Share

2. MEMPERTIMBANGKAN

Penulis: eunyoungro
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-17 15:50:18

Masih flashback

"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya.

"Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.

Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi.

"Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.

Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.

Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.

Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.

Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taksi online-nya.

Ganaya memejamkan matanya sambil merutuk dalam hati.

Kenapa juga sih Ginan ada di apartemen tempatnya tinggal? Dan kenapa juga laki-laki itu harus melihatnya.

Belum sempat Ganaya menghindar saat Ginan sudah tiba di hadapannya.

"Lo tinggal di sini?" tanya laki-laki bertubuh tinggi itu.

Ganaya tak menjawab. Dia sengaja melengoskan wajahnya dan berlalu begitu saja.

Ginan mengikuti langkahnya, membuat Ganaya yang merasakan itu pun mengeryit sambil bertanya-tanya dalam hati.

"Mbak Ganaya!"

Aya yang baru saja hendak masuk ke dalam lift itu berhenti dan menoleh ketika seseorang memanggil namanya.

Terlihat seseorang yang dia kenal, membuatnya lantas meringis dalam hati, saat seseorang itu mendekat.

"Maaf, Mbak Ganaya. Sebelumnya saya sudah memberitahu lewat pesan, hanya saja karena saya belum mendapat jawaban dari Mbak Ganaya, langsung saya hampiri." Ganaya menganggukkan kepalanya, sambil melirik pada Ginan yang malah ikut berhenti dan dengan tidak sopannya malah ikut mendengarkan pembicaraannya. Dia memberikan lirikan tajamnya, berharap Ginan sadar dan segera enyah dari hadapannya.

Tapi, nampaknya tingkat kepekaan seorang Ginan Darmakusuma ini memang minus. Bukannya sadar akan lirikannya, pria itu malah tetap diam di tempatnya dengan santainya.

"Saya hanya mau mengingatkan untuk masa sewa unit mbak ganaya sekarang sudah hampir habis ya, Mbak. Ingin diperpanjang saja atau bagaimana?"

Ganaya meringis mendengar itu. Kenapa buru-buru sekali bilangnya? Mana ada Ginan. Dia kan jadi malu.

"Maaf, Mas. Biasa kan saya kasih kabar pas kurang seminggu. Kenapa sekarang buru-buru, ya?"

Laki-laki yang merupakan orang dari pihak apartemen itu mengangguk tanpa rasa sngkan. "Kebetulan ada beberapa orang yang mau menyewa di apartemen ini. Dan kebetulan hanya unit mbak ganaya saja yang masa sewanya hampir habis, makanya saya butuh kepastian secepatnya. Mohon kabari, saya tunggu paling lambat besok malam ya, Mbak. Kalau tidak ada konfirmasi, terpaksa saya menganggap kalau mbak sudah tidak memperpanjang kontrak, ya. Terima kasih." Setelah mengatakn maksudnya, manajer apartemen itu pun meninggalkan Aya dan juga Ginan yang masih senantiasa di sana.

Ganaya menghembuskan nafasnya dengan berat. Dia pun masuk ke dalam lift dengan mood-nya yang semakin menurun saja. Sudahlah harus menyusun ulang laporannya, kini ditambah dengan urusan sewa apartemennya pula.

Mana dia belum ada duit untuk itu.

"Nikah sama gue. Lo bisa tinggal di unit gue setelahnya."

Ganaya memutar bola matanya mendengar penuturan Ginan yang memang berada dalam satu lift yang sama dengannya. Iya. Hanya berdua lagi.

"Nggak usah ngomong sama gue." Ganaya jelas malas membahas hal tidak penting sekarang. Dan dia harap Ginan paham dan berhenti mengganggunya.

"Gue serius. Nikah sama gue, dan lo nggak perlu pusing harus memperpanjang sewa apartemen lo."

Ganaya menghela nafasnya kasar. Dengan kesal dia berbalik dan menatap Ginan yang berdiri di belakangnya itu. "Lo tuh ada maksud apa sih sebenernya? Tiba-tiba banget ngajak nikah. Nggak usah main-main lo sama gue," katanya dengan ketus, sebelum kemudian dia berbalik saat denting lift berbunyi dan pintu terbuka. Dia melangkahkan kakinya dengan terus merutuki Ginan.

"Siapa yang main-main? Gue selalu serius sama apa yang gue bilang. Dan gue mau lo nikah sama gue."

Ganaya tertawa sinis. Dia berbalik dan menatap Ginan dengan tajam kali ini.

"Nikah sama gue."

Dan yah, seperti itulah awal mula kenapa semua itu terjadi. Kalau tau akan jadi seperti ini, lebih baik dirinya tak usah datang saja ke acara reuni.

Dengan setengah malas, dia lantas beranjak untuk membersihkan diri, sebelum kemudian dia mulai berkutat dengan revisi laporannya.

***

"Kamu ini sengaja ya, nggak nyantumin semua bukti transaksi bulan lalu? Ini selisihnya nggak main-main loh, Ya! Gimana sih kamu?!"

Aya memejamkan matanya saat berkas yang sudah dia susun dalam satu jilid itu dibanting begitu saja di hadapannya. 

Mbak Sasmi nampak benar-benar marah kali ini.

"Saya sudah minta kamu buat revisi, dan kamu malah nggak ngerjain apa yang saya suruh? Mau kamu itu apa sih? Jangan mentang-mentang kamu dipromosiin naik jabatan terus kamu malah seenaknya gini, ya!"

Ganaya buru-buru menggeleng. "Saya udah ngerjain lagi laporannya kemarin, Mbak. Dan itu udah sesuai dengan bukti yang saya terima. Dan waktu saya tanya ke putri, dia jawab juga udah bener," kata Ganaya membela diri.

"Halah! Jelas-jelas putri ngasih saya semua buktinya kok. Dan itu berbeda sama apa yang kamu cantumin di laporan."

Ganaya jelas mendelik mendengar itu. "Tapi, putri bener--"

"Nggak usah banyak alasan, Ya. Ternyata kinerja kamu emang gini ya aslinya. Udah jelas-jelas salah, malah main nyalahin orang lain. Sangat tidak bertanggung jawab. Dan kelalaian yang kamu lakuin kali ini udah kelewat fatal. Dan saya paling tidak suka memelihara orang yang tidak kompeten seperti kamu, nggak peduli  bagaimana kinerja kamu selama ini kalau yang terlihat ke depannya bahkan sudah terlihat jelas akan seperti apa."

Ganaya mengerjapkan matanya. "Maksudnya, Mbak?"

"Kamu saya berhentikan, Ganaya. Silakan tulis surat pengunduran diri kamu," kata Mbak Sasmi dengan tegas, membuat Ganaya mendelikkan matanya.

"Tapi, Mbak."

"Saya nggak mau denger apa-apa lagi. Silakan kamu bereskan barang-barang kamu." Dan tajk ada yang bisa Ganaya lakukan lagi selain keluar dari ruangan atasannya itu.

Di luar, beberapa rekan kerjanya langsung menatapnya dengan tatapan ingin tahu.

"Gimana, Ya?"

Ganaya tidak menjawab. Dia menatap sosok Putri yang tak memberikan ekspresi apa-apa dan malah terkesan tidak bersalah sama sekali. Padahal Ganaya jelas tahu kalau semua ini tidak akan terjadi kalau saja Putri memberikan bukti transaksinya secara lengkap padanya. 

Dengan menahan rasa kesalnya, dia membenahi semua barang-barangnya, memasukkannya ke dalam kotak besar yang selalu ada di bawah mejanya. Tak dia sangka kalau kotak itu akan dia gunakan secepat ini.

"Ya?"

"Aya? Lo kok beres-beres, Ya? Maksudnya apa?"

Aya menghentikan gerakannya. Dia menatap rekan kerjanya yang bertanya. "Gue dipaksa resign," jawabnya yang tentu saja membuat keempat orang yang ada di sana menatapnya dengan terkejut.

"Hah? Kok bisa?!" Aya melirik ke arah seseorang yang lagi-lagi tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang harus bertanggung jawab. Bibir Aya membentuk senyum sinis.

"Thanks, ya, buat kerjasamanya selama ini." Setelah mengatakan itu, Aya pun membawa barang-barangnya dan melangkahkan kakinya pergi dari sana.

Bahu Aya yang semula tegak, enggan menunjukkan kelemahan itu melemas juga begitu dia keluar dari gedung kantornya. Sumpah, selama ini tak sekalipun dia mengira akan dipecat seperti ini.

Aya menghela nafasnya kasar. "Sekarang gimana gue bayar sewa apartemen? Pesangon juga nggak dapet," keluhnya berdecak.

"Nggak mungkin juga gue terima tawarannya si ginan, kan? 

***

Bab terkait

  • So I Married the Perfect Rival   3. MENEMUI GINAN

    Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • So I Married the Perfect Rival   4. TERUSIR

    Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan."Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya.Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • So I Married the Perfect Rival   5. GINAN S*AL*N

    Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-17
  • So I Married the Perfect Rival   6. Si CALON MENANTU

    Ganaya mencuci piring bekas makan malam mereka tadi, sementara Ginan sudah kembali duduk di sofa dan berkutat lagi dengan tabletnya.Ganaya sih tidak masalah dengan itu. Perutnya sudah diisi, juga-- dia harus menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mencuci piring serta alat-alat yang Ginan gunakan untuk memasak tadi.Selesai dengan tugasnya, Ganaya pun berbalik dan berniat kembali ke kamar saja. Tak mau lagi berbasa-basi dengan Ginan yang dia pun tahu tidak akan mendapat tanggapan dari pria irit bicara tersebut."Nay."Ganaya yang sudah sampai di ambang pintu kamar itu menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kenapa?" "Udah bicara sama ibu lo?" Ganaya menggelengkan kepalanya. "Belum," jawabnya membuat Ginan menghela nafasnya."Kalo gue minta secepetnya bisa nggak?"Kening Ganaya mengeryit. "Kenapa harus cepet-cepet?"Ginan menatapnya datar. "Lo aja bisa tinggal di sini lebih cepet, kenapa gue harus menunda buat pernikahan ini?" tanyanya balik, yang berhasil membuat Ganaya kicep dibuatn

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-25
  • So I Married the Perfect Rival   7. SEMUA LAKI-LAKI SAMA SAJA

    Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-28
  • So I Married the Perfect Rival   8. BOLEH KOK POSESIF

    Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • So I Married the Perfect Rival   9. LO CINTA KAN SEBENERNYA?

    Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-30
  • So I Married the Perfect Rival   10. SIAPIN HADIAH BUAT GUE

    "H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-01

Bab terbaru

  • So I Married the Perfect Rival   15. ALASAN MENERIMA

    Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes

  • So I Married the Perfect Rival   14. GINAN YANG SEKSI

    Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set

  • So I Married the Perfect Rival   13. ENAK PUNYA GUE!

    "Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah

  • So I Married the Perfect Rival   12. COBA AJA KALO BERANI

    "H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya

  • So I Married the Perfect Rival   11. GIMANA KALO KITA TIDUR BARENG?

    Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel

  • So I Married the Perfect Rival   10. SIAPIN HADIAH BUAT GUE

    "H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i

  • So I Married the Perfect Rival   9. LO CINTA KAN SEBENERNYA?

    Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet

  • So I Married the Perfect Rival   8. BOLEH KOK POSESIF

    Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s

  • So I Married the Perfect Rival   7. SEMUA LAKI-LAKI SAMA SAJA

    Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha

DMCA.com Protection Status