Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.
Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan. "Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya. Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam memperhatikan. Ginan mengetikkan sesuatu sebelum akhirnya dia menghadapkan laptopnya ke arah Ganaya untuk gadis itu baca. Ganaya membacanya dengan seksama. Dia kemudian menoleh menatap Ginan dengan keningnya yang mengerut. "Ini ... surat perjanjian?" tanyanya dengan ragu, yang malah mendapat anggukan tegas oleh Ginan. Ganaya jadi bertambah bingung sebenarnya. Daripada surat perjanjian pernikahan kontrak mereka, yang Ginan tulis ini seperti perjanjian pra-nikah yang mana hanya mencakup apa-apa saja keputusan mereka sebelum pernikahan terlaksana, tanpa ada kalimat yang menyatakan kontrak di pernikahan mereka. "Sejak awal, gue udah menawarkan rumah untuk lo tinggali, so, gue akan pindahkan aset rumah yang gue punya jadi atas nama lo," kata Ginan lalu kembali menggerakkan jemarinya di atas keyboard. "Dan karena gue bukan termasuk laki-laki pemalas, gue sama sekali nggak masalah kalau harus turun tangan ngebantu urusan rumah tangga." Ginan mengatakannya tanpa menatapnya sama sekali. "Ada yang mau lo tambahin?" Ganaya berpikir sejenak. "Soal ... nafkah?" tanyanya dengan hati-hati. "Kartu gue lo yang pegang, dan lo yang harus atur keuangan di rumah tangga kita nanti," kata Ginan yang terang saja langsung membuat Ganaya mendelikkan matanya. "Hah? Serius lo?!" Ginan meliriknya dengan datar. "Kenapa? Nggak mau?" "Bukannya nggak mau. Tapi, lo emang percaya sama gue? Kalo ntar gue tilep duit lo gimana? Lagian nggak mungkin juga lo nggak butuh buat kasih ke orangtua lo, kan?" Sebagai anak tunggal yang menjadi tulang punggung bagi orangtuanya, tentu saja Ganaya memikirkan sampai ke sana. Apalagi Ginan ini laki-laki yang mana pastilah harus menafkahi mereka. "Lo hitung aja termasuk bagian buat mereka." Ganaya kembali memberikan tatapan ragunya. "Kisaran besarnya?" Ginan menghela nafasnya. Dia memutar tubuhnya hingga kini dia benar-benar saling berhadapan dengan Ganaya. "Lo yang atur, Ganaya. Asalkan untuk lo dan kebutuhan rumah tangga, dan nabung bisa tercukupi, baru bisa lo sisihin untuk orangtua gue. Dan kalau itu terlalu nge-pas buat kebutuhan sehari-hari kita, lo boleh nggak perlu kasih bagian untuk mereka," terangnya membuat Ganaya menatapnya dengan hati-hati. "Nggak papa emang?" "Ya nggak papa." Ganaya pun hanya mengangguk menurut. Kemudian, mereka kembali membahas apa-apa saja yang perlu mereka sepakati terlebih dahulu. "Oke." Ginan menutup laptopnya setelah point-point perjanjian sudah ditetapkan. Ganaya menghembuskan nafasnya. Kenapa hari ini jadi terasa melelahkan sekali ya? "Kapan gue bisa ketemu ibu lo?" tanya Ginan membuat Ganaya menatapnya dengan terkejut. "Hah?" Ginan menghela nafasnya. "Apa empat tahun berlalu membuat daya pikir lo berkurang?" "Apa?!" "Sebelum nikahin lo, gue mesti nemuin ibu lo dulu, kan? Atau lo mau kita nikah secara diem-diem? Hmm, keliatan menarik sih. Lebih menantang." Kedua mata Ganaya membulat. "A-apaan sih? Nggak gitu! Gue kan cuma kaget tadi. Bukannya mau nikah sembunyi-sembunyi," klarifikasinya cepat. "Ooh." Oh doang? "Jadi?" "Y-ya,, gue ngomong dulu sama ibu. Nggak bisa mendadak. Bisa syok ibu gue ngira kalau ada apa-apa kalau dadakan," katanya membuat Ginan mengangguk. "Udah? Ada yang perlu dibahas lagi nggak?" Ginan menggeleng. Dia mengambil handphone-nya dari dalam saku celananya lalu diulurkannya pada Ganaya. Ganaya menatapnya bingung. "Apa?" "Nomor." "Nomor apa?" Ginan hanya menatapnya, membuat Ganaya bertambah bingung saja. "Apa sih?" Ginan berdecak. "Nomor hangdphone, Ganaya. Nggak mungkin gue minta nomor daleman lo, kan?" Ganaya melotot horor. "Mulut lo, ya!" Tangannya dengan segera mengambil alih handphone Ginan dan mengetikkan nomornya cepat. "Udah, ya. Gue pulang." Ganaya beranjak sambil menenteng ponselnya. "Naya." Ganaya yang sudah didekat pintu itu menoleh. "Lain kali, kalo ngunjungin calon suami, jangan lupa bawa bingkisan," katanya membuat Ganaya mengeryitkan keningnya. "Dan--" "Apa?" Ginan melangkahkan kakinya mendekat hingga hanya berjarak beberapa langkah saja di antara mereka. "Jangan lupa latihan," bisiknya lalu membukakan pintu untuk Ganaya. Ganaya yang masih kebingungan dengan ucapan Ginan itu sampai tak sadar dirinya sudah melangkah keluar dan tak sadar juga kalau pintu sudah tertutup kembali. "Latihan ap--" Tatapannya mendatar melihat pintu yang sudah tertutup itu. Dia pun berdecak. "Dasar." *** Ting! Tong! Suara bel yang berbunyi membuat Ganaya yang baru saja selesai membersihkan diri itu pun bergegas menuju pintu. "Siapa?" gumamnya bertanya-tanya. Ceklek. "Selamat malam, Mbak Ganaya." Waduh. Sial. "Saya tidak akan berbasa-basi. Bagaimana keputusan Mbak Ganaya? Apakah akan memperpanjang masa sewa?" Ganaya merutuki dirinya dalam hati. Bagaimana bisa dia melupakan kalau malam ini adalah keputusan terakhirnya mengenai perpanjangan masa kontrak? Harusnya dia tadi berdiskusi mengenai ini dengan Ginan, kan? "Eee, i-itu, Mas. Aduh, maaf. Bisa nggak ya kalau seminggu lagi baru saya kabarin? Saya beneran--" "Maaf, Mbak. Bukannya saya berniat menyulitkan, Mbak Ganaya. Tapi, sudah ada sepuluh orang yang siap menghuni unit ini secepatnya. Dan saya harus segera memberikan keputusan untuk menerima salah satu dari mereka. Makanya saya memburu-burui mbak. Jadi, bagaimana, Mbak Ganaya?" Ganaya menggigit bibir bawahnya bingung. "Apa nggak bisa besok malam, Mas? Saya janji besok saya sudah--" "Sekali lagi, saya mohon maaf, Mbak Ganaya. Saya mau keputusan Mbak malam ini," tegas sang manager membuat Ganaya terdiam. Dia menghela nafasnya berat. "Ya sudah, Mas. Saya nggak bisa memperpanjang sewa lagi," katanya pada akhirnya diiringi dengan rasa berat di hatinya. Lagipula, mau sekarang ataupun besok, sepertinya akan sama saja. Dia juga belum punya uang untuk itu. Kalau ada, dia kan tidak perlu menikah dengan Gian. Maka di sinilah Ganaya sekarang. Menunggu di depan unit 508 dengan sebuah koper juga dua buah tasbeaar berisi barang-barangnya. Ceklek. Terlihat Ginan yang sudah mengenakan celana tidur serta kaos putih polosnya, tengah menatap Ganaya dengan kening mengerut. "Kenapa?" "Gue bisa mulai tinggal di sini duluan nggak? Gue udah nggak punya tempat tinggal." ***Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba
"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi
Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks
Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan.Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya.Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali."Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja.Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?"Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?"Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pende