Masih flashback
"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya. "Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali. Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi. "Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu. Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya. Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan. Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini. Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taksi online-nya. Ganaya memejamkan matanya sambil merutuk dalam hati. Kenapa juga sih Ginan ada di apartemen tempatnya tinggal? Dan kenapa juga laki-laki itu harus melihatnya. Belum sempat Ganaya menghindar saat Ginan sudah tiba di hadapannya. "Lo tinggal di sini?" tanya laki-laki bertubuh tinggi itu. Ganaya tak menjawab. Dia sengaja melengoskan wajahnya dan berlalu begitu saja. Ginan mengikuti langkahnya, membuat Ganaya yang merasakan itu pun mengeryit sambil bertanya-tanya dalam hati. "Mbak Ganaya!" Aya yang baru saja hendak masuk ke dalam lift itu berhenti dan menoleh ketika seseorang memanggil namanya. Terlihat seseorang yang dia kenal, membuatnya lantas meringis dalam hati, saat seseorang itu mendekat. "Maaf, Mbak Ganaya. Sebelumnya saya sudah memberitahu lewat pesan, hanya saja karena saya belum mendapat jawaban dari Mbak Ganaya, langsung saya hampiri." Ganaya menganggukkan kepalanya, sambil melirik pada Ginan yang malah ikut berhenti dan dengan tidak sopannya malah ikut mendengarkan pembicaraannya. Dia memberikan lirikan tajamnya, berharap Ginan sadar dan segera enyah dari hadapannya. Tapi, nampaknya tingkat kepekaan seorang Ginan Darmakusuma ini memang minus. Bukannya sadar akan lirikannya, pria itu malah tetap diam di tempatnya dengan santainya. "Saya hanya mau mengingatkan untuk masa sewa unit mbak ganaya sekarang sudah hampir habis ya, Mbak. Ingin diperpanjang saja atau bagaimana?" Ganaya meringis mendengar itu. Kenapa buru-buru sekali bilangnya? Mana ada Ginan. Dia kan jadi malu. "Maaf, Mas. Biasa kan saya kasih kabar pas kurang seminggu. Kenapa sekarang buru-buru, ya?" Laki-laki yang merupakan orang dari pihak apartemen itu mengangguk tanpa rasa sngkan. "Kebetulan ada beberapa orang yang mau menyewa di apartemen ini. Dan kebetulan hanya unit mbak ganaya saja yang masa sewanya hampir habis, makanya saya butuh kepastian secepatnya. Mohon kabari, saya tunggu paling lambat besok malam ya, Mbak. Kalau tidak ada konfirmasi, terpaksa saya menganggap kalau mbak sudah tidak memperpanjang kontrak, ya. Terima kasih." Setelah mengatakn maksudnya, manajer apartemen itu pun meninggalkan Aya dan juga Ginan yang masih senantiasa di sana. Ganaya menghembuskan nafasnya dengan berat. Dia pun masuk ke dalam lift dengan mood-nya yang semakin menurun saja. Sudahlah harus menyusun ulang laporannya, kini ditambah dengan urusan sewa apartemennya pula. Mana dia belum ada duit untuk itu. "Nikah sama gue. Lo bisa tinggal di unit gue setelahnya." Ganaya memutar bola matanya mendengar penuturan Ginan yang memang berada dalam satu lift yang sama dengannya. Iya. Hanya berdua lagi. "Nggak usah ngomong sama gue." Ganaya jelas malas membahas hal tidak penting sekarang. Dan dia harap Ginan paham dan berhenti mengganggunya. "Gue serius. Nikah sama gue, dan lo nggak perlu pusing harus memperpanjang sewa apartemen lo." Ganaya menghela nafasnya kasar. Dengan kesal dia berbalik dan menatap Ginan yang berdiri di belakangnya itu. "Lo tuh ada maksud apa sih sebenernya? Tiba-tiba banget ngajak nikah. Nggak usah main-main lo sama gue," katanya dengan ketus, sebelum kemudian dia berbalik saat denting lift berbunyi dan pintu terbuka. Dia melangkahkan kakinya dengan terus merutuki Ginan. "Siapa yang main-main? Gue selalu serius sama apa yang gue bilang. Dan gue mau lo nikah sama gue." Ganaya tertawa sinis. Dia berbalik dan menatap Ginan dengan tajam kali ini. "Nikah sama gue." Dan yah, seperti itulah awal mula kenapa semua itu terjadi. Kalau tau akan jadi seperti ini, lebih baik dirinya tak usah datang saja ke acara reuni. Dengan setengah malas, dia lantas beranjak untuk membersihkan diri, sebelum kemudian dia mulai berkutat dengan revisi laporannya. *** "Kamu ini sengaja ya, nggak nyantumin semua bukti transaksi bulan lalu? Ini selisihnya nggak main-main loh, Ya! Gimana sih kamu?!" Aya memejamkan matanya saat berkas yang sudah dia susun dalam satu jilid itu dibanting begitu saja di hadapannya. Mbak Sasmi nampak benar-benar marah kali ini. "Saya sudah minta kamu buat revisi, dan kamu malah nggak ngerjain apa yang saya suruh? Mau kamu itu apa sih? Jangan mentang-mentang kamu dipromosiin naik jabatan terus kamu malah seenaknya gini, ya!" Ganaya buru-buru menggeleng. "Saya udah ngerjain lagi laporannya kemarin, Mbak. Dan itu udah sesuai dengan bukti yang saya terima. Dan waktu saya tanya ke putri, dia jawab juga udah bener," kata Ganaya membela diri. "Halah! Jelas-jelas putri ngasih saya semua buktinya kok. Dan itu berbeda sama apa yang kamu cantumin di laporan." Ganaya jelas mendelik mendengar itu. "Tapi, putri bener--" "Nggak usah banyak alasan, Ya. Ternyata kinerja kamu emang gini ya aslinya. Udah jelas-jelas salah, malah main nyalahin orang lain. Sangat tidak bertanggung jawab. Dan kelalaian yang kamu lakuin kali ini udah kelewat fatal. Dan saya paling tidak suka memelihara orang yang tidak kompeten seperti kamu, nggak peduli bagaimana kinerja kamu selama ini kalau yang terlihat ke depannya bahkan sudah terlihat jelas akan seperti apa." Ganaya mengerjapkan matanya. "Maksudnya, Mbak?" "Kamu saya berhentikan, Ganaya. Silakan tulis surat pengunduran diri kamu," kata Mbak Sasmi dengan tegas, membuat Ganaya mendelikkan matanya. "Tapi, Mbak." "Saya nggak mau denger apa-apa lagi. Silakan kamu bereskan barang-barang kamu." Dan tajk ada yang bisa Ganaya lakukan lagi selain keluar dari ruangan atasannya itu. Di luar, beberapa rekan kerjanya langsung menatapnya dengan tatapan ingin tahu. "Gimana, Ya?" Ganaya tidak menjawab. Dia menatap sosok Putri yang tak memberikan ekspresi apa-apa dan malah terkesan tidak bersalah sama sekali. Padahal Ganaya jelas tahu kalau semua ini tidak akan terjadi kalau saja Putri memberikan bukti transaksinya secara lengkap padanya. Dengan menahan rasa kesalnya, dia membenahi semua barang-barangnya, memasukkannya ke dalam kotak besar yang selalu ada di bawah mejanya. Tak dia sangka kalau kotak itu akan dia gunakan secepat ini. "Ya?" "Aya? Lo kok beres-beres, Ya? Maksudnya apa?" Aya menghentikan gerakannya. Dia menatap rekan kerjanya yang bertanya. "Gue dipaksa resign," jawabnya yang tentu saja membuat keempat orang yang ada di sana menatapnya dengan terkejut. "Hah? Kok bisa?!" Aya melirik ke arah seseorang yang lagi-lagi tidak menunjukkan tanda-tanda seperti orang yang harus bertanggung jawab. Bibir Aya membentuk senyum sinis. "Thanks, ya, buat kerjasamanya selama ini." Setelah mengatakan itu, Aya pun membawa barang-barangnya dan melangkahkan kakinya pergi dari sana. Bahu Aya yang semula tegak, enggan menunjukkan kelemahan itu melemas juga begitu dia keluar dari gedung kantornya. Sumpah, selama ini tak sekalipun dia mengira akan dipecat seperti ini. Aya menghela nafasnya kasar. "Sekarang gimana gue bayar sewa apartemen? Pesangon juga nggak dapet," keluhnya berdecak. "Nggak mungkin juga gue terima tawarannya si ginan, kan? ***Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende
Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan."Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya.Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam
Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba
"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi