“Mas Qasam, aku tahu hatimu lembut. Aku akan turuti kamu.” Qizha mengangguk kepada Qasam. “Aku tahu mas Qasam bernurani. Bahkan kulihat mas Qasam sangat perhatian ke mama. Sina pun juga punya bayi, sama seperti kamu sewaktu kecil dulu. Kalau kamu di posisi sang bayi, pasti memelas kan?”Qasam memalingkan pandangan. Ia tampak kesal mendengar perkataan istrinya yang memancingnya untuk menurunkan ego. Berbicara kemanusiaan, Qasam pun lupa entah kemana separuh rasa kemanusiaan yang pernah ada dalam benaknya. Semenjak ia memendam dendam pada orang yang meracuni Qansha, semenjak itu pula jiwanya seperti tak tenang dan lebih sering merasa tega.Qasam menghela napas. Tatapannya kini tertuju ke bayi yang digendong oleh Sina. Bayi itu mulai merengek, menangis.Sina menimang- nimang, mengayun- ayunkan bayinya sambil menepuk- nepuk pantat si bayi. Sepertinya bayinya kepanasan.Melihat Sina yang masih bersedia mengurus anak dengan baik, Qasam pun mulai iba. Sina memang jahat, namun d
Sampai di kontrakan, Qasam langsung turun dari mobil, membiarkan seluruh pintu mobil dalam keadaan terbuka. Lalu menyemprotkan pewangi ke mobil. Dia terpaksa masuk ke rumah kontrakan karena merasa gerah jika harus berdiri saja di luar. "Kak, nitip anakku ya! Aku mau mandi." Sina menyerahkan bayinya yang terpaksa digendong oleh Qizha. Sina masuk ke dalam untuk segera mandi. Sedangkan Qizha menimang si bayi di halaman rumah, mencari angin segar di bawah pohon."Qizha!"Ada yang memanggil. Qizha menoleh. Terkesiap menatap Hasan yang tiba- tiba sudah ada di sampingnya. Pria inilah yang pernah berusaha melecehkannya waktu itu. Qizha waspada. Tapi tak mungkin pula lelaki ini berani macam- macam di tempat umum begini. Di dalam rumah ada Qasam. Tak jauh dari tempatnya berdiri juga ada dua orang ibu- ibu tengah duduk ngerumpi di depan rumah. Jadi Qizha tak perlu merasa takut. "Aku mencarimu kemana- mana dan menemukanmu di sini," ucap Hasan. "Aku tidak perlu dicari. Kami tidak punya kepe
“Tidak usah, Ma. Jangan bawa aku ke kantor lagi. Aku ingin ingin istirahat saja dulu untuk beberapa waktu. Aku nggak ingin masuk kantor dulu,” ucap Qizha. ““Kenapa? Kamu marah pada mama?” Habiba mnegangkat alis.Qizha menggeleng. “Aku ingin menenangkan diri. Aku masih trauma.” “Tapi kamu tetap ingin namamu dibersihkan bukan? Kamu dihujat orang juga karena mama. Mama harus bertanggung jawab atas semua itu. Kamu pasti masih kesal sama kan?”“Kalau aku di posisi mama, mungkin aku akan melakukan hal yang sama. Mama tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Semua bukti sudah menjelaskan kalau akulah pelakunya. Ibu mana yang tidak marah kalau tahu hal itu? Apa yang mama lakukan kepadaku itu belum seberapa andai benar akulah pelakunya,” ucap Qizha lagi.“Kalau begitu, besok ikut mama ke kantor ya. Mama ingin beri tahu ke semua orang kalau kamu bukan pembunuh. Kejadian kemarin hanyalah salah paham.”“Mama tidak perlu ajak Qizha ke kantor kalau dia tidak mau ikut,” sahut Qasam yan
Pagi itu, Qizha sedang sarapan bersama dengan Qasam di meja makan. Hanya berdua saja. "Kau di rumah saja kan?" tanya Qasam. "Iya. Kamu sudah ijinkan aku untuk tidak masuk kerja beberapa hari ini." Qizha tersenyum."Baiklah. Tidak masalah."Brrrt....Ponsel Qasam di dalam jasnya berdering seiring getarannya. Ada yang menelepon. Qasam mengambil hp, menatap layar. Dia kemudian bangkit berdiri, berjalan menjauh sambil menjawab telepon. Qizha menatap isi piring Qasam. Nugget masih utuh. Baru disantap sepotong saja. Ia melirik Qasam yang berlalu dan hilang dari pandangan. Apakah masoh ada rahasia antara suami istri? Mereka sudah saling menyayangi satu sama lain. Lalu masihkah Qasam menjauh darinya saat menjawab telepon begini? Apa yang dibicarakan oleh Qasam? Apakah ada pembicaraan yang tidak boleh didengar oleh istri? Memangnya hal apa yang membuat suami harus menjaga privasi dari istri? Qizha bertanya- tanya. Pikirannya dipenuhi oleh beragam dugaan setelah Hasan kemarin sempat men
"Kalau jaman saya dulu, suami istri itu terbuka. Tidak ada yang ditutup- tutupi. Lah memangnya apa yang mau ditutupi, semuanya dikerjakan bersama-sama. Semuanya barengan. Rumah cuma kecil. Kemana- mana seringnya juga bersama. Beda suami istri jaman old dan jaman modern sekarang ini." Qizha akhirnya tersemyum. "Memang bener, Pak. Suami istri jaman sekarang tuh kebanyakan bersosialisasi dengan banyak hal. Coba deh kalau sehari-, hatinya beraktifitas berduaan terus, pasti nggak akan ada masalah seperti yang bapak bilang.""He heee.... Eh, mobilnya berhenti, Mbak.""Kita berhenti juga." Supir mematuhi. Mobil mereka berhenti di jarak sekitar sepuluh meter.Tampak Qasam turun dari mobil. Pria itu membeli kue, lalu kembali masuk ke mobil. Tak lama, mobil Qasam kembali melaju. Taksi pun mengikuti.Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas menit, akhirnya Qasam membelokkan mobil menuju ke apartemen. Qizha mengawasi dari jarak agak jauh. Qasam menuruni mobil, dia menghampiri satpam, m
Qizha penasaran, apakah benar Qansha masih hidup? Tapi untuk apa Qasam menyembunyikan hal ini? Untuk apa dia membohongi semua orang? Bahwa sebenarnya Qansha tidak meninggal pasca menenggak racun. Atau apa yang sebenarnya telah terjadi? Sebenarnya Qizha juga tak mau diam- diam menyelidiki hal ini, rasanya menajdi seperti istri yang tak memiliki kepercayaan pada suami. Namun rasa penasaran telah menggerakkan hatinya menuju ke sana. Semua ini gara- gara Hasan. Dia telah mengubah isi pikiran Qizha. Tapi mau bagaimana lagi?"Di sini, Mbak?" tanya supir menghentikan mobil di alamat yang dituju. "Ya, Pak." Qizha mengedarkan pandangan ke sekitar. Melihat area mewah yang tercipta di sekitar perumahan komplek itu. Tatanan perumahannya sangat eksotik. Bagus sekali. Mayoritas adalah perumahan elit. Ada anak- anak berlarian di sekitar halaman perumahan. Ada pula taman bermain, serta lapangan badminton yang tersedia di sana. Beberapa orang wanita berpenampilan elegan menunggu anak- anaknya yang
“Jika hanya melihat mereka tinggal serumah berdua, bukan lantas mereka adalah suami istri,” imbuh Qizha mendesak penjelasan para ibu- ibu."Bukan, Mbak. Perempuan itu istrinya kk. Soalnya si lelaki pernah bilang begitu. Waktu ditanya tinggal sama siapa, dia jawab sama istrinya. Mana mungkin bohong sih. Masak adik sendiri diakui sebagai istri?" sahut ibu berhijab ungu. "Arau itu simpanannya? Barang kali dia punya istri sah, makanya perempuan itu disembunyikan. Nggak boleh keluar rumah."Perasaan Qizha makin tak karuan. Benarkah perempuan itu adalah sinpanannya Qasam? Atau maksudnya adalah istri lainnya Qasam? Mungkinkah Hasan mengatakan kalau wanita itu adalah Qansha supaya Qizha bersedia menyelidikinya? Bahwa sebenarnya Qasam tidak menyembunyikan Qizha, tapi menyembunyikan perempuan lain selain Qizha. Sebab jika Hasan mengatakan kalau Qasam memiliki perempuan simpanan, pasti Qizha tak akan percaya dan lebih memilih tak mau mendengarkan perkataan Hasan. Rupanya Hasan hanya memberi clu
Tunggu dulu, mengenai Hasan, Qizha pun tak bisa sepenuhnya mempercayai perkataannya, sebab Hasan memiliki dendam tersendiri pada Qasam. Bisa saja Hasan hanya bermaksud ingin menjatuhkan Qasam dengan cara ini. Tapi, tetap saja Qizha harus menyelidiki, sebab dia sudah menemukan clue dari rahasia yang disembunyikan Qasam. Para ibu ibu komplek mengatakan bahwa Qasam memang selalu keluar masuk di perumahan yang alamatnya disebutkan oleh Hasan. Ada sosok perempuan di rumah itu. Siapa dia? Qasam mengakui perempuan itu adalah istrinya. Ah, sakit sekali setiap mengingat hal itu."Hei, aku menanyaimu, kenapa diam saja?" Qasam menjentikkan jarinya ke depan wajah Qizha.Qizha tergagap. Menanyai? Jadi sejak tadi Qasam menanyai Qizha? Qizha melamun saja sejak tadi sampai tak tahu apa yang dikatakan suaminya. "Kamu ngomong apa, Mas?" "Apa kau tadi di rumah saja?"Waduh, Qizha harus jawab apa? Kalau bohong, takut ketahuan. Tapi dia ijin tidak kerja karena ingin istirahat. Lalu kalau ia malah ke
Qizha bermain dengan Zein di ruang main yang sengaja di desain khusus untuk anak bermain. Di sana lengkap ada berbagai macam jenis mainan, muali dari mobil-mobilan, bola, tempat mandi bola, perosotan, bahkan permainan untuk lompat-lompatan pun ada.Qizha mengawasi dari jarak beberapa meter, duduk sambil minum jus. Di sisinya ada Arini yang selalu stand by, memberikan apa saja keperluan Qizha.Si kecil mandi bila bersana dengan baby sitter yang tak pernah lepas dari posisi Zein kemana pun pergi. Qizha menatap layar ponselnya yang menunjuk tanggal dua belas, artinya tiga hari lagi Qasam pulang. Lama sekali rasanya menghitung hari. Serindu itu ternyata Qizha pada Qasam? Qizha malu jika mengingat dirinya yang nyaris seperti orang kasmaran dan jatuh cinta. Benda pipih itu kemudian berdering, nama Qasam tertera di layar. Qasam menelepon? Qizha tersenyum senang. Ia langsung menjawab telepon dan mengucap salam.“Kenapa sudah meneleponku? Kangen?” tanya Qizha.“Ha haa… tidak. Aku sama seka
Sudah tiga minggu Qasam pergi ke Jepang sejak terakhir kali Qizha mengantarnya ke bandara, pria itu belum kembali. Kemarin mengaku hanya akan perhi selama dua minggu, tapi ternyata sudah tiga minggu berlalu, Qasam belum kembali.Qizha mengerjakan aktivitas seperti biasanya, menghabiskan waktu dengan bermain bersama Zein, putra semata wayangnya. Kini, Zein sudah tumbuh makin besar. Usianya satu tahun. Di usia sembilan bulan, Zein sudah bisa berjalan. Sekarang, bocah itu sudah bisa berlari meski belum kencang.Qizha merindukan Qasam. Pria itu memang ngangenin. Sebentar tak ketemu, rasa rindu sudah sampai ke ubun- ubun. Sikap Qasam yang setahun belakangan terlihat memuliakan wanita, membuat Qizha merasa kalau Qasam itu seperti candu. Bayangkan saja, setiap saat, Qizha selalu saja mendapat kelembutan dan perhatian khusus dari suaminya. Lalu beberapa minggu, ia harus berpisah. Tentu saja ia rindu. Qizha baru saja meletakkan tubuh Zein ke kasur tidur khusus balita, berdekatan dengan kas
Baby sitter terlihat terampil ketika memandikan Zein, bayi yang baru berusia dua minggu. Qizha mengawasi di samping baby sitter. Selama ini, Qizha sendiri yang memandikan bayinya. Baru kali ini ia mengijinkan baby sitter memandikan bayinya, itu pun diawasi olehnya.“Kamu keliahtan terbiasa memandikan bayi,” komentar Qizha.“Iya, Non. Soalnya saya khusus mengurus bayi merah kan dulu sewaktu dip anti asuhan. Dan setelah masuk yayasan, saya juga jadi baby sitter,” sahut wanita yang usianya sekitar empat puluh limaan tahun itu.“Pantesan cekatan. Sini, biar aku yang pakaikan bajunya. Baju dan peralatan untuk si kecil sudah disiapkan?” Qizha mengambil alih bayinya setelah diangkat dari bak mandi.“Sudah, Non.” Qizha melangkah keluar dan segera memasang baju bayi yang sudah disediakan. Termasuk minyak kayu putih dan bedak juga sudah disediakan. Di kamar bayi itu, aroma minyam telon menguar, harum. Arini mendampingi Qizha. Dia bertugas untuk melayani Qizha. Sedangkan baby sit
Qasam membawa air hangat kuku dari pemanas air di sudut kamar sesuai permintaan Qizha dan menyerahkannya kepada istrinya itu. “Ayo minum!”Qasam membantu mendekatkan gelas ke bibir Qizha.“Aku bisa sendiri, Mas,” ucap Qizha dan mengambil alih gelas tersebut lalu meminumnya “Terima kasih, Mas.”Pandangan Qasam kemudian tertuju ke bayi kecil yang ada di samping Qizha. Pipinya tebem, kulitnya putih kemerahan. Hidungnya mancung. Menggemaskan dan lucu sekali. Ini adalah hari pertama Qizha dibawa pulang ke rumah setelah menjalani perawatan selama tiga hari di rumah sakit. Padahal sebenarnya di hari kedua Qizha sudah diijinkan pulang karena kondisinya sehat dan baik-baik saja, namun seperti biasa, Qasam melarang Qizha pulang dan dia diminta untuk dirawat di rumah sakit dengan pantauan dokter. Rumah sakit milik ayahnya, jadi mudah saja baginya mengatur kondisi di rumah sakit.Bahkan, kini Qasam meminta dokter keluarga untuk mengecek kondisi ibu dan bayi ke rumah di tiga hari perta
“Pinggangku sakit banget, Mas!” ucap Qizha sambil memegangi pinggang. Mulutnya meringis. Sebenarnya sudah sejak di perjalanan tadi Qizha merasakan ngilu, namun ia menahannya karena rasa ngilu itu datang dan hilang begitu saja. dia mengira hal itu biasa terjadi seiring kehamilannya yang semakin membesar.Namun, kini rasa ngilu itu makin parah, hampir setiap lima belas menit sekali muncul dan rasanya melilit sampai ke perut bagian bawah. Habiba memegang perut Qizha, rasanya keras menggumpal ke satu titik. Kemudian gumpalan keras itu bergerak menuju ke titik lain. Begitu seterusnya.“Ini Qizha sudah mau melahirkan. Ayo cepat bawa ke rumah sakit,” seru Habiba, membuat Qasam langsung gerak cepat menggendong tubuh Qizha dan membawanya ke mobil.Supir menyetir dnegan kelajuan tinggi mendengar suara ritihan Qizha di belakang. Qasam menggenggam tangan Qizha sambil terus mengatakan kata-kata motifasi.Qizha berkeringat, mukanya makin memucat, lemas sekali. Sesekali meringis menahan s
Semenjak Qizha tahu kalau Sina rujuk dengan Arsen, ia menjadi jauh lebih lega. Kini adiknya itu sudah ada yang menanggung jawabi. Hidupnya tidak lagi mengenaskan, Qizha pun tak perlu mencemaskan keadaannya lagi. Sina kini tinggal bersama sang suami. Setelah balitanya keluar dari rumah sakit, Sina mengunjungi rumah Qasam, menemui Qizha dan Qasam untuk mengucapkan rasa terima kasih. Arsen pun menunjukkan sikap layaknya sebagai saudara ipar. Qizha memberikan beberapa helai pakaian dan jilbab baru kepada Sina seperti yang dia janjikan. Qasam pun mulai membuka hati pada Sina. Dia tidak ketus lagi melihat sikap Sina yang jelas sudah jauh berubah. Penampilan Sina pun sudah tidak lusuh lagi seperti saat dia menjanda. Sepeninggalan Sina dan Arsen, tinggal lah Qizha dan Qasam yang duduk di ruang tamu berdua. “Mas, kamu udah nggak benci lagi sama Sina, kan?” tanya Qizha sambil.memegang tangan suaminya.“Tidak.” Tatapan Qasam tertuju pada mata bulat istrinya yang menggemaskan. “Dia seperti
Qizha menatap ekspresi wajah adik tirinya yang tak pernah dia lihat selama ini, wajah itu tampak jajh lebih menyedihkan, penuh penyesalan, dan tatapan iba. Ini adalah pemandangan pertama kalinya. Wajah Sina benar-benar tampak sangat mengenaskan. Bahkan tampilannya pun berbada, dia memakai kerudung untuk menutup auratnya. Apakah ini adalah awal bagi Sina untuk taubat? Dari mata adiknya, Qizha tidak melihat dendam dan tatapan kebencian seperti dulu. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri.Qizha meraih pundak Sina. “Bawa anakmu ke rumah sakit sekarang. Aku akan mengantarmu.”Sina mengangguk dengan senyum dan air matanya langsung berurai. “Iya, Kak. Makasih.”***Di rumah sakit itu, Qizha dan Sina duduk di depan balita yang terbujur dengan selang infus menusuk di kaki. Si kecil tidur pulas. Qizha didampingi oleh Arini, asisten rumah tangga yang satu itu tak diijinkan jauh dari Qizha. Selalu diminta Qasam untuk mendampingi Qizha. Wajah Sina yang tadinya murung, kini
“Mas, becandanya nggak lucu. Masak ngintip sih?” tanya Qizha yang tak terima suaminya mengucapkan kata-kata konyol tadi. “Ya, kalau aku lagi nganu sama kamu kan itu kepala bawah lagi ngintip ke dalam. He hee…” Qasam makin konyol. Ia kembali mengelus permukaan perut Qizha. Ia merasakan sensasi saat janin di dalam bergerak-gerak. “Dia bergerak. Setiap kali aku memancing dengan elusan, pasti dia bergerak-gerak.” Qasam tersenyum.“Iya, kalau ada pancingan dari luar, bayi kita pasti merespon. Dia tahu ada yang perhatian kepadanya.”“Tendangannya makin hari makin kuat.”“Namanya juga sudah sembilan bulan. Tinggal menunggu hari, ya tentu makin kuat dong.”“Hah? Sudah sembilan bulan?” Qasam kaget. “Cepat sekali rasanya? Aku bakalam punya anak nih sebentar lagi?”Qizha tersenyum. “Kamu kok jam segini udah pulang, Mas? Biasanya pulangnya agak malam atau lebih sore. Ini baru jam tiga sore loh.”“Aku kangen sama kamu, makanya cepet- cepet pulang.”“Sekarang sudah mulai bisa gombalin ya? Receh l
Tujuh bulan sudah berlalu. Kini Qizha menghabiskan waktu di rumah saja, menikmati kehamilannya yang sudah membuncit. Dia menghabsikan waktu dengan berjalan santai di sekitar rumah. Pemandangan di sekitar rumah besar yang dikelilingi pagar beton setinggi dua meter itu sangat asri. Ada banyak tanaman hijau yang menyejukkan mata, pancuran air pun ada. Qizha ditemani asisten rumah tangga yang setia mengikutinya. Menyediakan apa saja keperluannya. Ah, Qizha benar-benar merasa speerti ratu. Iya, diratukan oleh suaminya.Saat bosan, Qizha pergi ke salon. Menikmati creambath dan berbagai jenis perawatan lainnya.Qizha juga sesekali jalan-jalan ke mall untuk melihat-lihat suasana baru. Dikawal oleh asisten rumah tangga yang ditugaskan menemani. Namanya Arini, asisten rumah tangga yang sopan dan ramah. Dia melayani Qizha mulai dari A sampai Z. dia hafal kapan Qizha harus makan, minum susu, makan buah, dan minum jus. Dia juga mengambilkan handuk saat Qizha mau mandi, menyiapkan p