Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.
Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan. "Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya. Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam memperhatikan. Ginan mengetikkan sesuatu sebelum akhirnya dia menghadapkan laptopnya ke arah Ganaya untuk gadis itu baca. Ganaya membacanya dengan seksama. Dia kemudian menoleh menatap Ginan dengan keningnya yang mengerut. "Ini ... surat perjanjian?" tanyanya dengan ragu, yang malah mendapat anggukan tegas oleh Ginan. Ganaya jadi bertambah bingung sebenarnya. Daripada surat perjanjian pernikahan kontrak mereka, yang Ginan tulis ini seperti perjanjian pra-nikah yang mana hanya mencakup apa-apa saja keputusan mereka sebelum pernikahan terlaksana, tanpa ada kalimat yang menyatakan kontrak di pernikahan mereka. "Sejak awal, gue udah menawarkan rumah untuk lo tinggali, so, gue akan pindahkan aset rumah yang gue punya jadi atas nama lo," kata Ginan lalu kembali menggerakkan jemarinya di atas keyboard. "Dan karena gue bukan termasuk laki-laki pemalas, gue sama sekali nggak masalah kalau harus turun tangan ngebantu urusan rumah tangga." Ginan mengatakannya tanpa menatapnya sama sekali. "Ada yang mau lo tambahin?" Ganaya berpikir sejenak. "Soal ... nafkah?" tanyanya dengan hati-hati. "Kartu gue lo yang pegang, dan lo yang harus atur keuangan di rumah tangga kita nanti," kata Ginan yang terang saja langsung membuat Ganaya mendelikkan matanya. "Hah? Serius lo?!" Ginan meliriknya dengan datar. "Kenapa? Nggak mau?" "Bukannya nggak mau. Tapi, lo emang percaya sama gue? Kalo ntar gue tilep duit lo gimana? Lagian nggak mungkin juga lo nggak butuh buat kasih ke orangtua lo, kan?" Sebagai anak tunggal yang menjadi tulang punggung bagi orangtuanya, tentu saja Ganaya memikirkan sampai ke sana. Apalagi Ginan ini laki-laki yang mana pastilah harus menafkahi mereka. "Lo hitung aja termasuk bagian buat mereka." Ganaya kembali memberikan tatapan ragunya. "Kisaran besarnya?" Ginan menghela nafasnya. Dia memutar tubuhnya hingga kini dia benar-benar saling berhadapan dengan Ganaya. "Lo yang atur, Ganaya. Asalkan untuk lo dan kebutuhan rumah tangga, dan nabung bisa tercukupi, baru bisa lo sisihin untuk orangtua gue. Dan kalau itu terlalu nge-pas buat kebutuhan sehari-hari kita, lo boleh nggak perlu kasih bagian untuk mereka," terangnya membuat Ganaya menatapnya dengan hati-hati. "Nggak papa emang?" "Ya nggak papa." Ganaya pun hanya mengangguk menurut. Kemudian, mereka kembali membahas apa-apa saja yang perlu mereka sepakati terlebih dahulu. "Oke." Ginan menutup laptopnya setelah point-point perjanjian sudah ditetapkan. Ganaya menghembuskan nafasnya. Kenapa hari ini jadi terasa melelahkan sekali ya? "Kapan gue bisa ketemu ibu lo?" tanya Ginan membuat Ganaya menatapnya dengan terkejut. "Hah?" Ginan menghela nafasnya. "Apa empat tahun berlalu membuat daya pikir lo berkurang?" "Apa?!" "Sebelum nikahin lo, gue mesti nemuin ibu lo dulu, kan? Atau lo mau kita nikah secara diem-diem? Hmm, keliatan menarik sih. Lebih menantang." Kedua mata Ganaya membulat. "A-apaan sih? Nggak gitu! Gue kan cuma kaget tadi. Bukannya mau nikah sembunyi-sembunyi," klarifikasinya cepat. "Ooh." Oh doang? "Jadi?" "Y-ya,, gue ngomong dulu sama ibu. Nggak bisa mendadak. Bisa syok ibu gue ngira