7. SEMUA LAKI-LAKI SAMA SAJA

Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.

Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.

Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.

Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?"

"Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya.

"Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap.

"Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha menahan sabar.

"Lo daritadi nggak ada nanya alamat rumah gue. Udah tahu emang?" tanya Ganaya sok cuek. Dia hanya memberitahu nama kota kelahirannya saja, tidak mungkin laki-laki di sampingnya ini akan tahu detailnya, kan?

"Perumahan candra karya nomor lima puluh enam," ujarnya  yang langsung membuat Ganaya membelalakkan matanya. "Kok lo tahu?!" tanyanya dengan terkejut. Dia tidak pernah mengatakan alamat lengkap rumahnya loh. Jadi, kenapa Ginan bisa tahu?

"Apa yang nggak gue tahu? Ukuran dada, pinggang, dan pinggul lo juga gue tahu," jawabnya dengan santai, tak memperhatikan bagaimana raut Ganaya sekarang ini.

"Ginan! Mesum lo, ya!" Ganaya merapatkan cardigan yang menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Bisa-bisanya Ginan berbicara se-frontal itu.

Ginan menatapnya dari atas ke bawah lalu menyunggingkan senyum miringnya. "Nggak papa. Nggak usah malu. Udah pas," katanya lagi, membuat Ganaya memekik histeris. Tangannya kini tidak tinggal diam. Dipukulnya Ginan dengan brutal, membuat lelaki itu jadi kewalahan sendiri.

"Eh, eh... gue lagi nyetir." Ginan berusaha menghindari pukulan Ganaya.

"Ginan mesum! Kurang ajar lo, ya! Dasar mata keranjang!" Ganaya tak menghentikan pukulannya, membuat Ginan yang mulai kewalahan itu pun lantas menghentikan mobilnya. Beruntung mereka belum sampai memasuki area jalan tol.

"Stop, Ganaya." Ginan menangkap tangan yang begitu lincah memukulinya itu.

"Lo mesum! Sejak kapan lo merhatiin badan gue begitu, hah?!" amuknya dengan wajah memerahnya. Dia benar-benar marah.

Ginan mengunci kedua tangan Ganaya, lalu membalas tatapan tajam gadis itu dengan tenang. "Gue bukan cowok mesum. Jangan ngomong sembarangan," katanya.

"Terus kalo bukan mesum apa nama buat orang yang suka liat-liat badan orang lain seenaknya, hah?!" sungut Ganaya tidak terima.

Ginan menghela nafasnya. 

"Gue punya mata, Naya."

"Ya tapi nggak akan bisa tahu detail kalo lo-nya nggak jelalatan, Ginan! Dasar mesum!"

Ginan memejamkan matanya. "Iya, iya. Gue emang mesum. Sorry. Oke?" katanya tak mau memperpanjang masalah. Padahal dia hanya asal bicara saja tadi. Siapa yang menyangka kalau respon Ganaya akan jadi se-brutal ini.

Ganaya memalingkan wajahnya dengan sebal.

Ginan melepaskan satu tangannya yang memegang tangan Ganaya-- menyatukannya pada satu tangan-- lalu bergerak meraih dagu gadis itu dan menolehkan ke arahnya.

Tatapan Ganaya masihlah terlihat sebal.

"I am sorry. Oke?" ujarnya dengan halus.

Ganaya mendengus. "Nggak lucu tahu nggak?"

Ginan menganggukkan kepalanya. "Gue tahu. Makanya, gue minta maaf. Okeiii?"

Ganaya masih menatapnya sengit.

Ginan nampak berpikir. "Gimana ... kalo lo gantian?" tawarnya membuat Ganaya menatapnya dengan kening mengerut.

"Maksudnya?"

"Lo mau tahu ukuran gue juga mungkin," jawab Ginan dengan bahu mengendik.

Ganaya tak mampu untuk menahan mulutnya agar tetap tertutup mendengar penawaran gila itu.

"Lo nyuruh gue megang anu lo?! Ogah! Iyuuuuh!"

Kedua mata Ginan turut melotot. "Bukan! Ukuran pinggang, Ganaya. Ukuran pinggang. Siapa yang nyuruh lo megang punya guee?"

"Ya habis omongan lo ambigu banget! Dasar! Udah ah. Lepasin." Ganaya menarik tangannya lalu membenarkan posisinya, memalingkan wajah.

Ginan menghembuskan nafasnya. "Ya intinya gue sama sekali nggak bermaksud buat mesum. Tadi gue cuma asal ngomong aja." Ginan meliriknya. Ganaya memilih mengunci mulut.

Tak mau membuat suasana hati Ganaya semakin buruk, Ginan pun memilih diam dan mulai kembali menjalankan mobilnya.

Ganaya melirik Ginan yang tak mengatakan apa-apa lagi itu.

Dia merasa tidak percaya. Bisa-bisanya laki-laki selempeng Ginan punya pemikiran mesum seperti itu?

Memang ya. Semua laki-laki sama saja.

***