Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan.
"Cari kerja gini amat sih." Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini. "Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?" Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa. Aneh sekali. Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat. Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu. Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya. "Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedetik kemudian dia menggeleng. "Nanti kalo orangtua dia ngira kalo gue kerja hasil orang dalam gimana?" "Eh tapi-- mending nggak sih, daripada gue bilang gue nganggur karena habis dipecat. Ya, kan? Malu juga ya kalo gue ketemu mereka masih luntang-luntung begini," helanya kemudian. Tiba-tiba merasa takut dan insecure saja karena saat ini dia adalah seorang pengangguran. Dia menatap ke arah jam yang menempel di dinding kamar Ginan itu. Pukul setengah dua belas malam. Kira-kira Ginan sudah pulang belum, ya? Ganaya tidak mendengar suara sedikit pun dari arah luar kamar sih sejak tadi. Dia beranjak, membuka pintu dan menyembulkan kepalanya keluar. Suasana masih hening. Sama seperti saat dia masuk seorang diri tadi. Ruang tengah juga masih sama rapihnya, pertanda kalau Ginan memang belum kembali. Dia kembali masuk ke dalam kamar, meraih hapenya dan nampak menimbang sejenak sebelum akhirnya jemarinya bergerak di atas layar menuliskan sebuah pesan kepada Ginan. Sementara itu di tempat lain, Ginan yang tengah mengobrol bersama dengan papanya di terang samping rumah itu membuka ponselnya saat notifikasi pesan masuk berbunyi. Bibirnya menyunggingkan senyum miring yang tipis ketika membaca pesan singkat yang dikirim oleh Ganaya. Dia mengantongi ponselnya seraya beranjak. Tanpa mengetikkan balasan terlebih dahulu. "Aku pulang." Gunawan yang sedang menyesap susunya itu mendongak. "Tidak tidur di sini?" Ginan menyunggingkan senyum tipisnya. "Sudah ada yang menungguku di rumah," jawabnya dengan ambigu membuat Gunawan mengerutkan keningnya. "Siapa?" tanyanya yang tapi tidak dijawab oleh Ginan. Lelaki itu meraih tangan sang papa dan menyalaminya. "Aku pulang, ya. Titip salam buat mama," katanya sambil berlalu pergi. "Hei! Siapa yang kamu maksud itu?! Jangan macam-macam kamu, Ginan!" teriak Gunawan memperingati. Dia menghela nafasnya panjang sambil menggelengkan kepalanya. Anak muda zaman sekarang memang cukup meresahkan. *** Ginan sampai di rumah tepat pukul satu malam. Keadaan apartemen sudah gelap dan sunyi. Hanya suara dari mesin kulkas yang memecah keheningan di malam itu. Ginan melepas jaket yang melekat di badannya lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sambil memejamkan matanya. Dia terbangun saat mendengar suara berisik yang mengganggu. Dia mengerjapkan matanya, dan sinar matahari nampak menyingsing, menembus kedua netranya. Suara dari alat-alat masak yang saling beradu, ditambah dengan harum masakan yang berhasil membuat perutnya lapar seketika. Dia beranjak dan berjalan menuju dapur dimana Ganaya tengah sibuk dengan alat-alat masaknya. Gadis itu terlihat santai dengan kaos lengan pendek yang tertutupi oleh apron hitam yang dipakainya, juga celana training panjang dengan rambutnya yang digulung menjadi satu. "Bikin apa?" Ganaya menoleh dan mendapati Ginan yang tengah menutup mulutnya yang menguap. "Bikin nasi goreng sosis," jawabnya sambil mengalihkan pandangannya. Ginan membulatkan mulutnya. Dia berbalik dan berlalu menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Saat keluar, makanan sudah siap tersaji di atas pantry dengan Ganaya yang juga tengah meletakkan secangkir kopi di depannya. "Sarapan dulu," ucapnya membuat Ginan mendekat. Aroma wangi dari nasi goreng itu benar-benar membuat rasa laparnya memberontak. Tak menunggu lama dia pun langsung mengambil sendoknya dan mulai menyantap sarapannya. Ganaya memperhatikan Ginan yang makan dengan lahap itu. "Semalem balik jam berapa, Nan?" tanyanya karena dia tidak tahu kapan Ginan pulang. Semalam, setelah mengirimi Ginan pesan, dia langsung tertidur dan terbangun dengan sudah menemukan Ginan tengah tertidur di sofa depan. "Jam satu," jawab Ginan tanpa menatap Ganaya. Ganaya membulatkan mulutnya. Dia kembali memperhatikan Ginan dengan menimbang. Dia sudah memikirkan ini kembali. Dan sepertinya, tidak ada salahnya kalau dia menanyakan perihal lowongan kerja kepada Ginan, kan? Ganaya berdeham. "Nan," panggilnya yang disahuti dengan deheman oleh Ginan. "Di tempat lo ... lagi ada loker nggak?" Barulah, pertanyaannya barusan membuat Ginan mendongakkan wajahnya. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa?" "Ya ... nggak papa. Siapa tahu lagi ada buka loker gitu. Boleh dong, gue apply," jawab Ganaya sambil menyunggingkan senyumnya. "Nggak ada," balas Ginan dengan cuek lalu kembali fokus pada makanannya. Ganaya mengerucutkan bibirnya. "Beneran, Nan? Gue lagi butuh banget nih? Nggak bisa lo bantu usahain gitu?" Ginan kembali menatapnya. "Lo mau masuk lewat jalur orang dalem?" Ganaya menyengir. "Ya ... habis gimana ya, Nan? Nggak mungkin gue ketemu orangtua lo dengan keadaan gue sebagai pengangguran, kan? Seenggaknya kalo gue udaj dapet kerja kan, ada yang bisa gue banggain dari diri gue nanti," ujarnya dengan bibir mengerucut. Ginan meletakkan sendoknya, lalu menatap Ganaya lekat-lekat. "Lo ngebet banget ya, jadi istru gue?" tanyanya membuat Ganaya melongo. "Ha?" "Kenapa lo begitu memikirkan nama baik lo di depan orangtua gue? Lo mau bikin kesan bagus supaya kita direstui, kan?" Ganaya masihlah terdiam. "Nay... lo itu sebenernya cinta ya sama gue?" ***"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi
Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks
Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet
Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s
Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha