Ganaya merutuki dirinya sendiri di dalam hati.
Baru kemarin dia menolak mentah-mentah tawaran Ginan yang gila itu. Dan belum ada dua puluh empat jam sejak itu, dirinya malah sudah berdiri di sini, di depan sebuah unit yang dia ketahui merupakan unit tempat tinggal milik Ginan. Setelah berpikir lama, pada akhirnya, yang Ganaya putuskan adalah mendatangi Ginan. Mencoba peruntungannya. Ganaya menghembuskan nafasnya panjang, sebelum akhirnya dia memberanikan diri memencet bel. Cukup lama Ganaya menunggu karena pintu tak kunjung terbuka bahkan setelah dia menekan bel sampai tiga kali. "Apa lagi pergi, ya?" gumamnya mengingat juga dia datang sore-sore begini. Bisa saja Ginan sedan bekerja. Ck. Kenapa dia tidak kepikiran. Dia pun berbalik. Berniat untuk menemui Ginan nanti saja. Tapi, baru saja hendak melangkah saat suara pintu yang terbuka terdengar. "Kenapa?" Ganaya berbalik dengan dirinya saja yang tiba-tiba menjadi gugup. "H-hai?" Ginan menyandarkan tubuhnya yang terbalut celana pendek dan kaos hitam polos ke kusen pintu dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. Sebelah alisnya terangkat, menatap Ganaya seolah tengah mengejek Ganaya yang mendatanginya. Ganaya menghela nafasnya. "L-lo ... nggak sibuk?" tanyanya berbasa-basi sembari mencoba mengumpulkan kembali keyakinannya. Kali ini kedua alis Ginan terangkat. "Kenapa? Ada yang perlu lo omongin sama gue?" Ganaya berdeham dengan canggung. Kenapa terasa to the point sekali, ya? "Eee, itu ... " Ganaya menggantungkan ucapannya, bimbang, haruskah dia benar-benar mengatakan tujuannya datang menemui pria itu? Tapi, kenapa rasanya malu sekali? Ganaya menatap Ginan lagi yang masih setia menatapnya. Kenapa dia tiba-tiba terintimidasi sih? "Itu ... gue... " Ganaya menarik nafasnya dalam. "Gue boleh pinjem uang?" Ginan menaikkan sebelah alisnya. Tubuhnya yang semula bersandar itu berubah tegak, seiring dengan matanya yang turut memicing menatap gadis yang semalam menolak tawaran baiknya. "Pinjem duit?" Ganaya mengangguk dengan wajah memelasnya. Memang inilah yang dia pikirkan sejak tadi. Kalau ada yang bertanya kenapa tidak meminjak pada Tania atau temannya yang lain, maka jawabannya adalah dia tak enak hati untuk meminjam uang kepada temannya yang dekat dengannya. Dia tak mau mengambil resiko. Ginan menatapnya dengan tidak percaya. "Really, Ya? Lo nyamperin gue beneran mau minjem duit?" Sekali lagi Ganaya mengangguk. Tatapan Ginan mendatar seketika. "No," tolaknya langsung lalu dia segera menutup pintunya. Ganaya yang melihat itu tentu saja membelalakkan matanya. "Loh? Loh? Ginan!" Ganaya memencet bel dengan cepat. Kenapa pintunya malah ditutup? "Ginaaan! Buka ih!" teriaknya seiring dengan tangannya yang terus menekani bel unit milik Ginan ini. Tak peduli kalau si empunya merasa terganggu. Justru bagus, karena dengan itu kemungkinan Ginan akan membukakan pintu. Urusannya belum selesai, masa main tinggal begitu saja sih? Ceklek. Senyum mengembang di wajah Ganaya begitu pintu terbuka. "Gu-" "Lo jelas tahu satu-satunya hal yang gue tawarin. Dan itu bukan minjemin lo duit. Ngerti, Ganaya?" Ganaya mencebikkan bibirnya saat Ginan main memotong ucapannya. "Emang kenapa sih? Gue bakal balikin kok duit lo," kata Ganaya yang memang menurutnya hanya itu satu-satunya cara terbaik untuknya bisa memperpanjang masa sewa kontrak unitnya, sementara dirinya mencari pekerjaan baru. Ginan masih menatapnya dengan datar. "Nikah sama gue, dan lo nggak perlu balikin duit ke gue," katanya dengan tegas, tak memberikan pilihan. Ganaya dibuat diam. "Yes or no? Gue nggak suka dibuat nunggu sama keputusan yang nggak jelas. Kalau iya, iya, kalau nggak, nggak. Jangan bertele-tele, Ganaya." Ganaya mencebik sambil menatap Ginan dengan sebal. Jangan bertele-tele gimana? Dipikir ini keputusan remeh seperti mau makan mi ayam atau bakso saja apa? Jelas-jelas ini adalah keputusan besar yang menyangkut akan masa depannya. "Tapi, Nan. Gue cuma mau minjem duit. Gue janju kok pasti gue balikin. Sum--" "Berarti lo menolak tawaran gue?" Ganaya menatapnya dengan ragu. "I ... ya?" Ginan mengangguk. "Sorry kalo gitu, gue bukan orang yang bisa bantu minjemin duit ke lo. Silakan cari orang lain." "Tunggu!" Ginan menatap dengan sebelah alis terangkat saat tangannya ditahan. Ganaya terlihat berpikir sangat keras, terlihat dari dahinya yang mengerut sangat dalam. "Nikah yang lo tawarkan kemarin ... maksudnya nikah kontrak atau ... " Ganaya mendongak menatap Ginan dengan ekspresi seriusnya. Ginan balas menatapnya dengan tak kalah serius juga. "Kalau dengan bertukar keuntungan itu disebut dengan kontrak, maka, ya," jawabnya dengan lugas. Ganaya melepaskan cekalannya seraya menghela nafasnya dalam. "Berapa lama?" Ginan mengerutkan keningnya. "Apanya?" "Masa kontrak pernikahan itu?" Ginan hanya menatapnya selama beberapa saat sebelum kemudian dia mengendikkan bahunya. "Sampai jangka waktu yang tidak diketahui." "Kok gitu?" "Kita nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Meski bisa dibilang pernikahan yang akan lo sama gue jalani adalah sebuah pernikahan atas dasar kontrak, bisa aja di masa depan, sesuatu hal tak terduga yang membuat lo sama gue nggak bisa main putus hubungan gitu aja, terjadi. So, gue nggak mau direpotkan dengan 'perjanjian' yang berlaku nantinya," terangnya, membuat Ganaya yang menyimak itu melongo mendengarnya. "Yang lo maksud dengan sesuatu tak terduga itu apa?" "Punya anak misalnya," jawab Ginan dengan santainya, membuat Ganaya kini mendelikkan matanya tak percaya. "P-punya anak?! Lo--" "Jangan mikir aneh-aneh. Gue hanya mengantisipasi hal-hal yang bukannya mustahil terjadi," kata Ginan cepat, tak mau membuat Ganaya berpikiran yang tidak-tidak dengan maksud ucapannya. Ganaya menyipitkan kedua matanya menyelidik. "Awas aja kalo ternyata lo malah ngambil kesempatan secara sengaja," awasnya yang dibalas dengan tatapan datar saja oleh Ginan. "Lo nggak semenarik itu," katanya membuat Ganaya merutukinya. Ganaya menghela nafasnya setelah merasa mantap dengan keputusan yang diambilnya. "Oke. Gue setuju sama tawaran lo." Ginan mengangguk dengan puas. "Oke, deal." Ginan lantas sedikit menepi, mempersilakan Ganaya untuk masuk ke dalam unitnya. Sayangnya, Ganaya justru salah paham dengan apa yang Ginan lakukan. Dengan mata horornya dia menatap Ginan. Kedua tangannya langsung dengan sigap menutupi area dadanya. "Mau apa lo?!" tanyanya waspada. Katanya suruh jangan mikir macam-macam, tapi apa ini? Ginan berdecak. Tangannya spontan saja terangkat untuk menyentil dahi gadis berpikiran jorok di hadapannya ini. "Nggak usah mesum. Udah gue bilang lo nggak semenarik itu." "Terus ngapain lo nyuruh gue masuk, hah?!" Ginan menghela nafasnya. "Lo mau gue ngomongin soal perjanjian pernikahan kita di sini, hm?" Ganaya mengerjapkan matanya. "O-ohh, ngomong dong daritadi!" Dengan menahan malunya-- karena sudah kegeeran-- Ganaya pun melangkah masuk mendahului Ginan yang geleng-geleng kepala melihatnya. "Tapi kalo lo emang mau nyicil duluan, gue nggak masalah," kata Ginan sambil menutup pintu unitnya. Hal itu terang saja membuat Ganaya yang sudah berada di dalam itu mendelikkan matanya. "Ginan!" ***Ganaya memperhatikan isi di dalam unit yang ditinggali oleh Ginan, si lelaki pendiam, jarang berbicara, dan juga tidak asik yang dia kenal saat berkuliah dulu.Rupanya sosok Ginan yang selama ini ada dipikirannya memang benar adanya. Dia yang selalu mengira kalau Ginan adalah laki-laki