum ia bisa membalas, Elena melanjutkan, nadanya penuh keteguhan.
“Aku sangat membutuhkan dana dari Karl. Jadi, jangan coba-coba menghalangiku untuk bekerja sama dengannya, Gio.”
Ucapan itu membuat darah Gio mendidih. Napasnya memburu, tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Andai saja Karl tidak ada di sana, mungkin ia sudah melampiaskan amarahnya, entah dengan kata-kata atau tindakan yang lebih buruk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Gio bangkit dari duduknya. Langkahnya cepat dan penuh amarah saat ia meninggalkan ruangan, membanting pintu di belakangnya.
Keheningan yang tersisa terasa mencekam. Karl, yang menyaksikan adegan itu, hanya menyunggingkan senyum tipis. Ia melangkah mendekat ke arah Elena yang masih berdiri di tempatnya, mencoba menenangkan diri dari pertengkaran tadi.
“Keputusanmu sudah benar, Elena,” ucap Karl dengan nada rendah, tatapannya lekat mengunci wajah wanita itu.
Elena mendongak menatap Karl, bingung dengan ucapannya. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, suara yang semula tegas kini melemah.
Karl mendekat sedikit lagi, jaraknya hanya beberapa langkah dari Elena. Tatapannya berubah lebih intens, sementara senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi dingin.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Elena,” desis Karl, suaranya tajam namun terdengar lembut seperti racun yang menyusup perlahan.
Elena menelan ludah, rasa tidak nyaman merambat ke tubuhnya. “Jawaban apa, Karl?” ulangnya, meski dalam hati ia sudah bisa menebak arahnya.
Karl tersenyum miring, seperti seseorang yang tahu dirinya memegang kendali penuh. “Menjadi teman tidurku dan ceraikan pria gila itu,” ucapnya langsung tanpa basa-basi, tatapannya masih menusuk ke arah Elena.
“Apa kau akan menuntut hal itu terus-menerus padaku, Karl?” tanya Elena dengan suara bergetar, meski matanya tetap mencoba menentang sorot mata tajam pria di depannya.Karl tetap duduk di sampingnya, wajahnya tak menunjukkan belas kasih. “Dan kau sudah tahu jawabannya. Kenapa masih bertanya seolah aku akan melupakan apa yang sudah kita lewati, hm?”Nada suaranya rendah, namun setiap kata yang terucap bagaikan belati dingin yang menggores sisi rapuh hati Elena.Seolah tak puas dengan hanya kata-kata, Karl mengangkat tangan, jemarinya yang kokoh menggenggam dagu Elena dengan tegas namun penuh kendali.Mata mereka bertemu—mata hitam Karl seperti jurang tak berdasar yang menelan segala logika. “Jangan pernah berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja,” bisiknya pelan, nyaris seperti janji gelap yang bergetar di udara.Ketika tangan Karl akhirnya melepaskan dagunya, Elena merasakan jantungnya berdegup tak beraturan, seakan baru lepas dari cengkeraman sesuatu yang menakutkan dan menggetarka
“Dari mana kau mendapatkan foto itu?” suara Elena menggema pelan namun tajam ketika langkahnya berakhir di ambang restoran yang remang dengan cahaya lilin. Wajahnya mengeras, matanya berkilat oleh campuran cemas dan ketakutan.Karl menyambut kehadirannya dengan angkuh, seolah waktu dan masalah adalah sekadar angin yang lewat di tepi kesadarannya.Alis pria itu terangkat, mencerminkan rasa penasaran yang nyaris sinis. “Kenapa? Kau terlihat begitu terguncang,” ujarnya ringan, seulas senyum bermain di bibirnya yang dingin, sedingin hati yang tampaknya tak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia Elena.“Karl,” suara Elena sedikit bergetar, menggambarkan perjuangan batin yang nyaris tak tertahankan, “kau masih sendiri, dan aku—aku sudah bersuami. Jika foto itu tersebar, semua orang akan menganggapku wanita murahan yang tidak tahu malu. Aku mohon, bantu aku sekali ini saja.”Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti berkonspirasi dengan kegelisahan yang tak terucapkan.Karl mengulurkan
“Aku tidak pernah merasa dicintai olehnya. Dia hanya memikirkan karir dan pekerjaannya,” ucap Elena akhirnya, suara serak itu seolah membawa beban yang terpendam selama bertahun-tahun, membuncah keluar seperti air yang tumpah dari bendungan.Ia menatap Karl dengan sorot mata yang berkabut, rapuh namun tegar, mencari pengertian di wajah pria di hadapannya.Karl menaikkan satu alisnya, sikapnya terkesan acuh namun mengandung tanda tanya yang menusuk. “Atas cinta atau perjodohan?”“Pernikahan kami? Atas dasar cinta,” jawab Elena, bibirnya melengkung pahit seperti menelan pil yang getir.“Aku dan Gio menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun sebelum memutuskan untuk menikah.” Kata-katanya menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang menolak untuk pergi, menyisakan keheningan yang menghantui.Karl menghela napas panjang, aroma red wine yang kaya dan asam menyusup di antara mereka.Ia membawa gelas kristal ke bibirnya, lalu menyesap dengan perlahan, matanya menatap Elena seperti
“Elena. Aku masih tidak menyangka jika investor kita adalah Tuan Karl—pemilik The Blue Company yang lebih sering berkolaborasi dengan restoran bintang lima!”Maia berseru penuh semangat, suaranya riang seperti lonceng kecil yang bergemerincing di udara.Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya berbinar-binar seolah dunia baru saja membuka pintu penuh keajaiban di hadapannya.Elena hanya tersenyum tipis sambil terus memotong bahan-bahan untuk menu baru yang sedang ia persiapkan.Udara di dapur terasa hangat oleh aroma rempah-rempah yang menggoda, namun pikirannya terasa dingin, seperti beban berat yang menekan hatinya tanpa henti.“Dia teman kuliahku lima tahun yang lalu, Maia,” ucap Elena, nada suaranya tenang namun penuh lapisan yang sulit ditebak. “Jadi, tidak ada salahnya membantu sesama teman.”Namun, kenyataan yang sebenarnya tersembunyi jauh di balik kata-kata itu. Karl, dengan tatapan matanya yang tajam dan caranya berbicara yang selalu terukur, tidak pernah benar-ben
“Kalaupun iya, apa yang ingin kau lakukan?” Karl balik bertanya, suaranya mengalun seperti arus sungai yang tersembunyi, dingin namun membawa ancaman.Elena terdiam. Tubuhnya kaku seperti patung marmer yang dihantam badai, hanya suara kecil salivanya yang tertelan memecah keheningan. Dia terdiam, bukan karena tidak tahu jawabannya, tetapi karena Karl, seperti biasa, tidak memberinya ruang untuk sebuah kepastian.“Sebaiknya tidak perlu membahas itu lagi, Karl. Ada apa meneleponku?” katanya, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan suara selembut kapas yang disapu angin.“Apa kau sudah melakukan perintahku?” Suara Karl menjadi lebih tajam, menusuk seperti ujung pisau yang baru diasah. “Menambah menu dan membuang menu yang jarang dipesan oleh konsumen?”“Ya,” jawab Elena dengan nada yang hampir pudar, seperti lilin kecil yang berjuang melawan tiupan angin. “Aku sudah melakukannya sesuai dengan perintahmu. Aku sedang memasak beberapa menu yang kau berikan padaku saat makan malam itu.”“Goo
“Elena? Ada Tuan Karl di ruang kerjamu. Sejak kapan dia ada di sana?” Maia bertanya, menghampiri Elena yang baru saja hendak memasuki ruangannya.Suaranya ringan, tapi pertanyaannya menghempas seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk tengkuk Elena.“Entahlah,” jawab Elena dengan nada yang berusaha terdengar netral, meski dadanya terasa seperti drum yang dipukul tanpa henti.“Dia memang sudah menguasai restoran ini. Akan selalu datang semau hatinya.” Ia berusaha menetralisir detak jantungnya yang terasa semakin menggila, seperti sedang berlomba dengan waktu.Maia terkekeh pelan, suaranya lembut seperti angin musim semi yang hangat. “Begitu rupanya. Ya sudah, sebaiknya temui dia. Investor terbesar harus dilayani dengan baik,” ucap Maia dengan senyum yang terbit di bibirnya, membuat kesannya seolah-olah Karl hanyalah pria dengan kuasa biasa.Namun, kata-kata ‘melayani’ itu menghantam Elena seperti petir di langit cerah. Merinding tiba-tiba menyelimuti tubuhnya.Mendengar istilah itu d
“Kau benar-benar gila, Karl!” desis Elena, suaranya seperti angin yang berhembus dari celah-celah dingin di musim dingin.Tatapannya penuh ketidakpercayaan, berusaha memahami pria di depannya yang dengan entengnya mengakui telah menanamkan benih di rahimnya.“Kau ingin menyalahkanku, hm?” Karl menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat dalam senyum yang lebih menyerupai seringai tajam.“Seharusnya, sebelum menyeretku ke dalam kamarmu, kau siapkan pengaman untukku. Kau pikir aku selalu membawa barang itu setiap hari?”Setiap kata yang keluar dari mulut Karl adalah peluru, menembus tanpa ampun. Elena merasa semakin tersudut, dadanya sesak oleh rasa bersalah dan marah yang bercampur aduk.Ia sontak menepuk keningnya, seperti mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya. Ia menundukkan kepala, kedua matanya terpejam erat, seolah ingin menghilang dari kenyataan yang begitu kejam.Tubuhnya sedikit bergetar, dan dari bibirnya keluar umpatan pelan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.“Aku me
“Tidak perlu, Karl,” tolak Elena, suaranya nyaris tenggelam di antara tarikan napasnya yang gelisah.Ia membuang muka, mencoba menghindari tatapan Karl—tatapan yang seolah menyihir, memerangkapnya dalam keinginan liar yang memancar dari lelaki itu. Seperti seekor predator, Karl tampak siap menerkam mangsanya tanpa ampun.“Aku bisa merawatnya andai memang harus. Semoga saja tidak tumbuh,” gumam Elena dengan nada getir, seolah kata-katanya dapat mengubah kenyataan.Namun, hatinya tahu lebih baik. Ia menggigit bibirnya, merasakan gelombang kekhawatiran yang mencengkeram pikirannya.Masa suburnya adalah fakta yang tak bisa ia abaikan—dan mustahil bila benih itu tak akan berakar. Tetapi, ia tak mau terperangkap dalam percakapan ini lebih dalam.“Tatap aku, Elena,” suara Karl dingin, mengalun seperti angin musim dingin yang menggigit.“Katakan bahwa kau benar-benar tidak membutuhkan aku di sisimu.”Elena berbalik perlahan, memandang wajah Karl yang mematung, namun penuh dengan ketegangan.M
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini
“Kau tidak ingin bangun, hm?”Bisikan Karl meluncur lembut di udara, suaranya sarat dengan kemanjaan dan ketertarikan yang menguar begitu dekat.Jemarinya yang besar dan hangat melingkar di perut Elena, menahan tubuh mungil itu di dalam dekapan paginya.Bibirnya yang sedikit kasar akibat semalaman penuh ciuman mengusik wajah Elena berkali-kali, menelusuri pipinya, kelopak matanya, hingga sudut bibir yang masih tertutup rapat dalam kantuk.Elena menggeliat pelan, tubuhnya seakan tenggelam dalam ranjang yang masih dipenuhi kehangatan sisa semalam.“Eum…” Suara lirihnya lebih mirip desahan malas daripada jawaban.Perlahan, matanya yang kecokelatan membuka, lalu menoleh ke samping, di mana Karl masih terbaring dengan mata mengamati setiap pergerakannya.“Pukul berapa ini?” tanyanya dengan suara serak, lebih mirip gumaman yang terseret di antara kesadarannya yang masih berkabut.Karl tersenyum kecil, jemarinya bermain di helaian rambut Elena yang sedikit berantakan. “Pukul satu siang.”“Wh
“Selera Karl terlalu rendah jika menyukai Elena, wanita yang bahkan oleh Gio pun dibuang!” Suara Jesika meluncur tajam seperti belati yang terhunus di udara, sarat dengan ejekan dan kepedihan tersembunyi.Matanya menyala penuh perlawanan, bibirnya menipis dalam kemarahan yang ia tahan sekuat tenaga.Federick, alih-alih tersinggung, justru meledak dalam tawa. Tawa rendah yang menggema di dalam ruangan, bergetar dengan nada mengejek.“Justru Gio salah pilih lawan, Jesika.” Ia mengangkat dagunya, menatap Jesika seolah sedang menikmati kejatuhan lawannya.“Dia telah mengkhianati Elena, dan ternyata Elena memiliki pria dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari Gio.”Ia menyipitkan matanya, membiarkan kata-katanya menancap di benak Jesika sebelum mengakhirinya dengan senyum penuh kemenangan. “See? Jangan berharap kau bisa merebut Karl dari Elena!”Jesika mengepalkan tangannya erat, jemarinya bergetar dalam amarah yang berusaha ia tekan. Rahangnya mengeras, menahan keinginannya untuk melaya