"H-hah? Lo ngomong apa sih?"
Ginan mengendikkan bahunya. Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?" "Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya. "Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya. Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami. Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri. Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai ibunya padahal dia masih bisa bekerja. "Terserah. Padahal gue juga nggak masalah kalo harus ngasih buat ibu lo," katanya membuat Ganaya menggelengkan kepalanya. "Tapi serius deh, Nan. Ada loker nggak?" Tatapan Ganaya terlihat benar-benar serius. Ginan menghela nafasnya. Dia melanjutkan makannya. "Nggak ada," jawabnya dengan acuh tak acuh. Ganaya berdecak pelan. Harus gimana lagi supaya dia bisa mendapat pekerjaan dengan cepat. Dia mengambil sendoknya dengan tidak bersemangat. Ginan menegak air putihnya. "Nanti gue balik malem. Kemungkinan gue baru bisa ngajak lo ketemu orangtua gue akhir pekan nanti," katanya lalu beralih meraih cangkir berisi kopinya, menegaknya perlahan. Ganaya mengangguk dengan lesu. Ginan meliriknya, tapi tak memberikan komentar apa-apa. Setelah kopinya tandas, dia pun beranjak dan bersiap berangkat menuju tempat kerjanya. "Gue berangkat dulu." Ganaya mengangguk. Dia mengiringi Ginan hingga ke depan pintu. Ginan mengulurkan tangan kanannya, membuat Ganaya menaikkan sebelah alisnya. "Apa?" "Nggak mau salim?" "Hah? Apaan sih? Nggak jelas banget." Ganaya menepis pelan tangan itu. Aneh-aneh saja Ginan ini. Buat apa juga dia harus salim dengan pria itu? Seperti suami istri saj-- "Latian jadi istri yang baik." Kedua mata Ganaya melotot. "Istri baik apa sih?!" Ginan menaikkan sebelah alisnya. "Lo nggak mau jadi istri yang baik emang?" "Ya mau... tapi emang harus banget ya pake salim segala?" Ginan mengendikkan bahunya. "Gue cuma nawarin. Kalo nggak mau ya udah." Setelah mengatakan itu dia pun berlalu meninggalkan Ganaya yang mendesis di tempatnya. Dia pun kembali masuk. Kembali menyibukkan diri mencari lowongan pekerjaan. *** Ginan menutup berkas yang sudah dia tanda tangani sebelum memberikannya kembali pada bawahannya. "Ada loker buat bagian keuangan?" tanyanya membuat kening Adam mengeryit. "Loker? Kenapa tiba-tiba nanyain soal itu?" Dia menyimpan berkas yang dibawanya di antara lengan dan badannya. "Ada yang butuh kerjaan. Kalo ada kasih tahu gue," katanya membuat keryitan Adam semakin dalam saja. Tumben sekali Ginan repot-repot menanyakan itu. Setahunya Ginan bukanlah orang yang suka memikirkan orang lain yang sekiranya tidak ada untung untuknya. "Siapa?" Ginan menatapnya datar. "Nggak perlu tahu. Kabari aja kalo ada," jawabnya dengan jutek sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. Adam berdecih melihat itu. Dia pun tak bertanya lagi dan memilih keluar dari ruangan Ginan untuk melanjutkan pekerjaannya. Ginan menoleh saat handphone-nya bergetar. Dia mengangkatnya tanpa melihat siapa si penelpon. "Halo." "Ginan!" Ginan menjauhkan handphone-nya saat suara yang sangat melengking terdengar. "Apaan sih?" sahutnya dengan malas. Menyesal juga dia main mengangkat panggilan tanpa melihat siapa yang menelponnya. "Lo ... ngenalin cewek ke mama sama papa, tapi nggak ngasih tahu gue?! Gitu lo ya!" Ginan mendatarkan ekspresinya. "Belum gue bawa. Lagian kenapa sih, ribet banget? Lo juga nggak penting-penting banget buat gue kasih tahu," "Apa lo bilang?! Oh, gitu lo ya. Awas aja nggak gue restuin baru tahu rasa lo!" ancam Gina-- sang kakak yang berada jauh di luar pulau sana ikut bersama suaminya. Ginan hanya membalasnya dengan dengusan. "Lo nggak restu, juga gue bakal tetep kawin. Udah ah. Ganggu aja orang lagi kerja." Dan Ginan pun menutup panggilannya begitu saja. Baru dia menyimpan ponselnya, bunyi telepon di atas mejanya itu berbunyi, membuat Ginan lantas mengangkatnya. "Ya." "Ada satu pegawai di divisi keuangan yang baru aja resign. Tadinya sih niatnya nggak mau cari dulu soalnya masih bisa ke-handle. Tapi, karena lo tadi nanyain, jadi gue kasih tahu ke elo." "Oke. Di keep aja. Gue punya kandidat yang cocok." Ginan pun meletakkan kembali gagang teleponnya, lalu beralih meraih kembali ponselnya, mengetikkan sesuatu untuk seseorang yang ada di rumahnya sekarang. 'Ada loker di temoat gue. Jangan lupa siapin hadiah terbaik buat gue.' ***Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi
Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks
Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende
Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet
Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s
Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha