Share

5. GINAN S*AL*N

Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk.

"Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?"

"Hmm."

"Terus lo tidur dimana?"

"Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya.

"Di sofa depan?"

Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya.

"Jangan ngomong sembarangan!"

Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.

Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.

Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.

Ganaya menaruh barang bawaannya di sudut kamar. Dia lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.

Barulah, setelah selesai, dia keluar kamar dan menemukan Ginan yang tengah duduk di sofa depan dengan tablet di tangannya.

Ganaya berdeham, mencoba mendapatkan atensi laki-laki itu. Tapi, ya namanya juga laki-laki kaku ya, hanya dengan kode ringan semacam itu jelas dirinya tidak peka. Hal itu membuat Ganaya mendengus.

Dia pun mendudukkan diri di samping Ginan, membuat pria itu lantas menoleh. Hanya menoleh tanpa mengatakan apa-apa, membuat dirinya mendengus lagi.

"Lagi ngapain?" tanyanya berbasa-basi.

Ginan hanya menggerakkan sedikit tablet di tangannya, sebagai jawaban.

Ganaya menatapnya datar. "Lagi sibuk?"

"Hmm."

Ganaya menarik nafasnya dalam. "Lo udah makan belum, Nan?"

"Hmm."

Ganaya mencoba sabar. "Lo punya makanan nggak, Nan? Gue belum makan."

"..."

"Ginan, ihh."

Ginan masihlah diam dengan mata yang terus terfokus pada layar tablet di tangannya.

Ganaya menghela nafasnya kasar. Ini si Ginan emang beneran nggak denger apa sengaja karena tak mau memberinya makan sih?

Ganaya melirikkan matanya lagi, dan Ginan masih sama rak berkutik dari apa yang ada di hadapannya.

Berdecak sebal, Ganaya pun beranjak dan memutuskan kembali ke kamar saja.

Dia duduk di atas kasur ukuran 160×200 itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan guling di atas pangkuannya.

Dia baru saja terusir dalam kondisi kelaparan loh. Tak ada bahan masakan di rumahnya, sementara dia juga belum sempat memesan makanan dari luar.

"Apes banget sih gue," gumamnya merasa nelangsa.

Tok! Tok! Tok!

Masih dengan wajah merengutnya dia melirik ke arah pintu.

Tok! Tok! Tok!

Dia memalingkan wajahnya. Enggan menjawab.

Tok! Tok! Tok!

"Ganaya!"

Ganaya masihlah diam. Terlanjur sebal dia dengan Ginan. Tadi dia dicueki, kenapa sekarang dia harus menjawab? Benar, kan?

Ganaya melirik ke arah pintu lagi setelah tak terdrngar suara ketukan lagi dari sana.

"Udah? Segitu doang?" Ganaya mencebik. Apa-apaan itu? Masa baru segitu sudah menyerah? Dasar cowok kaku memang.

"Tapi tadi dia mau ngapain ya manggil-manggil gue?" gumamnya merasa penasaran juga.

Akhirnya dia pun beranjak dan membuka pintu.

Kepalanya menyembul, mencoba menemukan keberadaan Ginan yang kali ini tak dia temukan di ruang depan.

Keningnya mengeryit. Kemana si Ginan?

Merasa penasaran, dia pun keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur, kalau-kalau pria itu ada di sana.

Dan benar saja. Terlihat pria dewasa itu tengah sibuk di depan kitcen counter.

"Lagi ngapain?" Ganaya mendekat dan memperhatikan bagaimana cekatannya pria itu bermain dengan pisau dan bahan di depannya.

Ginan diam saja. Hal itu membuat Ganaya lantas menatapnya dengan sebal.

"Dih. Gitu amat ditanyain," sindirnya dengan sinis.

"Lo juga tadi gitu, kan?"

"Apa?"

"Dipanggil nggak nyahut," katanya membuat Ganaya mendelikkan matanya.

"Lo yang nggak nyahut gue ajak ngobrol! Sampe berbusa mulut gue tahu nggak?!" omelnya dengan tak terima.

"Gue nyaut."

"Mana ada! Lo pikir gue budek sampe ngga denger kalo lo ngejawab, hah?!" sahutnya lagi tidak terima.

"Udah gue jawab di dalam hati. Gue bilang, bentar, Nay, bentar. Tapi lo malah pergi gitu aja," katanya dengan santai, sementara Ganaya dibuat melongo mendengarnya.

"Ya mana bisa gue denger, Go--" Ganaya spontan menutup mulutnya, urung melanjutkan ucapannya saat Ginan memberinya tatapan tajam.

Dia menyengir sambil menggelengkan kepalanya.

"Gue ... bisa bantu apa?" tanyanya dengan lembut, mencoba mengalihkan perhatian.

Ginan meliriknya. "Cuciin itu," titahnya sambil mengendik ke arah synk dimana terdapat sayuran hijau di sana.

"Oke." Ganaya pun manut dan melakukan sesuai yang diperintahkan.

Kedua sejoli itu pun sibuk tenggelam dengan tugasnya masing-masing.

Ganaya memperhatikan bagaimana Ginan yang dengan cekatan berkutat dengan sutil dan wajan di hadapannya.

Dia menatap takjub laki-laki itu karena tidak menyangka kalau dirinya bisa memasak juga.

"Gue kira lo nggak bisa masak loh," kata Ganaya yang masih terus memperhatikan aktifitas Ginan.

Ginan tidak meresponnya, membuat Ganaya lantas mencebikkan bibirnya sebal.

"Ambilin piring."

Ganaya mengerucutkan bibirnya, meski tak ayal tetap bergerak mengikuti perintah sang tuan rumah itu.

"Di sebelah mana?" tanyanya dengan judes.

Ginan menoleh dan mendapati Ganaya tengah berdiri di depan kabinet dengan celingukan.

Dia mematikan kompor, lalu berjalan mendekat.

Ganaya yang sedang membuka kabinet atas itu pun akhirnya menemukan beragam piring di sana.

"Tinggi banget," gumamnya sambil berjinjit, mencoba menggapaikan tangannya pada salah satu piring terdekat darinya.

"Ihh," rutuknya saat ia tak juga mendapat apa yang digapainya.

"Eh?" Dia mematung saat merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

Ingin menoleh, tapi kok-- dia jadi deg-deg an. Apalagi dengan harum maskulin yang sangat enak di indera penciumannya.

Ini ... ngapain si Ginan dekat-dekat sih?

"L-lo ngapain?" tanya Ganaya dengan tergagap.

Ginan tidak menjawab. Dia mengambil dia buah piring lalu mundur dan menjauh begitu saja. Membiarkan Ganaya tetap pada posisinya yang tiba-tiba tak bisa bergerak itu. Terlalu syok.

Dia mengerjapkan matanya. Kenapa dia deg-deg an?

"Ngapain di situ?"

Ganaya menoleh. Terlihat Ginan yang sudah duduk di mini bar.

Di hadapannya sudah ada satu buah piring berisi nasi dan juga hasil masakannya tadi.

Sementara di sampingnya ada satu piring yang belum diisi nasi.

Ganaya mengerjap, lalu bergerak mendekat dengan gerakan kaku.

"Ehem." Dia sengaja berdehem guna menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba saja mendatanginya.

"Nasinya ambil sendiri," kata Ginan yang diangguki oleh Ganaya.

Dia mengambil nasi dari dalam rice cooker dengan gerakan yang amat pelan. Tidak biasanya sumpah.

"Lo terakhir keramas kapan?"

"Ha? K-kemarin pagi. Kenapa?"

"Pantes bau."

Damn.

Ginan monyet!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status