kalau ada apa-apa kalau dadakan," katanya membuat Ginan mengangguk. "Udah? Ada yang perlu dibahas lagi nggak?" Ginan menggeleng. Dia mengambil handphone-nya dari dalam saku celananya lalu diulurkannya pada Ganaya. Ganaya menatapnya bingung. "Apa?" "Nomor." "Nomor apa?" Ginan hanya menatapnya, membuat Ganaya bertambah bingung saja. "Apa sih?" Ginan berdecak. "Nomor hangdphone, Ganaya. Nggak mungkin gue minta nomor daleman lo, kan?" Ganaya melotot horor. "Mulut lo, ya!" Tangannya dengan segera mengambil alih handphone Ginan dan mengetikkan nomornya cepat. "Udah, ya. Gue pulang." Ganaya beranjak sambil menenteng ponselnya. "Naya." Ganaya yang sudah didekat pintu itu menoleh. "Lain kali, kalo ngunjungin calon suami, jangan lupa bawa bingkisan," katanya membuat Ganaya mengeryitkan keningnya. "Dan--" "Apa?" Ginan melangkahkan kakinya mendekat hingga hanya berjarak beberapa langkah saja di antara mereka. "Jangan lupa latihan," bisiknya lalu membukakan pintu untuk Ganaya. Ganaya yang masih kebingungan dengan ucapan Ginan itu sampai tak sadar dirinya sudah melangkah keluar dan tak sadar juga kalau pintu sudah tertutup kembali. "Latihan ap--" Tatapannya mendatar melihat pintu yang sudah tertutup itu. Dia pun berdecak. "Dasar." *** Ting! Tong! Suara bel yang berbunyi membuat Ganaya yang baru saja selesai membersihkan diri itu pun bergegas menuju pintu. "Siapa?" gumamnya bertanya-tanya. Ceklek. "Selamat malam, Mbak Ganaya." Waduh. Sial. "Saya tidak akan berbasa-basi. Bagaimana keputusan Mbak Ganaya? Apakah akan memperpanjang masa sewa?" Ganaya merutuki dirinya dalam hati. Bagaimana bisa dia melupakan kalau malam ini adalah keputusan terakhirnya mengenai perpanjangan masa kontrak? Harusnya dia tadi berdiskusi mengenai ini dengan Ginan, kan? "Eee, i-itu, Mas. Aduh, maaf. Bisa nggak ya kalau seminggu lagi baru saya kabarin? Saya beneran--" "Maaf, Mbak. Bukannya saya berniat menyulitkan, Mbak Ganaya. Tapi, sudah ada sepuluh orang yang siap menghuni unit ini secepatnya. Dan saya harus segera memberikan keputusan untuk menerima salah satu dari mereka. Makanya saya memburu-burui mbak. Jadi, bagaimana, Mbak Ganaya?" Ganaya menggigit bibir bawahnya bingung. "Apa nggak bisa besok malam, Mas? Saya janji besok saya sudah--" "Sekali lagi, saya mohon maaf, Mbak Ganaya. Saya mau keputusan Mbak malam ini," tegas sang manager membuat Ganaya terdiam. Dia menghela nafasnya berat. "Ya sudah, Mas. Saya nggak bisa memperpanjang sewa lagi," katanya pada akhirnya diiringi dengan rasa berat di hatinya. Lagipula, mau sekarang ataupun besok, sepertinya akan sama saja. Dia juga belum punya uang untuk itu. Kalau ada, dia kan tidak perlu menikah dengan Gian. Maka di sinilah Ganaya sekarang. Menunggu di depan unit 508 dengan sebuah koper juga dua buah tasbeaar berisi barang-barangnya. Ceklek. Terlihat Ginan yang sudah mengenakan celana tidur serta kaos putih polosnya, tengah menatap Ganaya dengan kening mengerut. "Kenapa?" "Gue bisa mulai tinggal di sini duluan nggak? Gue udah nggak punya tempat tinggal." ***Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba
Ganaya mencuci piring bekas makan malam mereka tadi, sementara Ginan sudah kembali duduk di sofa dan berkutat lagi dengan tabletnya.Ganaya sih tidak masalah dengan itu. Perutnya sudah diisi, juga-- dia harus menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mencuci piring serta alat-alat yang Ginan gunakan untuk memasak tadi.Selesai dengan tugasnya, Ganaya pun berbalik dan berniat kembali ke kamar saja. Tak mau lagi berbasa-basi dengan Ginan yang dia pun tahu tidak akan mendapat tanggapan dari pria irit bicara tersebut."Nay."Ganaya yang sudah sampai di ambang pintu kamar itu menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kenapa?" "Udah bicara sama ibu lo?" Ganaya menggelengkan kepalanya. "Belum," jawabnya membuat Ginan menghela nafasnya."Kalo gue minta secepetnya bisa nggak?"Kening Ganaya mengeryit. "Kenapa harus cepet-cepet?"Ginan menatapnya datar. "Lo aja bisa tinggal di sini lebih cepet, kenapa gue harus menunda buat pernikahan ini?" tanyanya balik, yang berhasil membuat Ganaya kicep dibuatn
Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha
Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s
Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya meremas kedua tangannya seiring dengan kakinya yang mulai melangkah memasuki bangunan dua lantai yang menjulan di hadapannya.Jujur, dia sempat terpana melihat betapa besarnya rumah kedua orangtua Ginan. Dan saat dia tanya apa pekerjaan mereka, Ginan menjawab kalau papanya mempunyai usaha grosir kecil-kecilan dan mamanya punya usaha toko baju.Ganaya menghembuskan nafasnya untuk yang ke sekian kalinya. Dia tak bisa menahan debaran gugupnya."Nan." Ganaya menghentikan langkahnya, membuat Ginan yang berjalan di sampingnya itu pun turut berhenti."Kenapa?""Kok gue takut ya?" Ganaya terlihat begitu pucat. Rasa takutnya mengalahkan saat dia hendak sidang skripsi dulu."Takut kenapa?""Ya takut, Ginan. Duhh, tangan gue sampe gemeter gini lagi." Ganaya memperhatikan kedua tangannya. Ginan pun turut melirik dan benar saja kedua tangan putih gadis itu terlihat sangat gemetaran.Diam-diam sudut bibirnya tertarik melihat itu."Sini.""Eh?" Ganaya tersentak kaget saat tiba-tiba tangan bes
Ganaya meletakkan dua buah piring berisi nasi goreng spesial yang dia masak dengan sepenuh hati ke atas meja. Lalu tak lupa dia juga menyajikan sebuah cangkir berisi kopi di salah satu sisi pantry.Dia menoleh saat mendengae suara langkah kaki yang mendekat."Eh, Ginan. Sini, sini. Kita sarapan dulu."Ginan mendudukkan diri di kursi yang disiapkan oleh Ganaya."Silakan." Ganaya menyajikan nasi gorengnya ke hadapan Ginan dengan senyuman yang amat sangat manis.Ginan jelas heran dibuatnya. Tapi tak ayal dia juga tahu apa yang membuat suasana hati gadis itu baik pagi ini."Udah dapet offering letternya?" Ganaya mengangguk dengan manis."Udah, hehehe. Makasih ya, Ginan. Untung aja ada elo. Coba kalo nggak? Udah pasti bakal luntang-lantung gue," katanya lalu mendudukkan diri di samping laki-laki yang sudah rapih dengan kemejanya itu."Baguslah. Besok, kita ketemu orangtua gue. Nggak ada alasan lagi buat nggak mau ketemu," kata Ginan membuat Ganaya mengangguk. Meski belum mulai bekerja, set
"Terima kasih atas waktunya. Mohon tunggu kabar dari kami, ya." Ganaya mengangguk dengan senyumnya yang terus tersungging. Dia senang karena interview hari ini berjalan dengan sangat lancar. Tidak sia-sia dia mempelajari tentang perusahaan barang konsumen ini. "Terima kasih banyak." Ganaya pun keluar dan dengan riang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang tempatnya melakukan wawancara. "Gue harus nemuin ginan nggak, ya?" tanya Ganaya bergumam. Menimbang haruskah dia menemui pria itu dan mengucapkan terima kasihnya secara langsung? Dia bisa mentraktirnya makan siang. Tadi dia sempat melihat tukang bakso di seberang gedung perusahaan ini. Dia berjalan masih dengan menimbang. Tapi, dia tidak tahu apakah Ginan sedang sibuk atau tidak. "Gue coba chat aja kali, ya." Ganaya mengeluarkan ponselnya. Dia mendudukkan diri di sebuah sofa tunggu yang ada di lobi di dekat meja resepsionis. Dia mengetikkan kepada Ginan apakah laki-laki itu sedang sibuk atau tidak. Dia juga memberitah
"H-ha? L-lo ngomong apa sih?" Ganaya mendorong Ginan serta berusaha menarik tangannya yang laki-laki itu pegang."Lepasin ih." Sayangnya Ginan tak mau melepaskan dan justru terus menatap Ganaya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan-- membuat gadis itu lama-lama mulai merasa salah tingkah."Ginan apaan sih? Lepasin gue ih." Ganaya memalingkan wajahnya. Tak kuasa untuk terus beradu tatap dengan laki-laki itu.Ginan memiringkan wajahnya. "Gimana nih? Jawab dulu dong. Enakan tidur sekasur nggak sih? Jadi biar adil. Nggak ada yang perlu pegel-pegel lagi kan badannya?"Ganaya memejamkan matanya. "Iya, lo tidur di sini aja. Biar gue yang tidur di luar. Oke?"Ginan menaikkan sebelah alisnya tanpa melepaskan cekalannya pada lengan Ganaya. "Kenapa gitu? Bukannya lebih enak kalo kita berdua sama-sama tidur di sini?"Ganaya mengerang. "Ginan ihh,, jangan kayak gini lah... Lo bikin gue takuuut," rengek Ganaya dengan wajah memelasnya.Dan Ginan tiba-tiba saja tertawa setelahnya, membuat Ganaya
Ganaya nyaris mengeluarkan teriakannya begitu membaca isi dari pesan yang Ginan kirimkan. "Yes! Yes! Yes!" Ganaya berjingkrak dengan hati melambung merasa sangat bahagia.Dia buru-buru menata kembali berkas-berkas pribadinya yang sekiranya dibutuhkan untuk interview nanti.Dia sangat bersemangat."Eh, tapi-- itu si ginan minta hadiah apaan ya? Ish. Ribet banget pake minta hadiah segala," gerutunya saat mengingat kalimat terakhir dari pesan yang Ginan kirimkan padanya."Hadiah terbaik, ya..." Ganaya berpikir. Hadiah terbaik menurut Ginan itu apa. Dia tidak tahu."Huh. Bodo amat deh. Nggak penting juga." Ganaya memilih untuk tidak memusingkan hal itu.Dia kini memilih untuk segera mempersiapkan dirinya untuk interview.Kata Ginan sih dia bisa interview besok siang dan diminta datang ke perusahaan tempat laki-laki itu bekerja.Dia mulai membuka profil perusahaan dan mulai mempelajarinya.Dia harus mendapatkan pekerjaan ini. Nggak ada waktu lagi.Ganaya berdecak saat suara dering ponsel
"H-hah? Lo ngomong apa sih?"Ginan mengendikkan bahunya.Ganaya memutar bola matanya. "Wajar kali kalo gue ngebangun citra yang baik di depan orangtua lo. Emangnya lo nggak malu, ngenalin cewek yang bakal lo nikahin, tapi dianya pengangguran?""Biasa aja tuh. Toh, yang dituntut buat kerja itu laki-laki," jawabnya dengan santai, membuat Ganaya menghela nafasnya."Ya kalo ceweknya masih punya tanggungan kayak gue ya wajib kerja. Gue nggak mau ya, nanti setelah nikah, gue malah minta duit sama lo buat nafkahin ibu gue," ujarnya.Pasalnya dia tahu, memberi nafkah kepada orangtua istri itu bukan kewajiban pasti dari seorang suami.Kalau suami keuangannya bagus, untuk kebutuhan rumah tangga juga cukup, lalu masih sisa bisa dipakai untuk memberi orangtua suami, lalu masih sisa lagi, baru boleh diberikan untuk orangtua istri.Dan dia sadar diri mengingat dia menikah dengan Ginan adalah karena dengan embel-embel win-win solution, jadi dia tidak mau membuat laki-laki itu masih harus menafkai i
Ganaya terus menggulir laman dari jobstreet-nya berusaha mencari lowongan pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya, tapi-- sudah sejauh ini tak kunjung juga dia menemukan."Cari kerja gini amat sih."Rata-rata usia dari kriteria yang dicari adalah maksimal 25 tahun sementara dia sudah 27 tahun ini."Penampilan menarik, harus bisa ini, harus bisa itu. Yang dicari apaan sih sebenernya?"Lagian, dicari bagian apa, tapi di persyaratan harus bisa apa.Aneh sekali.Ganaya berdecak. Dia tidak bisa menganggur terlalu lama. Ada ibunya yang harus dia beri nafkah setiap bulannya. Dan dia tidak akan pernah sampai hati mengatakan kalau dirinya sudah dipecat.Dia menghembuskan nafasnya panjang. Dia memilih menutup kembali laptopnya dan membaringkan badannya dengan lesu.Memang sudah ada beberapa yang dia masukkan berkas lamarannya. Tapi, sudah tiga hari ini belum ada satupun juga yang memanggilnya."Apa gue tanya ginan kali ya? Siapa tahu di tempat dia kerja lagi buka lowongan," gumamnya. Tapi, sedet
Sesampainya di kampung halaman Ganaya, keduanya disambut oleh Lastri-- ibu Ganaya yang langsung mempersilakan mereka untuk masuk."Jadi, Nak Ginan ini teman kuliahnya Naya?"Ginan yang duduk berseberangan dengan Lastri itu mengangguk."Benar, Bu."Lastri nampak mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sudah lama berpacaran dengan Naya?" tanyanya membuat Ginan menggelengkan kepalanya."Belum lama."Lastri mengerutkan keningnya. "Lalu, apa yang membuat Nak Ginan ini mantap untuk menikahi Naya?"Ginan melirik Ganaya yang baru saja kembali setelah membersihkan diri itu."Kami saling mencintai," jawabnya dengan lugas, membuat Ganaya membelalakkan matanya melihat kepercayaan diri lelaki itu.Saling mencintai dari Hongkong?"Naya kok nggak pernah cerita kalo punya pacar?" Ganaya meringis mendengar itu. "Naya niatnya mau cerita nanti, tapi--" Ganaya melirik Ginan. "Ginan malah udah bilang kalo mau ketemu ibu," jawabnya membuat Lastri tersenyum tipis."Tapi ibu senang, karena itu berarti, Nak Ginan s
Ganaya duduk dengan jantung berdebar di samping Ginan yang sibuk menyetir.Dia melirikkan matanya, memperhatikan lelaki yang sangat tidak pernah dia duga akan menjadi calon suaminya.Perjalanan menuju kampung halamannya membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam perjalanan. Dan sudah empat puluh lima menit berlalu tak ada percakapan yang keluar sedikitpun di antara dua sejoli berbeda jenis itu. Hanya suara dari playlist yang terputar dari head unit mobil milik Ginan.Ganaya berdeham. Sangat merasa tak nyaman dengan keheningan yang melanda. "Ehem! Lo ... suka dengerin lagu kayak gitu juga?""Gitu gimana?" sahutnya dengan nada tanpa minat pun tanpa repot-repot menolehkan wajahnya, sekedar menatap si pena-nya."Y-ya ... yang lagi hits gitu. Emm, itu lagi soundtrack dari film terbaru itu, kan?" Ganaya mencoba memperpanjang percakapan. Tapi agaknya manusia di sampingnya ini memang tidak niat untuk bercakap-cakap."Entah," jawabnya dengan tak acuh, membuat Ganaya mengatupkan bibirnya, berusaha