Qizha kembali ke ruangan depan. Sina masih menangis. Bayi di gendongannya hanya diam dalam keadaan melek.“Qizha!”Suara dari arah belakang mengejutkan Qizha. Dia menoleh dan mendapati ayahnya berdiri di ambang pintu.Qizha menghambur mendekati ayahnya, demikian ayahnya yang juga melangkah masuk dan meraih pindak Qizha. “Ayah akan pergi!” ucap Bily dengan tatapan berembun. Qizha mengangguk. Tak tahu harus bersikap apa. Nyatanya ayahnya itu memang harus segera ditahan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. “Ayah yang kuat,” ucap Qizha.“Masihkah kau mendukung dan memberi motivasi kepadaku?”Qizha mengangguk.“Aku bukan ayah yang baik.”“Benar. Ayah memang bukan ayah yang baik. Ayah nggak bisa kasih contoh yang baik pula. Bahkan ayah itu nggak sayang sama aku. Tapi nggak akan ada yang mengubah status kalau ayah itu adalah ayahku. Tanpa ayah, aku juga nggak ada di dunia ini.”Bily menunduk, menyembunyikan air matanya yang telah menetes. Dia usap air mata itu, lalu kembali
“Selamat sore! Kami dari pihak kepolisian ingin bertemu dengan bapak Bily Alvaro,” sebut pria brseragam yang sepertinya adalah pimpinan rombongan.“Saya sendiri.” Bily dengan tegas melangkah maju. Dia tampak tenang dan sudah siap menghadapi kenyataan.“Bapak Bily. Anda ditangkap atas laporan dugaan persekongkolan pembunuhan. Kami membawa surat penangkapan.” Polisi itu memberikan sebuah amplop.Bily mengangguk tanpa membaca surat yang diserahkan. Dia sudah tahu semuanya.dia bahkan memajukan kedua tangannya, siap untuk diborgol.Ceklek.Suara kunci borgol terdengar menyakitkan telinga. Kedua tangan Bily benar- benar telah terikat oleh borgol besi. Bily menoleh, menatap Qizha. Manik matanya tak sedikit pun menoleh pada Sina.“Jaga dirimu baik- baik! berjanjilah untuk membahagiakan dirimu ! Jangan sampai kau kembali menderita. Cukup sudah penderitaanmu. Kau harus bahagia!” pesan Bily.Akhirnya air mata Qizha menetes juga. Melihat ayahnya digiring, Qizha sedih sekali. Beb
“Sedikit pun aku nggak melihat iktikad baikmu untuk meminta maaf, atau menyesali perbuatanmu itu!” ucap Qizha menatap adik tiri yang selama ini kerap menertawakan, menghina, bahkan menghujatnya.“Kak, aku memang selama ini selalu berbuat jahat sama kamu. tapi itu juga karena dukungan mama. Kalau mama nggak terus- terusan menjahatimu, tentu aku juga akan bersikap hal yang sama. Sikap mama yang jahat ke kamu, membuatku jadi ikut-ikutan berbuat jahat juga ke kakak,” sahut Sina membela diri.“Sina, kamu nggak bisa mengambil sikap dengan bergantung pada orang lain. Akhlakmu adalah kamu sendiri yang membentuk, bukan orang lain. Apakah ketika orang lain berdosa kamu juga akan ikut-ikutan berdosa? Apakah ketika orang lain membunuh, kamu juga akan ikut- ikutan membunuh?” tanya Qizha tegas.“Aku pasrah kok kalau Kak Qizha nggak mau bantuin aku. Mau bagaimana lagi? Aku udah berbuat jahat terus selama ini ke kakak. Pasti kakak juga nggak akan bersedia menolongku karena teringat semua kej
“Mas Qasam, aku tahu hatimu lembut. Aku akan turuti kamu.” Qizha mengangguk kepada Qasam. “Aku tahu mas Qasam bernurani. Bahkan kulihat mas Qasam sangat perhatian ke mama. Sina pun juga punya bayi, sama seperti kamu sewaktu kecil dulu. Kalau kamu di posisi sang bayi, pasti memelas kan?”Qasam memalingkan pandangan. Ia tampak kesal mendengar perkataan istrinya yang memancingnya untuk menurunkan ego. Berbicara kemanusiaan, Qasam pun lupa entah kemana separuh rasa kemanusiaan yang pernah ada dalam benaknya. Semenjak ia memendam dendam pada orang yang meracuni Qansha, semenjak itu pula jiwanya seperti tak tenang dan lebih sering merasa tega.Qasam menghela napas. Tatapannya kini tertuju ke bayi yang digendong oleh Sina. Bayi itu mulai merengek, menangis.Sina menimang- nimang, mengayun- ayunkan bayinya sambil menepuk- nepuk pantat si bayi. Sepertinya bayinya kepanasan.Melihat Sina yang masih bersedia mengurus anak dengan baik, Qasam pun mulai iba. Sina memang jahat, namun d
Sampai di kontrakan, Qasam langsung turun dari mobil, membiarkan seluruh pintu mobil dalam keadaan terbuka. Lalu menyemprotkan pewangi ke mobil. Dia terpaksa masuk ke rumah kontrakan karena merasa gerah jika harus berdiri saja di luar. "Kak, nitip anakku ya! Aku mau mandi." Sina menyerahkan bayinya yang terpaksa digendong oleh Qizha. Sina masuk ke dalam untuk segera mandi. Sedangkan Qizha menimang si bayi di halaman rumah, mencari angin segar di bawah pohon."Qizha!"Ada yang memanggil. Qizha menoleh. Terkesiap menatap Hasan yang tiba- tiba sudah ada di sampingnya. Pria inilah yang pernah berusaha melecehkannya waktu itu. Qizha waspada. Tapi tak mungkin pula lelaki ini berani macam- macam di tempat umum begini. Di dalam rumah ada Qasam. Tak jauh dari tempatnya berdiri juga ada dua orang ibu- ibu tengah duduk ngerumpi di depan rumah. Jadi Qizha tak perlu merasa takut. "Aku mencarimu kemana- mana dan menemukanmu di sini," ucap Hasan. "Aku tidak perlu dicari. Kami tidak punya kepe
"Berdiri!" Perintah tegas itu dipatuhi Qizha.Lima belas menit lalu, Qizha dipanggil HRD setelah lulus interview, lalu diminta menghadap pimpinan. Meski baru beberapa hari menjabat sebagai pimpinan tertinggi, namun ketegasannya tidak diragukan. "Berputar!" titah pria dengan nama lengkap Shaka El Qasam. Suaranya menggetarkan jantung, sangat berwibawa.Perintah semacam apa itu? Namun, Qizha tetap menuruti. Tubuh langsing berbalut kemeja putih itu berputar. "Melompat!""Hah?" Qizha kaget. Atasannya ini waras atau tidak? Sejak tadi memberikan perintah konyol. "Ke kenapa harus melompat?" "Kalau kau tidak mau, silakan keluar! Aku tidak membutuhkan bawahan pembangkang." Pria itu menunjuk pintu."Oh, baik. Saya akan melompat." Demi jabatan sekretaris, Qizha telah bersusah- payah menyingkirkan ratusan saingan, tak mungkin ia menolak perintah yang bisa saja membuatnya ditendang dari jabatan.Plak plak plak...Suara high heels milik Qizha menghantam keras lantai hingga menimbulkan suara beri
Perjalanan membutuhkan waktu dua belas jam untuk Qizha sampai ke kampung halamannya.Lima belas menit sebelum sampai ke rumah, tepatnya saat ia berjalan kaki sesaat turun dari angkot, ia mendapat telepon dari kepala OB.“Qizha, besok kamu harus masuk kerja ya! Kamu sedang training tapi sudah minta ijin. Untungnya aku menutupi kepergianmu dari yang lain supaya tidak terjadi masalah.” Suara kepala OB memperingatkan.“Baik, aku akan masuk kerja besok.”“Oh ya, kamu sudah tahu belum kabar berkabung?”“Apa, Bu?” Qizha menegang.“Staf cantik bernama Qansha meninggal dunia, keracunan.”Qizha membelalak kaget. Keracunan? Apakah serbuk yang dia berikan itu adalah racun? Ya Tuhan, apakah ini artinya dia menjadi pelaku pembunuhan itu?Belum selesai satu masalah, masalah lain menerpanya. Ia sampai mangap lebar akibat kaget, untungnya lalat sialan yang lewat itu tidak tertelan.Tangannya semakin gemetaran saat mencari pemberitaan di media sosial mengenai kematian staf di perusahaan raksasa itu. B
Tak lama kemudian, kepala Agata kembali nongol dari pintu yang setengah terbuka. “Hei, cepat keluar! Itu Sofian ada di depan. Buatkan teh!”Enteng sekali Agata mengatakannya. Namun seperempat permintaan Qizha seolah terkabul saat ia melihat daun pintu yang disentak oleh Agata terpantul dari dinding, lalu menghantam keningnya sendiri.Rasain!Bukan cuma kening, bibir Agata pun kena tabok pintu cukup keras. Wanita itu kesakitan dan memukul pintu dengan tangan lalu bergegas pergi.Qizha bangkit dan berjalan menuju dapur untuk membuatkan teh. Otaknya terus berpikir, bagaimana ia akan menghadapi masalah ini? Kaki Qizha agak gemetar saat melangkah menuju meja ruang tamu membawa nampan berisi minuman hangat. Keberadaan Sofian membuatnya gentar. Dia menyuguhkan teh ke meja."Nah, Tuan Sofian boleh kembali kemari seminggu lagi dengan membawa mahar lima ratus juta untuk menikahi Qizha. Lihatlah, dia muda, cantik dan sarjana. Cocok dengan harga segitu," tutur Agata dengan senyum simpul. Bibirn