"Nikah sama gue."
Ganaya menghembuskan nafasnya panjang. Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih? "Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?" Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir. "Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya. Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang. Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya. "Hari ini berat banget sih?" Aya memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Akhir-akhir ini, hidup memang sedang tak semulus biasanya. "Kenapa juga harus besok malem sih?" desahnya dengan panjang. Dia memang menyewa unit apartemennya ini sudah setahun lamanya, dan sudah empat kali dia memperpanjang sewa karena sesuai dengan budget yang dia punya, pun dia sudah betah tinggal di sini. Tapi, bulan ini berbeda rasanya. Mendadak dia terancam akan kehilangan tempat tinggalnya. Ting! Aya menunduk membaca satu notifikasi yang masuk ke ponselnya. Maaf, Mbak Aya. Boleh minta tambahan waktu lagi nggak? Aku belum ada uangnya... Aya menghela nafasnya panjang membaca isi pesan dari seorang rekan kerjanya yang beberapa bulan lalu meminjam uang sebesar satu setengah juta padanya. "Gaada uang tapi jajan mulu," gumamnya lalu memilih untuk tak membalas pesan itu. "Ahhh, gimana coba?" Aya mengacak rambutnya. Dia belum punya uang lagi untuk memperpanjang masa sewa. "Bodo ah. Semoga aja bonus bulan ini cair agak banyak." Aya mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba ber-positif thinking. Ting tong! Aya berdecak menatap ke arah pintu. "Siapa sih?" gumamnya malas, meski tak ayal dia pun beranjak dari duduknya. Ceklek. Aya menghela nafasnya kasar melihat siapa yang ada di hadapannya sekarang. "Apa lagi?" tanyanya dengan malas. Ginan menatapnya dengan tatapan andalannya. Datar. "Gimana? Mau nikah sama gue nggak?" Aya mengerang menahan kekesalannya. "Plis ya, Ginan. Jangan ngajak gue ribut. Dibilang gue lagi nggak mood juga. Sana lo!" Aya sudah hendak menutup pintu kalau saja tangan besar Ginan tidak lebih dulu menahannya. "Tawaran gue nggak akan gue tawarin lagi. Besok. Kalo lo setuju, temuin gue. Jangan nyesel kalo lo menolak kesempatan baik yang ada," katanya membuat Aya memutar bola matanya. "Nggak bakal nyesel gue nolak tawaran gila lo itu," tegasnya lalu menguatkan dorongannya sampai pintu benar-benar tertutup. "Dasar cowok gila." Ginan Darmakusuma. Laki-laki yang pernah menjadi rivalnya pada jaman kuliah dulu. Laki-laki datar dan tidak ramah yang baru dia tahu kalau mereka ternyata tinggal di apartemen yang sama. Seorang Ginan yang kaku dan datar itu tiba-tiba saja mengajaknya menikah? Seriously? Aya ingin tertawa saja rasanya. Teringat bagaimana bisa si Ginan sampai mengajaknya menikah tadi. Flashback beberapa jam yang lalu. "Ayaaaa! Ya ampuuun gue kangen banget!" Aya membalas pelukan Tania-- teman baiknya semasa kuliah yang sudah lama juga tak dia jumpai. "Gue juga kangen. Lo apa kabar?" tanya Aya setelah pelukan mereka terlepas. "Baiiikkk. Lo sendiri apa kabar? Lama banget deh kita nggak ketemu. Tumben banget nggak sibuk dan bisa ngikut reuni? Biasa kalau gue ajak ketemuan aja bilangnya sibuk mulu," sindir Tania dengan sebal membuat Aya hanya mampu menyengir. "Sorry, sorry... yang penting kita jadi ketemu kan sekarang?" Aya terkekeh melihat wajah Tania yang semakin bete saja. "Tan! Ya! Siniii!" Kedua teman baik itu menoleh saat seseorang melambaikan tangan dari arah sebuah meja panjang yang sudah diisi oleh banyak orang itu. Kedanya pun lantas bergerak mendekat, dan Aya langsung disambut oleh teman-teman mereka dari kelas mata kuliah yang sama. Fyi, reuni kali ini adalah reuni yang diselenggarakan oleh kelas mata kuliah Prof. Hendra dari prodi bisnis dan manajemen. "Weii, apa kabar? Apa kabar?" Basa-basi yang dilayangkan oleh satu sama lain, terasa hangat malam itu. Ditambah, ini adalah reuni perdana mereka setelah lulus empat tahun yang lalu. "Jadi lo masih kerja di perusahaan itu?" Aya mengangguk. "Ihh, iri deh gue. Awet banget. Enak ya kalo dapet bos baik begitu." Si lawan bicara Aya nampak mengerucutkan bibirnya. "Kapan ya gue dapet offering letter lagi? Capek tahu nganggur muluu." "Yah, lo nganggur juga nggak nganggur-nggak banget kali, Na. Dari sidejob lo sebagai make up artist udah lumayan tuh, sebulan bisa lebih dari umr sendiri, kan?" timpal Aya, membuat Nana-- kawan lamanya ini meringis. Iya juga sih. "Weh, si ginan ini? Apa kabar lo, Nan?" Aya menolehkan kepalanya secara refleks. Refleks saja ya, ketika nama seseorang yang semasa kuliah dulu selalu menjadi saingannya dalam memperebutkan nilai terbaik. Ginan Darmakusuma. Laki-laki itu terlihat tidak jauh berbeda sih, dari yang terakhir dia lihat. Sedikit bedanya hanya dirinya yang terlihat lebih dewasa saja, juga terlihat emm,, rapih? Aya ingat sekali bagaimana penampilan rivalnya itu. Terlihat cukup urakan dan berantakan. Ya mungkin karena sekarang sudah bekerja. Jadi lelaki itu lebih bisa menata diri. Baguslah. Aya mengalihkan pandangannya lagi, tak tertarik memperhatikan Ginan atau siapapun itu selain yang sedang ada di hadapannya sekarang. Melanjutkan obrolan kecil di antara teman-teman seperjuangannya dulu. Tak lama kemudian, acara reuni perdana kelas mata kuliah Prof. Hendra pun dimulai. Aya yang sedang menikmati acara itu tiba-tiba merasakan getaran dari dalam tasnya yang dia taruh di belakang tubuhnya. "Bentar, ya," bisiknya pada Tania yang duduk di sampingnya, lalu dirinya beranjak untuk menepi ke tempat yang lebih tenang. "Iya, halo, Mbak?" "Ya, laporan bulan lalu kamu yang pegang, ya?" tanya Sasmi, manajernya di kantor tempatnya bekerja. "Iya, Mbak. Ada apa, ya?" "Ini kok ada minus banyak banget? Kamu lupa apa gimana? Terus kenapa ada data uang masuk dari transaksi bulan lalu yang nggak kamu cantumin? Teledor banget sih, Ya!" Aya mengerutkan keningnya. "Maaf, Mbak. Data uang masuk udah aku cantum semua kok. Sesuai sama bukti transaksi yang aku terima," katanya membela diri. "Cantumin semua apa. Ini aku jadi kena omel sama pak damar gara-gara keteledoran kamu!" "Mbak, tapi aku beneran udah--" "Aku nggak mau tahu ya, Ya. Pokoknya aku mau kamu susun ulang laporan keuangannya. Aku tunggu sebelum besok pagi," kata Mbak Sasmi dengan mutlak, sebelum kemudian dia mengakhiri panggilannya begitu saja. Aya mengerang. Apa malam liburnya tidak bisa tenang sedikit saja, ya? Dia pun berbalik, dan saat itu juga dia tanpa sengaja bertabrakan dengan seseorang berdada keras. "Aw! Eh, sorry, sorry. Saya nggak sengaja." Aya mendongak, dan baru dia tahu kalau orang yang dia tabrak ini adalah Ginan Darmakusuma. "Elo. Sorry, gue nggak sengaja." Ginan hanya mengendikkan bahunya, kemudian berlalu begitu saja. Aya mendengus. Tidak ada basa-basinya sama sekali. Dia pun tidak mempedulikannya. Dia segera bergegas menuju kursinya untuk berpamitan. Dia harus pulang secepatnya. "Loh, kemarin lo bilang free. Kok sekarang malah udah mau balik?" tanya Tania dengan tak rela. Aya meringis tak enak hati. "Iya nih, mendadak banget ini soalnya. Sorry banget yah," kata Aya merasa bersalah. Dengan bibir mencebik, akhirnya Tania memeprsilakan Ganaya untuk pulang. Ganaya pun memeluknya sambil terus menggumamkan kata maaf, sebelum kemudian dia pamit dengan teman-temannya yang lain. Sementara di tempat lain, Ginan terlihat menghela nafasnya berat setelah mendapat panggilan dari sang ibu. Dia memijat pangkal hidungnya. Pembahasan yang selalu dibicarakan ibunya itu benar-benar mulai membuat hidupnya terasa berat. Bahkan mood-nya untuk berkumpul bersama yang lainnya pun menjadi hilang. "Lah, lo mau balik juga?" Ginan mengangguk menanggapi pertanyaan Rendra. Ketua mata kuliah Profesor Hendra itu pun akhirnya hanya bisa menghela nafasnya pasrah, tak bisa juga harus menahan Ginan. "Oke kalo gitu. Thanks banget udah nyempetin dateng ya." Ginan mengangguk saja, lalu mengangkat tangannya tanda berpamitan, sebelum akhirnya dia pun pergi dari sana. Di luar, Ginan mengerutkan keningnya melihat satu sosok yang tak asing di matanya. "Ngapain?" Aya menoleh lalu memalingkan wajahnya lagi saat mendapati Ginan berdiri di sampingnya. "Nunggu taksi," jawabnya dengan tak acuh. Ginan membulatkan mulutnya dan tak mengatakan apa-apa lagi. Aya mengeryitkan keningnya, lalu menatap si pria yang masih berdiri di tempatnya itu. "Lo sendiri ngapain?" Ginan hanya mengendikkan bahunya saja tanpa repot-repot bersuara. Hal itu terang saja langsung membuat Aya mendengus dalam hati. Menyesal dia bertanya pada si irit bicara di sampingnya ini. Aya menolehkan kepalanya ke sana-ke mari, berharap drivernya segera tiba. Lagian si Ginan ngapain malah berdiri diam di sampingnya sih? Seperti tidak ada tempat lain saja. "Aya." "Hm." Aya berdeham tanpa repot-repot menolehkan wajahnya. Bahkan rautnya sekarang terlihat sebal. Bisa-bisanya laki-laki itu mengajaknya bicara setelah tadi tak berniat menjawabnya. Menyebalkan sekali. "Nikah yuk, Ya." "Hah?" ***Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks
Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende
Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan."Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya.Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam
Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba