“Silakan duduk,” titah Elena, suaranya terdengar datar namun berusaha tetap sopan.
Karl menarik kursi di hadapannya dan duduk dengan postur santai. Ia menyilangkan kakinya dengan elegan, lalu menatap Gio dan Elena yang duduk berdampingan. Pandangannya terfokus pada tangan Gio yang melingkar di pinggang Elena.
“Kau sangat mencintai istrimu, ya?” tanya Karl dengan nada dingin yang hampir seperti ejekan. “Sampai-sampai kau tidak ingin melepaskan tanganmu di pinggangnya?”
Gio menaikkan alis, jelas merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Namun, ia menjaga nadanya tetap tenang. “Tentu saja,” jawabnya pendek, berusaha tidak terpancing.
“Oh!” Karl menyunggingkan senyum kecil yang tampak lebih seperti provokasi. “Kedatanganku ke sini hanya untuk satu hal. Mengantarkan kontrak kerja sama dengan restoran Elena.”
Gio mengerutkan keningnya, terkejut. “What? Tunggu dulu. Perusahaan sebesar milikmu—The Blue Company—benarkah ingin bekerja sama dengan restoran kecil seperti milik Elena?”
Karl mendongakkan kepala sedikit, ekspresinya tetap datar. “Kau menghina perusahaan istrimu sendiri, ya?” tanyanya dengan nada penuh sindiran, menatap Gio dengan intens.
Elena menoleh ke arah Gio, matanya memancarkan kekecewaan mendalam. Ucapan suaminya tadi seolah meremehkan segala usahanya selama ini.
“Maksudku…” Gio tergagap, menyadari kesalahannya. “Maksudku adalah, perusahaanmu selalu bekerja sama dengan bisnis besar. Kau tidak membutuhkan keuntungan kecil seperti ini. Bukankah itu tidak masuk akal?”
Karl menghela napas panjang, seolah bersabar menghadapi kebodohan Gio. “Kau rupanya tidak tahu moto di perusahaanku, Gio. Perusahaan mana pun akan kuberi jalan, jika mereka mau tumbuh bersamaku. Elena datang kepadaku, meminta bantuan. Aku memberinya jalan. Sesederhana itu.”
Nada Karl terdengar santai, namun setiap katanya bagaikan tombak yang menusuk ego Gio.
Gio mengepalkan tangannya di atas paha, berusaha menahan emosi. Ucapan Karl jelas memancing amarahnya, seolah-olah dirinya tidak mampu membantu Elena keluar dari keterpurukan.
“Batalkan kontrak kerja sama itu!” suara Gio memecah keheningan, dingin dan penuh otoritas, namun juga mengandung kemarahan yang terpendam.
Elena sontak menoleh, matanya membelalak penuh keterkejutan. “Gio! Apa maksudmu? Kau memang ingin membuatku bangkrut, huh?” ucapnya, suaranya bergetar antara kecewa dan tak percaya.
Gio melangkah maju, wajahnya tegang. “Tentu saja tidak, Elena! Karl hanya ingin memanfaatkanmu. Dia akan mengambil restoranmu begitu kau lengah!” tuduhnya tanpa pertimbangan, matanya menyiratkan keyakinan akan setiap katanya.
“Kau pikir aku sebodoh itu?” balas Elena, suaranya kini lebih tegas. “Kalau begitu, apa kau bisa membantuku? Perusahaanmu sendiri sedang goyah, Gio! Apa yang bisa kau lakukan untukku?”
Tantangan Elena membuat Gio terdiam sesaat, rahangnya mengeras. Namun, sebelum ia bisa membalas, Elena melanjutkan, nadanya penuh keteguhan.
“Aku sangat membutuhkan dana dari Karl. Jadi, jangan coba-coba menghalangiku untuk bekerja sama dengannya, Gio.”
Ucapan itu membuat darah Gio mendidih. Napasnya memburu, tangan mengepal erat di sisi tubuhnya. Andai saja Karl tidak ada di sana, mungkin ia sudah melampiaskan amarahnya, entah dengan kata-kata atau tindakan yang lebih buruk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Gio bangkit dari duduknya. Langkahnya cepat dan penuh amarah saat ia meninggalkan ruangan, membanting pintu di belakangnya.
Keheningan yang tersisa terasa mencekam. Karl, yang menyaksikan adegan itu, hanya menyunggingkan senyum tipis. Ia melangkah mendekat ke arah Elena yang masih berdiri di tempatnya, mencoba menenangkan diri dari pertengkaran tadi.
“Keputusanmu sudah benar, Elena,” ucap Karl dengan nada rendah, tatapannya lekat mengunci wajah wanita itu.
Elena mendongak menatap Karl, bingung dengan ucapannya. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, suara yang semula tegas kini melemah.
Karl mendekat sedikit lagi, jaraknya hanya beberapa langkah dari Elena. Tatapannya berubah lebih intens, sementara senyum di wajahnya memudar, digantikan oleh ekspresi dingin.
“Jangan pura-pura tidak tahu, Elena,” desis Karl, suaranya tajam namun terdengar lembut seperti racun yang menyusup perlahan.
Elena menelan ludah, rasa tidak nyaman merambat ke tubuhnya. “Jawaban apa, Karl?” ulangnya, meski dalam hati ia sudah bisa menebak arahnya.
Karl tersenyum miring, seperti seseorang yang tahu dirinya memegang kendali penuh. “Menjadi teman tidurku dan ceraikan pria gila itu,” ucapnya langsung tanpa basa-basi, tatapannya masih menusuk ke arah Elena.
“Apa kau akan menuntut hal itu terus-menerus padaku, Karl?” tanya Elena dengan suara bergetar, meski matanya tetap mencoba menentang sorot mata tajam pria di depannya.Karl tetap duduk di sampingnya, wajahnya tak menunjukkan belas kasih. “Dan kau sudah tahu jawabannya. Kenapa masih bertanya seolah aku akan melupakan apa yang sudah kita lewati, hm?”Nada suaranya rendah, namun setiap kata yang terucap bagaikan belati dingin yang menggores sisi rapuh hati Elena.Seolah tak puas dengan hanya kata-kata, Karl mengangkat tangan, jemarinya yang kokoh menggenggam dagu Elena dengan tegas namun penuh kendali.Mata mereka bertemu—mata hitam Karl seperti jurang tak berdasar yang menelan segala logika. “Jangan pernah berpikir aku akan melepaskanmu begitu saja,” bisiknya pelan, nyaris seperti janji gelap yang bergetar di udara.Ketika tangan Karl akhirnya melepaskan dagunya, Elena merasakan jantungnya berdegup tak beraturan, seakan baru lepas dari cengkeraman sesuatu yang menakutkan dan menggetarka
“Dari mana kau mendapatkan foto itu?” suara Elena menggema pelan namun tajam ketika langkahnya berakhir di ambang restoran yang remang dengan cahaya lilin. Wajahnya mengeras, matanya berkilat oleh campuran cemas dan ketakutan.Karl menyambut kehadirannya dengan angkuh, seolah waktu dan masalah adalah sekadar angin yang lewat di tepi kesadarannya.Alis pria itu terangkat, mencerminkan rasa penasaran yang nyaris sinis. “Kenapa? Kau terlihat begitu terguncang,” ujarnya ringan, seulas senyum bermain di bibirnya yang dingin, sedingin hati yang tampaknya tak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia Elena.“Karl,” suara Elena sedikit bergetar, menggambarkan perjuangan batin yang nyaris tak tertahankan, “kau masih sendiri, dan aku—aku sudah bersuami. Jika foto itu tersebar, semua orang akan menganggapku wanita murahan yang tidak tahu malu. Aku mohon, bantu aku sekali ini saja.”Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti berkonspirasi dengan kegelisahan yang tak terucapkan.Karl mengulurkan
“Aku tidak pernah merasa dicintai olehnya. Dia hanya memikirkan karir dan pekerjaannya,” ucap Elena akhirnya, suara serak itu seolah membawa beban yang terpendam selama bertahun-tahun, membuncah keluar seperti air yang tumpah dari bendungan.Ia menatap Karl dengan sorot mata yang berkabut, rapuh namun tegar, mencari pengertian di wajah pria di hadapannya.Karl menaikkan satu alisnya, sikapnya terkesan acuh namun mengandung tanda tanya yang menusuk. “Atas cinta atau perjodohan?”“Pernikahan kami? Atas dasar cinta,” jawab Elena, bibirnya melengkung pahit seperti menelan pil yang getir.“Aku dan Gio menjalin hubungan selama kurang lebih satu tahun sebelum memutuskan untuk menikah.” Kata-katanya menggantung di udara, seperti bayang-bayang yang menolak untuk pergi, menyisakan keheningan yang menghantui.Karl menghela napas panjang, aroma red wine yang kaya dan asam menyusup di antara mereka.Ia membawa gelas kristal ke bibirnya, lalu menyesap dengan perlahan, matanya menatap Elena seperti
“Elena. Aku masih tidak menyangka jika investor kita adalah Tuan Karl—pemilik The Blue Company yang lebih sering berkolaborasi dengan restoran bintang lima!”Maia berseru penuh semangat, suaranya riang seperti lonceng kecil yang bergemerincing di udara.Ia berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya berbinar-binar seolah dunia baru saja membuka pintu penuh keajaiban di hadapannya.Elena hanya tersenyum tipis sambil terus memotong bahan-bahan untuk menu baru yang sedang ia persiapkan.Udara di dapur terasa hangat oleh aroma rempah-rempah yang menggoda, namun pikirannya terasa dingin, seperti beban berat yang menekan hatinya tanpa henti.“Dia teman kuliahku lima tahun yang lalu, Maia,” ucap Elena, nada suaranya tenang namun penuh lapisan yang sulit ditebak. “Jadi, tidak ada salahnya membantu sesama teman.”Namun, kenyataan yang sebenarnya tersembunyi jauh di balik kata-kata itu. Karl, dengan tatapan matanya yang tajam dan caranya berbicara yang selalu terukur, tidak pernah benar-ben
“Kalaupun iya, apa yang ingin kau lakukan?” Karl balik bertanya, suaranya mengalun seperti arus sungai yang tersembunyi, dingin namun membawa ancaman.Elena terdiam. Tubuhnya kaku seperti patung marmer yang dihantam badai, hanya suara kecil salivanya yang tertelan memecah keheningan. Dia terdiam, bukan karena tidak tahu jawabannya, tetapi karena Karl, seperti biasa, tidak memberinya ruang untuk sebuah kepastian.“Sebaiknya tidak perlu membahas itu lagi, Karl. Ada apa meneleponku?” katanya, berusaha mengalihkan pembicaraan dengan suara selembut kapas yang disapu angin.“Apa kau sudah melakukan perintahku?” Suara Karl menjadi lebih tajam, menusuk seperti ujung pisau yang baru diasah. “Menambah menu dan membuang menu yang jarang dipesan oleh konsumen?”“Ya,” jawab Elena dengan nada yang hampir pudar, seperti lilin kecil yang berjuang melawan tiupan angin. “Aku sudah melakukannya sesuai dengan perintahmu. Aku sedang memasak beberapa menu yang kau berikan padaku saat makan malam itu.”“Goo
“Elena? Ada Tuan Karl di ruang kerjamu. Sejak kapan dia ada di sana?” Maia bertanya, menghampiri Elena yang baru saja hendak memasuki ruangannya.Suaranya ringan, tapi pertanyaannya menghempas seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk tengkuk Elena.“Entahlah,” jawab Elena dengan nada yang berusaha terdengar netral, meski dadanya terasa seperti drum yang dipukul tanpa henti.“Dia memang sudah menguasai restoran ini. Akan selalu datang semau hatinya.” Ia berusaha menetralisir detak jantungnya yang terasa semakin menggila, seperti sedang berlomba dengan waktu.Maia terkekeh pelan, suaranya lembut seperti angin musim semi yang hangat. “Begitu rupanya. Ya sudah, sebaiknya temui dia. Investor terbesar harus dilayani dengan baik,” ucap Maia dengan senyum yang terbit di bibirnya, membuat kesannya seolah-olah Karl hanyalah pria dengan kuasa biasa.Namun, kata-kata ‘melayani’ itu menghantam Elena seperti petir di langit cerah. Merinding tiba-tiba menyelimuti tubuhnya.Mendengar istilah itu d
“Kau benar-benar gila, Karl!” desis Elena, suaranya seperti angin yang berhembus dari celah-celah dingin di musim dingin.Tatapannya penuh ketidakpercayaan, berusaha memahami pria di depannya yang dengan entengnya mengakui telah menanamkan benih di rahimnya.“Kau ingin menyalahkanku, hm?” Karl menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat dalam senyum yang lebih menyerupai seringai tajam.“Seharusnya, sebelum menyeretku ke dalam kamarmu, kau siapkan pengaman untukku. Kau pikir aku selalu membawa barang itu setiap hari?”Setiap kata yang keluar dari mulut Karl adalah peluru, menembus tanpa ampun. Elena merasa semakin tersudut, dadanya sesak oleh rasa bersalah dan marah yang bercampur aduk.Ia sontak menepuk keningnya, seperti mencoba menenangkan badai di dalam kepalanya. Ia menundukkan kepala, kedua matanya terpejam erat, seolah ingin menghilang dari kenyataan yang begitu kejam.Tubuhnya sedikit bergetar, dan dari bibirnya keluar umpatan pelan yang ditujukan untuk dirinya sendiri.“Aku me
“Tidak perlu, Karl,” tolak Elena, suaranya nyaris tenggelam di antara tarikan napasnya yang gelisah.Ia membuang muka, mencoba menghindari tatapan Karl—tatapan yang seolah menyihir, memerangkapnya dalam keinginan liar yang memancar dari lelaki itu. Seperti seekor predator, Karl tampak siap menerkam mangsanya tanpa ampun.“Aku bisa merawatnya andai memang harus. Semoga saja tidak tumbuh,” gumam Elena dengan nada getir, seolah kata-katanya dapat mengubah kenyataan.Namun, hatinya tahu lebih baik. Ia menggigit bibirnya, merasakan gelombang kekhawatiran yang mencengkeram pikirannya.Masa suburnya adalah fakta yang tak bisa ia abaikan—dan mustahil bila benih itu tak akan berakar. Tetapi, ia tak mau terperangkap dalam percakapan ini lebih dalam.“Tatap aku, Elena,” suara Karl dingin, mengalun seperti angin musim dingin yang menggigit.“Katakan bahwa kau benar-benar tidak membutuhkan aku di sisimu.”Elena berbalik perlahan, memandang wajah Karl yang mematung, namun penuh dengan ketegangan.M
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu
‘Breaking News!’‘Pengusaha besar, kaya raya, dan sangat terkenal rupanya menyimpan skandal yang selama ini tidak pernah terendus oleh media. Karl Alexander Smith—pria tampan dengan sejuta pesona itu rupanya memiliki skandal dengan istri orang!’Kalimat itu berulang kali terpampang di berbagai layar berita, menggaung di internet, dan menjadi tajuk utama yang menggemparkan dunia bisnis.Di dalam ruangannya yang luas dan megah, Karl duduk di kursinya dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.Tangannya yang menggenggam ponsel sedikit mengetuk permukaan meja kayu mahoni di hadapannya, menciptakan irama pelan yang berulang.Di hadapannya, Vincent berdiri tegap, menyampaikan informasi dengan nada penuh kehati-hatian."Berita itu sudah tersebar sekitar dua jam yang lalu, Tuan."Karl mengangkat wajahnya, menatap Vincent dengan sorot mata kelam yang sulit diartikan. Tatapan itu tajam, tetapi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepanikan atau keterkejutan."Media mana saja yang sudah menye
Ericka melangkah lebih dekat, matanya menyipit tajam saat menatap Alma. Ia tidak suka menunggu, apalagi jika itu menyangkut masa depannya bersama Karl."Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan setelah ini, kan? Aku dan Karl akan tetap menikah, kan?" suaranya dipenuhi tuntutan, seolah ia tidak akan menerima jawaban selain "ya."Alma tetap diam. Tatapannya menusuk ke arah Ericka, seakan menimbang sesuatu di dalam kepalanya. Ia paham ambisi Ericka terhadap Karl, tapi baginya, ada hal yang lebih penting saat ini.Melihat Alma tidak segera menjawab, Ericka menggertakkan giginya, mulai kehilangan kesabaran. "Bibi. Kenapa kau diam saja? Kau akan menikahkan aku dengan Karl, kan?" tanyanya lagi, kali ini lebih menekan.Alma akhirnya menghela napas panjang, lalu menatap Ericka dengan ekspresi datar namun penuh arti."Tentu saja," katanya akhirnya. "Tapi, untuk saat ini fokusku adalah memisahkan wanita sialan itu dari Karl. Aku tidak rela memiliki menantu