13. ENAK PUNYA GUE!

"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya."

Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar.

Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini.

"Terima kasih banyak."

Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara.

"Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini.

Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak.

"Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis.

Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitahukan perihal niatannya menraktir pria itu makan siang hari ini.

Di mejanya, Ginan lantas beranjak membawa serta ponselnya dan melangkah keluar dari ruangan.

"Loh? Mau kemana, Nan?" Adam yang hendak mengajak untuk makan siang bersama setelah ini itu terkejut saat Ginan sudah terlebih dulu keluar dari ruangannya.

"Makan siang," jawab Ginan sambil terus melangkah pergi.

"Lah? Makan siang sama siapa? Nggak ngajak gue lo?" Adam bertanya dengan bingung pada atasannya yang sudah semakin menjauh itu.

"Makan aja sendiri!" jawab Ginan membuat Adam berdecih. Tidak setia kawan sekali.

***

"Udah lama?"

Ganaya mendongak, dan menemukan Ginan yang berjalan menghampiri dengan gayanya.

"Nggak juga. Lo lagi nggak sibuk? Kok nyamperin gue ke sini? Bukannya belum masuk jam makan siang, ya?" tanya Ganaya dengan heran. Pasalnya sekarang baru pukul sebelas lewat sepuluh menit. Belum masuk ke jam makan siang.

"Nggak. Buruan. Lo mau nraktir gue makan apa?"

Ganaya menyunggingkan senyumnya. Dia meraih tangan Ginan dan menariknya pergi dari sana, tanpa menyadari kalau aksinya barusan menjadi bahan pembicaraan oleh dua orang karyawan yang duduk di balik meja resepsionis.

"Serius, Nay, lo ngajak gue makan di sini? Gue kira lo bakal ngajak gue ke restoran mana gitu," ucap Ginan membuag Ganaya mendesis.

"Syukurin aja sih. Masih untung gue traktir loh ini, Nan. Lagian, gue belum fiks juga keterima kerja. Bisa tekor duluan gue kalo langsung nraktir lo mahal-mahal." Ganaya melangkah masuk ke tenda gerobak bakso yang mangkal di seberang gedung berlantai 16 itu.

"Mang, dua porsi ya."

"Oiya. Siap, Neng."

Keduanya mengambil duduk di bagian dalam tenda, mengingat warung bakso saat itu masihlah belum ramai mengingat belum waktunya para pekerja mencari makan siang mereka.

"Lo udah berapa lama sih, Nan, kerja di sana?" tanya Ganaya sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuat.

"Sekitar dua tahunan."

Ganaya membulatkan mulutnya. "Sebelum di sini kerja dimana?"

"Di Semarang," jawab Ginan singkat, membuat Ganaya menatapnya dengan datar. Padahal dia merujuk ke nama kantornya loh. Tapi, ya sudahlah.

"Eh, ngomong-ngomong lo di bagian apa?" tanya Ganaya lagi, yang kali ini tak dijawab oleh Ginan, membuat Ganaya menepuk lengannya.

"Heh! Ditanyain juga. Budek lo, ya?" decaknya sebal.

"Permisi, Mas, Mbak. Ini baksonya." Ganaya tak membahas soal itu lebih lanjut, karena perutnya langsung keroncongan begitu aroma bakso yang menguar tercium ke hidungnya.

Dia mulai menyeruput kuahnya yang belum dia campuri dengan apa-apa.

Slurrrp...

"Hmm. Ihh, enak banget." Ganaya dengan semangat menyeruput kuahnya lagi sebelum kemudian menuangkan beberapa sendok sambal ke dalam kuah baksonya.

"Hmm. Seger.. itu, serius lo dikasih kecap sama saos?"

Ginan menaikkan sebelah alisnya mendengar pertanyaan Ganaya. "Ada yang salah?"

Ganaya berdecak tak percaya. "Enakan cuma pake sambel, Ginan."

Ginan mengerutkan keningnya. "Masa sih? Gue lebih suka komplitan gini. Lebih legit," jawabnya lalu mulai menyeruput kuahnya tak mempedulikan Ganaya yang melongo.

Emangnya iya gitu? Menurutnya justru lebih enak kuah ori baksonya dicampur dengan sambal saja. Lebih maknyuuss...

"Mana sini gue coba."

Ginan menjauhkan badannya, mempersilakan Ganaya yang menyendok kuah miliknya untuk dicicipi.

"Gimana?" tanya Ginan dengan wajah datarnya.

"Hmmm." Ganaya masih mencecap. "Not bad sih," ujarnya tak acuh. Padahal biasanya dia memakan bakso dengan campuran saus kecap sambal rasanya kurang suka. Tapi kenapa kali ini terasa tidak terlalu buruk, ya? Atau mungkin karena memang bakso di sini sangat enak? Mungkin.

"Tapi masih enak punya gue."

"Hmm." Ginan kembali menikmati makanannya, membuat Ganaya berdecak karena merasa Ginan tidak niat menanggapinya.

"Ih, Ginan. Gue serius tahu. Lo cobain nih punya gue. Gue jamin lo pasti bakal langsung suka sama racikan kesukaan gue." Ganaya menggeser mangkuknya.

Tapi, bukannya melakukan seperti yang Ganaya minta, Ginan malah membuka mulutnya, membuat Ganaya menatapnya dengan kening mengerut. "Apa?"

"Katanya suruh nyicip? Mana sini." Ginan pun kembali membuka mulutnya membuka Ganaya mengerjapkan matanya.

Dia pun kemudian menyendokkan kuah miliknya dan menyuapkannya ke dalam mulut Ginan.

Bertepatan dengan itu, beberapa orang yang merupakan karyawan yang bekerja di tempat yang sama dengan Ginan yang baru saja masuk ke dalam tenda itu terkejut melihat pemandangan itu.

"Gimana? Enak, kan?"

Ginan menyecap lidahnya sebelum kemudian dia menganggukkan kepalanya. "Enak."

Ganaya terlihat puas mendengar itu.

Berbeda dengan orang-orang yang melihat itu terlihat syok, sekaligus terkejut melihat sosok atasan mereka yang tengah ... berpacaran? Bukannya Ginan jomblo?

***