yang rapih dan teratur itu memanglah seperti itu pada nyatanya. Bahkan perlu dia akui kalau tempatnya tinggal, tak serapih dan sebersih milik Ginan."Emang perfectionis berarti dia," gumamnya lalu mengalihkan pandangannya saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dia terus memperhatikan hingga laki-laki itu mendudukkan diri di sampingnya. Tak terlalu dekat, masih ada jarak. Hanya saja, entah kenapa Ganaya merasa kurang nyaman saja duduk berdekatan dengan Ginan. Mungkin karena hanya ada mereka berdua saja di sana. Jadi, memang seharusnya dia berwaspada, bukan? Akhirnya dia pun sedikit menggeser duduknya.Ginan terlihat sedang mengutak-atik laptop yang tadi dibawanya dari dalam, sementara Ganaya diam
Ginan membuka pintu kamarnya dan mempersilakan Ganaya untuk masuk."Cuma ada satu kamar di sini. Lo taruh aja barang-barang lo di situ," katanya membuat Ganaya lantas menatapnya dengan bingung. "Gue tidur di sini?""Hmm.""Terus lo tidur dimana?""Di sofa," jawab Ginan santai, sementara Ganaya justru sedikit terbelalak mendengarnya. "Di sofa depan?"Ginan menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Kenapa? Lo mau tidur bareng sama gue?" tanyanya yang lantas mendapat delikan maut dari Ganaya."Jangan ngomong sembarangan!"Ginan hanya mengendik. "Kalo butuh apa-apa, silakan panggil gue. Gue di luar," katanya sebelum kemudian dia menutup pintu.Ganaya menghela nafasnya begitu tinggal dia seorang diri di sana. Matanya memindai ke sekeliling kamar.Monoton. Itu adalah kata yang pertama kali muncul di pikiran Ganaya. Yah, harusnya dia tidak heran mengingat bagaimana karakter Ginan yang tidak asik itu. Tentu saja dia tidak akan suka dengan konsep yang lebih berwarna.Ganaya menaruh barang ba
"Nikah sama gue."Ganaya menghembuskan nafasnya panjang.Harus seperti apa dia bicara pada laki-laki di depannya ini agar berhenti sih?"Lo gila. Tujuan lo sebenernya tuh apa sih?"Ginan menatapnya dengan datar. "Gue butuh istri. Dan lo butuh tempat tinggal. Kenapa enggak?" jawabnya dengan begitu santainya, membuat Ganaya tertawa tidak habis pikir."Emang beneran gila ya lo. Udah ah. Nggak usah bercanda sama gue. Dibilang gue lagi nggak mood juga." Dan setelah mengatakan itu, Ganaya pun berbalik dan masuk ke dalam unitnya sendiri meninggalkan pria gila yang tidak tahu situasi itu begitu saja di tempatnya.Ganaya menjatuhkan dirinya di atas sofa sederhana yang dia beli dengan hasil kerja kerasnya sendiri dua tahun yang lalu, tepatnya setelah dia menerima gaji pertamanya di perusahaan tempat dia bekerja sekarang.Nafas berat dia hembuskan, berharap beban yang saat ini tengah bergelanyut di pikirannya itu turut terbuang melalui saluran pernafasannya."Hari ini berat banget sih?" Aya memi
Masih flashback"Lo kesurupan?" Aya menatap si Ginan dengan mata mendelik. Tanpa angin, tanpa hujan. Tiba-tiba ngajak nikah? Ketemu aja baru tadi setelah empat tahun lamanya. Bisa-bisanya ngajak nikah. Gila sepertinya."Gue serius." Ginan menatapnya dengan tanpa raut bercanda sama sekali.Aya tertawa garing. "Nggak usah gila," katanya lalu memalingkan wajahnya lagi."Gue serius," kata Ginan yang tak Ganaya tanggapi lagi. Malas meladeni ucapan ngawur yang tiba-tiba saja Ginan katakan itu.Beruntung juga taksi pesanannya datang tak lama kemudian, hingga tanpa menunggu lama, bahkan tak repot-repot untuk berpamitan, Ganaya segera masuk ke dalam mobil meninggalkan Ginan yang hanya diam di tempatnya.Ganaya menghembuskan nafasnya sambil menggeleng pelan, tak habis pikir dengan Ginan.Sudahlah. Lagipula juga mereka tidak akan bertemu lagi setelah ini.Awalnya sih, Ganaya sangat yakin. Sampai dia menarik kembali keyakinannya tadi begitu dia melihat lelaki itu tepat setelah dia turun dari taks