Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk.
"Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?" "Hmm." "Terus lo tidur dimana?" "Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?" Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya. "Jangan ngomong sembarangan!" Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu. Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar. Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna. Ganaya menaruh barang bawaannya di sudut kamar. Dia lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Barulah, setelah selesai, dia keluar kamar dan menemukan Ginan yang tengah duduk di sofa depan dengan tablet di tangannya. Ganaya berdeham, mencoba mendapatkan atensi laki-laki itu. Tapi, ya namanya juga laki-laki kaku ya, hanya dengan kode ringan semacam itu jelas dirinya tidak peka. Hal itu membuat Ganaya mendengus. Dia pun mendudukkan diri di samping Ginan, membuat pria itu lantas menoleh. Hanya menoleh tanpa mengatakan apa-apa, membuat dirinya mendengus lagi. "Lagi ngapain?" tanyanya berbasa-basi. Ginan hanya menggerakkan sedikit tablet di tangannya, sebagai jawaban. Ganaya menatapnya datar. "Lagi sibuk?" "Hmm." Ganaya menarik nafasnya dalam. "Lo udah makan belum, Nan?" "Hmm." Ganaya mencoba sabar. "Lo punya makanan nggak, Nan? Gue belum makan." "..." "Ginan, ihh." Ginan masihlah diam dengan mata yang terus terfokus pada layar tablet di tangannya. Ganaya menghela nafasnya kasar. Ini si Ginan emang beneran nggak denger apa sengaja karena tak mau memberinya makan sih? Ganaya melirikkan matanya lagi, dan Ginan masih sama rak berkutik dari apa yang ada di hadapannya. Berdecak sebal, Ganaya pun beranjak dan memutuskan kembali ke kamar saja. Dia duduk di atas kasur ukuran 160×200 itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan guling di atas pangkuannya. Dia baru saja terusir dalam kondisi kelaparan loh. Tak ada bahan masakan di rumahnya, sementara dia juga belum sempat memesan makanan dari luar. "Apes banget sih gue," gumamnya merasa nelangsa. Tok! Tok! Tok! Masih dengan wajah merengutnya dia melirik ke arah pintu. Tok! Tok! Tok! Dia memalingkan wajahnya. Enggan menjawab. Tok! Tok! Tok! "Ganaya!" Ganaya masihlah diam. Terlanjur sebal dia dengan Ginan. Tadi dia dicueki, kenapa sekarang dia harus menjawab? Benar, kan? Ganaya melirik ke arah pintu lagi setelah tak terdrngar suara ketukan lagi dari sana. "Udah? Segitu doang?" Ganaya mencebik. Apa-apaan itu? Masa baru segitu sudah menyerah? Dasar cowok kaku memang. "Tapi tadi dia mau ngapain ya manggil-manggil gue?" gumamnya merasa penasaran juga. Akhirnya dia pun beranjak dan membuka pintu. Kepalanya menyembul, mencoba menemukan keberadaan Ginan yang kali ini tak dia temukan di ruang depan. Keningnya mengeryit. Kemana si Ginan? Merasa penasaran, dia pun keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur, kalau-kalau pria itu ada di sana. Dan benar saja. Terlihat pria dewasa itu tengah sibuk di depan kitcen counter. "Lagi ngapain?" Ganaya mendekat dan memperhatikan bagaimana cekatannya pria itu bermain dengan pisau dan bahan di depannya. Ginan diam saja. Hal itu membuat Ganaya lantas menatapnya dengan sebal. "Dih. Gitu amat ditanyain," sindirnya dengan sinis. "Lo juga tadi gitu, kan?" "Apa?" "Dipanggil nggak nyahut," katanya membuat Ganaya mendelikkan matanya. "Lo yang nggak nyahut gue ajak ngobrol! Sampe berbusa mulut gue tahu nggak?!" omelnya dengan tak terima. "Gue nyaut." "Mana ada! Lo pikir gue budek sampe ngga denger kalo lo ngejawab, hah?!" sahutnya lagi tidak terima. "Udah gue jawab di dalam hati. Gue bilang, bentar, Nay, bentar. Tapi lo malah pergi gitu aja," katanya dengan santai, sementara Ganaya dibuat melongo mendengarnya. "Ya mana bisa gue denger, Go--" Ganaya spontan menutup mulutnya, urung melanjutkan ucapannya saat Ginan memberinya tatapan tajam. Dia menyengir sambil menggelengkan kepalanya. "Gue ... bisa bantu apa?" tanyanya dengan lembut, mencoba mengalihkan perhatian. Ginan meliriknya. "Cuciin itu," titahnya sambil mengendik ke arah synk dimana terdapat sayuran hijau di sana. "Oke." Ganaya pun manut dan melakukan sesuai yang diperintahkan. Kedua sejoli itu pun sibuk tenggelam dengan tugasnya masing-masing. Ganaya memperhatikan bagaimana Ginan yang dengan cekatan berkutat dengan sutil dan wajan di hadapannya. Dia menatap takjub laki-laki itu karena tidak menyangka kalau dirinya bisa memasak juga. "Gue kira lo nggak bisa masak loh," kata Ganaya yang masih terus memperhatikan aktifitas Ginan. Ginan tidak meresponnya, membuat Ganaya lantas mencebikkan bibirnya sebal. "Ambilin piring." Ganaya mengerucutkan bibirnya, meski tak ayal tetap bergerak mengikuti perintah sang tuan rumah itu. "Di sebelah mana?" tanyanya dengan judes. Ginan menoleh dan mendapati Ganaya tengah berdiri di depan kabinet dengan celingukan. Dia mematikan kompor, lalu berjalan mendekat. Ganaya yang sedang membuka kabinet atas itu pun akhirnya menemukan beragam piring di sana. "Tinggi banget," gumamnya sambil berjinjit, mencoba menggapaikan tangannya pada salah satu piring terdekat darinya. "Ihh," rutuknya saat ia tak juga mendapat apa yang digapainya. "Eh?" Dia mematung saat merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Ingin menoleh, tapi kok-- dia jadi deg-deg an. Apalagi dengan harum maskulin yang sangat enak di indera penciumannya. Ini ... ngapain si Ginan dekat-dekat sih? "L-lo ngapain?" tanya Ganaya dengan tergagap. Ginan tidak menjawab. Dia mengambil dia buah piring lalu mundur dan menjauh begitu saja. Membiarkan Ganaya tetap pada posisinya yang tiba-tiba tak bisa bergerak itu. Terlalu syok. Dia mengerjapkan matanya. Kenapa dia deg-deg an? "Ngapain di situ?" Ganaya menoleh. Terlihat Ginan yang sudah duduk di mini bar. Di hadapannya sudah ada satu buah piring berisi nasi dan juga hasil masakannya tadi. Sementara di sampingnya ada satu piring yang belum diisi nasi. Ganaya mengerjap, lalu bergerak mendekat dengan gerakan kaku. "Ehem." Dia sengaja berdehem guna menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba saja mendatanginya. "Nasinya ambil sendiri," kata Ginan yang diangguki oleh Ganaya. Dia mengambil nasi dari dalam rice cooker dengan gerakan yang amat pelan. Tidak biasanya sumpah. "Lo terakhir keramas kapan?" "Ha? K-kemarin pagi. Kenapa?" "Pantes bau." Damn. Ginan monyet! ***"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi
Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks
Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende
Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan."Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya.Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam